Negara adalah Pemilik Kewenangan atas Pengelolaan Zakat

Negara adalah Pemilik Kewenangan atas Pengelolaan Zakat
Dr. H. Muhammad Bahrul Ilmie, S.Ag. M.Hum, Dosen IAINU Kebumen(Doc pribadi)

BELAKANGAN ini, semakin ramai pembicaraan terkait Permohonan Pengujian Undang- Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 keMahkamah Konstitusi (MK) oleh sebagian kecil organisasi masyarakat, dalam hal ini merasa Mempunyai alas hak (kewenangan) yang diberikan oleh hukum obyektif, bahkan merasa mewakili masyarakat luas.

Sejak awal masuknya permohonan, sudah dapat diduga, akan hadir rentitan dari permohonan tersebut dengan amicus curiae sebagai bentuk tekanan yang akan mempengaruhi hasil dari aksi sekaligus intervensi terhadap kasus yang sedang disidangkan, karena dibuat dan diposisikan pada isu kepentingan Biasa, kebebasan sipil yang diperdebatkan bahkan pada putusan hakim nantinya akan berdampak luas terhadap hak-hak masyarakat.

Dan ini sungguh akan menarik banyak pihak, terutama Lembaga Amil Zakat (LAZ) kecil masyarakat, Tetap tahap perkembangan yang seolah-olah LAZ adalah korban dari politik hukum negara melalui pengaturannya, meskipun data lapangan telah pada perputaran pengeloaan Anggaran zakat (pengumpulan dan pendistribusian) menunjukkan lebih besar pada LAZ dari pada BAZNAS. Sementara LAZ yang dikelola ormas Islam Indonesia terbesar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sangat luas wawasannya dan berpandangan obyektif.

UU Pengelolaan Zakat, meski sudah mengalami revisi yang kedua, Tetapi bukan berarti eksistensinya telah sempurna, tanpa masalah dan memuaskan Segala pihak, sehingga Demi ini kembali masuk daftar program legislasi nasional sebagai Rancangan Undang-Undang Tahun 2025-2029 yang disiapkan oleh DPR-RI dengan urutan ke-18 (delapanbelas).

UU Pengelolaan Zakat sebagai hukum positif yang dibentuk melalui proses politik yang dibuat dalam rangka melaksanakan konstitusi, yang memberi dasar sekaligus juga bermuatan “Kebiasaan abstrak” pada filsafat kenegaraan. UU sebagai Berkas atau naskah hukum yang mesti dijalankan sekaligus ditegakkan adalah gagasan yang disepakati oleh lembaga legislatif (DPR) dan eksikutif (Presiden) sebagai jelmaan politik hukum (kehendak negara) guna mencapai sasaran yang dikehendakinya.

Sejak awal setiap UU, sebelum menjadi naskah politik seringkali melalui tahapan naskah akademik. Para perancang sangat menyadari bahwa peraturan perundangan terkait dengan zakat hanya mengatur hal yang bersifat manajemen pengelolaan, Bukan mengatur hal yang bersifat hukum abadinya sebagaimana sudah ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan kemudian diperjelas oleh Nabi-Nya Muhammad SAW dalam ucapan, perbuatan dan ketetapannya.

Cek Artikel:  Kesadaran yang Menyejarah

Berbagai gagasan hukum dalam peraturan manajemen pengelolaan zakat, dapat dicermati bahkan dipelajari secara mendalam pada prosesnya ketika berupa naskah politik, para Member fraksi komisi VIII sangat luar Biasa, terutama fraksi-fraksi nasionalis seperti GERINDRA, DEMOKRAT bahkan PDIP sangat mewarnai dengan masing-masing argumentasinya, meski mereka Segala sangat menyadari apa saja yang disepakati tertulis dalam naskah Bukan selalu dapat diterima sama atau dengan Bagus oleh setiap orang Member masyarakat, terlebih Maksud yang disampaikan bukan dalam kata atau simbol melainkan berada dalam pikiran perancang politik, bagaimana cermatnya Maksud yang Eksis dapat dialihkan kepada masyarakat, begitu halnya sejauhmana kecermatan pembaca menginterpretasikan kata-kata dalam peraraturan perundangan.

Zakat telah dipahami dan dimodifikasi sedemikian Corak sebagai salah satu filantropi (derma sosial) Islam, kemudian dihubungkan dengan pembangunan Orang (human development), Bagus pada konteks beragama maupun bernegara. Pada Segala dimensi yang terkandung dalam ajaran zakat seperti nilai privat-publik, vertikal-horizontal, serta ukhrawi- duniawi, bila secara komprehensif dapat diaktualisasikan dengan Bagus dan Betul.

Penyelenggaraan hukum Islam, terutama terkait zakat di Indonesia dalam sejarahnya, telah mengalami gangguan sejak Era pemerintahan Hindia Belanda hingga pasca kemerdekaan. Zakat mengalami masa kebangkitan setelah pasca reformasi, ditandai adanya pertemuan kehendak berwujud kesadaran baru negara dan didukung oleh para intelektual muslim Kepada mengoptimalkan potensi zakat guna menopang pencapaian tujuan bernegara, Yakni membangun kesejahteraan (welfare state).

Indonesia, Betul bukan negara Islam tapi adalah tipikal negara bangsa (nation state) atau kebangsaan. Berdasarkan konstitusinya, UUD 1945 dan hasil amandemennya Indonesia menganut prinsip negara hukum (rechtsstaat atau ther rule of law) atau berdasarkan atas hukum, yang juga menganut konsepsi (ajaran) kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan rakyat dan sekaligus kedaulatan hukum.

Cek Artikel:  PISA dan Transformasi Paradigma Asesmen Berbasis Literasi

Bila ditelisik secara mendalam pada sejarahnya, harta (Anggaran) zakat telah dijadikan oleh Nabi SAW sebagai poros dan sumber keuangan atau pendanaan “negara Islam Madinah”, karena zakat sebagai sumbangan wajib dari orang-orang muslim, di samping sumbangan lainnya (seperti jizyah atau pajak) sebagai pendapatan negara, dan kesemuanya disimpan pada Bayt al-mal (Perbendaharaan Biasa, the Publik Treasury).

Artinya negara sebagai “amilin” Mempunyai kewenangan atau otoritas penuh atas tata kelola zakat, hal ini sebagaimana sejak Era Nabi SAW, diteruskan masa kekhalifahan hingga negara-negara Islam, bahkan negara bangsa modern, dan sistem tersebut hingga sekarang tetap eksis, artinya tetap sesuai dengan kontekstual masa kini, dan eksistensinya Bukan terlepas oleh logika “wahyu” atau syari’ah, bahwa satu-satunya yang Mempunyai alas hak terhadap pengelolaan zakat adalah negara, bukan masyarakat.

Dan itulah Missi kemanusiaan Islam melalui Q.S. at-Taubah (9) ayat (60), yang mentargetkan kepada 8 (delapan) Grup sasaran, 1 (satu) Grup sebagai amil, Yakni negara atau penguasa dan 7 (tujuh) Grup Yakni fakir, miskin, mu’allaf, riqab, gharim. fi sabilillah dan ibn sabil sebagai hal yang mesti mendapat perhatian.

Pengelolaan zakat sebagaimana bunyi Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 2011, Pengelolaan zakat adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan meningkatkan manfaat zakat Kepada mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Inilah tujuan kehendak negara melalui fraksi-fraksi Komisi VIII DPR-RI.

Berangkat dari kewenangan negara atas pengelolaan zakat, karena negara Mempunyai sistem manajemen dan sumber daya (alat) yang Bagus, maka sangat beralasan Kalau konsep pengelolaan atau manajemen zakat menekankan pada empat kegiatan pokok, Yakni perencanaan, pengorganisasian, Penyelenggaraan dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian serta pendayagunaan zakat.

Kewajiban zakat itu sejalan dengan kewajiban pajak, sehingga kewenangan negara dengan berbagai kewajibannya juga telah mempertegas eksistensinya sebagai pemilik atas hak publik yang mutlak (absolut) sebagaimana hak penarikan pajak atas masyarakatnya.

Cek Artikel:  Kebijakan Gagah Olahraga Daerah

Guna memenuhi tujuannya, pengelolaan zakat yang dibebankan pada BAZNAS sebagai lembaga non-struktural negara sebagaimana hal-hal terkait hukum Islam dan umatnya: BAZNAS dalam kontrol negara dan masyarakatnya, dan UPZ serta LAZ masyarakat dihadirkan sebagai Kenalan kerjanya, yang diharapkan juga mengembangkan sistem pengelolaan zakat yang modern dan profesional, menghimpun dan mengelola Anggaran zakat secara efektif dan efisien, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan zakat, hingga dapat mengembangkan program- program pemberdayaan ekonomi mustahik, yang kesemuanya adalah Kepada pencapaian tujuan bernegara.

Pada pihak masyarakat muslim (muzakki) diharapkan akan terjadi peningkatan kesadaran dan kepatuhan terhadap ajaran Islam Kepada mengeluarkan sebagian harta miliknya (zakat). Melalui zakat terbangun kualitas hidup masyarakat (mustahik), hadirnya kualitas hidup akan berdampak pada kehidupan masyarakat yang lebih Seimbang dan berkeadilan sosial dan ekonomi.

Besar dan luasnya tugas dan wewenang negara yang diberikan pada BAZNAS, kemudian Eksis pemahaman bahwa zakat Bukan sesuai dengan konsep konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang mencerminkan Bukan sesuai dengan kebebasan beragama, seolah BAZNAS adalah lembaga superbody bahkan superioritas yang memutilasi hak masyarakat Kepada mengelola zakat di Indonesia.

Anggapan ini, dapat diduga karena ketidakpahaman sistem hukum Islam modern yang diintegrasikan dalam sistem hukum nasional, yang padanya Bukan terlepas oleh logika “wahyu” yang bersifat Kudus, absolut, mutlak, Kekal dan sakral.

Konteks ini, Eksis baiknya dipahami Kembali Kepada kemudian Bukan menuju pada kepentingan kapitalisme, konglomerasi zakat dan keadilan bagi rata. Bahkan Pasal 5, 6, dan 7 UU terlebih pengelolaan zakat telah dipahami seolah-olah bermuatan Bukan adil karena membatasi hak-hak individu umat Islam Kepada mengelola zakat, dikarenakan Bukan sesuai dengan hak Individu.

BAZNAS dianggap sebagai lembaga superbody dan kosep ini Bukan sesuai dengan nilai-nilai syari’ah sekaligus melanggar konstitusi. Hal yang harus dipahami bahwa UU No 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan terbentuknya BAZNAS sangat sesuai dengan kehendak dan nilai yang terkandung dalam bunyi Pasal 29 UUD 1945 bahwa kebebasan menjalani nilai-nilai Religi yang dianut.

 

Mungkin Anda Menyukai