Musim Gugur Kartel Politik

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 kali ini memberikan pelajaran amat penting bahwa upaya memaksakan dan menyeragamkan pilihan rakyat bakal berujung sia-sia. Bahkan, sekuat apa pun usaha itu hingga membentuk ‘kartel’ politik, penolakan rakyat justru kian mengeras. Akhirnya, alih-alih sukses bersepakat membentuk hegemoni politik, kartel itu rontok sebelum berlaga.

Segala tiba-tiba berantakan setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan atas perkara nomor 60/PUU-XXII/2024, pekan lalu. Lewat putusan itu, hakim konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah bagi parpol dan gabungan parpol di rentang 6,5% hingga 10% dari suara sah. Maka, partai atau gabungan partai politik peserta pemilu yang tidak punya kursi di parlemen pun bisa mengajukan calon kepala daerah asal memenuhi ambang batas yang diturunkan itu.

Para elite pembentuk kartel politik pun mencoba mengakali aturan itu melalui upaya revisi Undang-Undang Pilkada. Akan tetapi, kehendak menjegal putusan MK tersebut membentur tembok tebal perlawanan rakyat. Residu atas niat mengakali putusan itu bahkan masih muncul hingga kini, dalam bentuk menentang calon-calon yang disokong kartel politik.

Cek Artikel:  Menyelamatkan Demokrasi

Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik

Maka, mulailah satu per satu putar haluan. Eksis yang menganulir dukungan calon kepala daerah yang diusung, seperti yang terjadi di Banten. Eksis yang tiba-tiba mundur dari bakal calon, seperti di Surakarta dan Tengerang Selatan. Eksis pula yang memilih bersimpang jalan dengan mundur pelan-pelan.

Demokrasi, yang secara harfiah diartikan sebagai kekuasaan ada di tangan rakyat, diciptakan salah satunya untuk menghadirkan checks and balances, saling kontrol dan menjaga keseimbangan atas cabang-cabang kekuasaan, digunakan sepenuh-penuhnya oleh berbagai elemen rakyat untuk menjaga keseimbangan itu. Di situ, lembaga negara harus saling kontrol kekuasaan satu dengan yang lain agar tak melampaui batas kekuasaan yang seharusnya, atau bahkan sebaliknya saling menjatuhkan.

Rakyat yang bergerak berpandangan bahwa bangunan kartel politik tidak semestinya ada dalam Pilkada Serentak 2024 ini. Sungguh melawan akal sehat jika partai-partai yang duduk di parlemen ramai-ramai mengusung hanya satu calon kepala daerah. Rakyat melihat itu pemaksaan. Rakyat jengah mendiamkan itu karena aspirasi mereka hendak diamputasi. Sungguh tak masuk di nalar, jika ada sebuah daerah hanya punya satu putra terbaiknya untuk memimpin.

Cek Artikel:  Bahasa Simbolis Berkantor di IKN

Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19

Pilkada serentak yang akan digelar 545 daerah, yakni 37 provinsi serta 415 kabupaten dan 93 kota, mesti menyuguhkan calon-calon terbaik dari daerah, bukan calon tunggal yang diplot oleh kartel politik. Bak membuka buku menu di rumah makan, rakyat mesti disodorkan nama-nama terbaik yang mengerti betul masalah dan solusi di daerah mereka.

Dari situ, pendidikan politik masyarakat akan terus menuju kesempurnaan. Tak apa jika prosesnya mesti berjalan pelan, yang penting rakyat akan semakin terdidik untuk menjalankan demokrasi yang bermartabat. Semakin terdidiknya masyarakat dalam berdemokrasi, salah satunya dapat dilihat dari tingkat partisipasi memilih saat hari pemungutan suara pada 27 November 2024 nanti.

Cek Artikel:  Pemilu bukan Ajang Intimidasi

Apabila hanya ada calon tunggal dalam pilkada, pemilih yang enggak sreg dengan calon itu sangat mungkin tak akan datang ke TPS. Bilangan golput akan tinggi dan tingkat legitimasi keterpilihan kepala daerah pun akan rendah.

Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik

Karena itu, kita perlu mengapresiasi keberanian para hakim konstitusi mengeluarkan putusan MK itu. Kita harus bersyukur karena masih ada hakim bermartabat dalam menghadapi majalnya pemikiran elite politik saat ini. Rakyat yang nyaris kehilangan rasa percaya pada proses demokrasi dapat dihapus oleh putusan MK itu.

Pilkada Serentak 2024 harus menjadi ruang dan sarana bagi rakyat untuk berdaulat. Pilkada tak boleh digelar hanya untuk rutinitas politik, apalagi jika dibalut demokrasi semu, demokrasi seolah-olah.

Kita tunggu di hari terakhir pendaftaran calon kepala daerah hari ini, apakah menu-menu yang disiapkan partai politik dapat menggugah rasa para pemilih. Atau justru malah sebaliknya, masih ada partai yang nekat berbeda dengan kehendak rakyat.

 

Mungkin Anda Menyukai