Menjadi Guru yang Humanis

Menjadi Guru yang Humanis
Ilustrasi MI(MI/Seno)

KECERDASAN buatan sudah ada di sekitar kita. Akibat AI (artifical intelligence) itu, kehidupan menjadi lain: ada yang berubah secara drastis dan ada yang merasa semuanya serbasusah.  Pekerja di lapisan bawah dengan mudah digantikan oleh mesin otomatis yang cerdas.

Daron Acemoglu (2023) dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyatakan bahwa bukti riset yang ada menunjukkan sebagian besar beban perpindahan dari non-AI ke AI ditanggung oleh pekerja yang berpendidikan rendah dan berupah rendah. Keuntungan ekonomi besar yang dihasilkan pendidikan tampaknya bersifat sebab-akibat. Carolina Arteaga (2018) menunjukkan bahwa mutu pendidikanlah yang menentukan upah, bukan ijazah tanpa mutu. 

Di tengah situasi tersebut, profesi guru mengalami ancaman yang cukup serius.  Apakah kita masih memerlukan guru untuk mendidik anak-anak kita? Mesin pembelajaran yang cerdas mulai bermunculan. Metode anak mendapatkan kompetensi mulai beragam, tidak hanya dari guru atau pelatih di depan kelas.

Anak-anak kita dengan mudah menguasai cara bermain piano atau menulis kode dari aplikasi cerdas berbasis internet. Metode anak mendapatkan jawaban juga semakin efisien, tidak perlu bertanya ke guru yang belum tentu bisa menjawab dengan baik. Eksis mesin penjawab yang bisa menunjukkan data dan informasi berdasarkan agregasi basis data yang tersebar di dunia maya.  Lantas, guru mesti bagaimana?

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) membuat laporan khusus untuk menyongsong era super smart society 5.0 pada 2045. Menurut laporan yang disusun Adiningsih, Yara, Ridya, dan Sari (2021) tersebut, manusia menjadi kunci pendorong dalam menyiapkan bangsa Indonesia yang kreatif, kritis, inovatif, dan unggul dalam kompetisi global.

Cek Artikel:  Era Wonderkids belum Tiba

Oleh karena itu, sistem pendidikan harus terus berinovasi seiring dengan derap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa depan, pendidikan akan bersifat tepersonalisasi dengan platform terintegrasi. Sekolah, guru dan anak didik, juga orangtua dan masyarakat harus disiapkan untuk dapat menyelenggarakan kegiatan belajar sesuai tuntutan global.

 

Investasi pendidikan

Pendidikan, yang diakui sebagai hak asasi manusia berdasarkan berbagai deklarasi internasional, berfungsi sebagai layanan publik yang penting dalam bidang kemanusiaan. Di seluruh dunia, hampir semua negara menjamin standar minimum pendidikan, sebuah tradisi yang dijunjung selama berabad-abad.

Faktanya, sebagian besar negara mengalokasikan 3%-5% produk domestik bruto (PDB) dan 10%-20% pengeluaran pemerintah untuk pendidikan seperti yang ditunjukkan oleh Education Finance Watch 2023. Pendidikan juga membawa manfaat ekonomi. David Deming (2022) menunjukkan keuntungan positif atas investasi di bidang pendidikan, yaitu sepertiga dari variabel pendapatan, disebabkan oleh pendidikan. Ia kemudian menyebut pentingnya berinvestasi pada anak-anak dan generasi muda.  

Pendidikan yang bermutu baik tentu hasil dari guru yang bermutu baik juga.  Menurut Data Pokok Kemendikbud-Ristek, jumlah guru pada semester genap tahun ajaran 2022/2023 mencapai 3,34 juta orang. Dari sisi distribusi, sebanyak 1,5 juta guru atau hampir separuh (44,9%) berada di Nusa Jawa.

Selain itu, banyak guru yang masih berstatus tenaga honorer. Catatan dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menunjukkan 52,2% dari 3,3 juta guru tersebut berstatus tenaga honorer.  Di sisi lain, menurut data Kemendikbud-Ristek (2023), Indonesia mengalami kekurangan guru hingga 1,24 juta orang. Bilangan itu diprediksi meningkat menjadi 1,31 juta pada 2024.  Artinya, secara matematis, separuh guru honorer dapat naik kelas menjadi guru dengan status tetap.  

Cek Artikel:  Membangun Dialektika Kemerdekaan

Tetapi, kalau diselisik lebih dalam, ternyata tidak semua guru honorer layak diangkat menjadi guru tetap. Dapat dibayangkan betapa sulitnya kita mengusahakan pendidikan bermutu. Terlebih bila sebagian besar guru yang bertugas di depan kelas ialah mereka yang pembinaan kariernya tidak jelas dan imbalannya tidak memadai.

Itulah situasi guru kita yang ironis dan menyedihkan. Ketika banyak negara di dunia sibuk menghadapi berbagai turbulensi teknologi yang mengancam profesi guru, kita di Tanah Air masih berkutat dengan urusan fisiologis, masih seputar kesejahteraan guru.

Kita bisa mengambil hikmah dari Vietnam dan Korea Selatan. Dua negara itu secara serius sedang menata ulang sistem pendidikan mereka, terutama intensifikasi penerapan kelas hibrida luring dan daring sesudah pandemi.  Padahal, dua negara tersebut memulai pengembangan mutu pendidikan hampir sama dengan Indonesia, kalau tidak lebih lambat.

Ketika kita berhasil membuka akses pendidikan dasar melalui SD Inpres, dua negara tadi masih berkutat dengan soal porsi anggaran untuk pendidikan.  Tetapi, ketika sekarang dunia mengalami pancaroba akibat pandemi, disrupsi, dan kecerdasan buatan, Vietnam dan Korea melenggang maju karena sudah menyelesaikan masalah akses dan mutu pendidikan.

Kuncinya, kedua negara tersebut membereskan masalah guru yang karut marut. Status guru mereka bereskan dengan menetapkan status kepegawaiannya yang kini mayoritas berstatus pegawai tetap. 

Mereka juga membangun multijalur karier guru sehingga seorang guru di sana memiliki opsi yang banyak dalam berkarier; bisa tetap di kelas, pimpinan sekolah, pelatih profesional, dan pejabat pemerintahan. Mereka menerapkan pembinaan profesi yang berkelanjutan atau CPD (continuous professional development) dengan mengintegrasikan evaluasi kinerja melalui remunerasi dan pelatihan yang berkesinambungan.

Cek Artikel:  Kemelut Beras Ketika Harga Menguji Data

Instrukturan yang berbasis evaluasi kinerja itu penting karena serumit apa pun sistem dan teknologi pendidikan, bila guru selalu dibersamai, dibimbing, dan dibina, mereka akan cepat menguasai ilmu-ilmu baru. Negara seharusnya hadir untuk mereka yang sedang dalam situasi sulit akibat kemajuan teknologi.  

Kehadiran negara bukan sekadar meminta laporan pertanggungjawaban melalui unggah bukti dokumen, portofolio, atau pengerjaan tugas. Pembinaan guru harus lebih sering dengan metode yang efektif. Tradisi pelatihan guru kita yang masih menginginkan tatap muka tentu tidak dapat diubah secara drastis ke sistem daring.

Kurikulum Merdeka Belajar yang terbagi dalam episode itu sangat ‘kering’ dan tidak humanis. Seluruh episode disampaikan melalui daring dan tanpa praktik simulasi. Kelihatannya efisien, tetapi sebenarnya membentuk sikap otomatisasi seperti robot.

Guru yang cerdas bukan robot. Guru yang cerdas ialah guru yang terus belajar dan berpikir kritis serta mampu menilai diri sendiri melalui refleksi. Organisasi profesi guru juga memiliki peran yang besar untuk membina para guru kita, bukan malah menjadi penekan politik.

Pada akhir pekan lalu, kita memperingati Hari Guru di tengah ingar bingar politik menjelang Pemilu 2024. Seluruh pasangan calon presiden dan calon legislatif masih sibuk dengan tawaran fisiologis kesejahteraan, bukan usulan peningkatan kompetensi dan profesionalisme para pendidik.

Padahal, kunci keberhasilan dalam menaikkan mutu pendidikan ada di tangan guru. Karena salah kelola guru ini, kita berpotensi kehilangan momentum bonus demografi dalam perjalanan bangsa menuju Indonesia Emas 2045.

Mungkin Anda Menyukai