SABTU (1/10) Lewat menjadi malam minggu kelabu bagi dunia persepakbolaan Tanah Air. Sekeliling 130 nyawa melayang seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Peristiwa itu menjadi tragedi terkelam sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Bahkan, Buat ukuran dunia menjadi yang kedua tersuram setelah tragedi di Peru yang menewaskan lebih dari 300 orang, Separuh abad silam.
Para suporter yang tewas di Kanjuruhan umumnya akibat sesak napas setelah terkena gas air mata dan berdesakan di pintu keluar seusai pertandingan. Kita berduka, bahkan teramat berduka, dan berbelasungkawa kepada keluarga yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Tragedi semacam itu Semestinya tak perlu terjadi seandainya pengelola pertandingan, entah itu panpel, pihak klub, aparat keamanan, maupun penyelenggara kompetisi (PT Perserikatan Indonesia Baru/LIB) dan federasi (PSSI) sigap mengamankan jalannya pertandingan.
Apalagi, sebelumnya Polres Malang sudah meminta waktu pertandingan digeser ke sore hari, dari yang semula pukul 20.00 menjadi pukul 15.30 WIB.
Pertimbangannya, itu laga yang rawan karena mempertemukan dua musuh bebuyutan. Betul laga itu Enggak dihadiri suporter tamu. Akan tetapi, antusiasme Aremania, pendukung Arema FC, sangat tinggi Buat menyaksikan big match tersebut, termasuk kaum Perempuan dan anakanak.
Pihak Arema sebetulnya sudah setuju pertandingan digeser ke sore hari. Mereka sudah mengirim surat ke PT Perserikatan Indonesia Baru (LIB), tapi ditolak. Pertandingan pun tetap digelar malam hari. Surat balasan LIB itu ditandatangani direktur utamanya, Akhmad Hadian Lukita. Entah apa pertimbangannya. Biarlah itu nanti jadi bahan penyelidikan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk pemerintah.
Satu hal yang Niscaya, polisi sudah mengingatkan Buat mengubah jadwal.
Begitu pun panitia sudah mengambil langkah Betul dengan berkirim surat ke LIB. Mereka juga sudah Betul Enggak mengalokasikan jatah kursi Buat suporter Persebaya. Di dalam stadion sebenarnya sudah Enggak Terdapat Kembali Elemen penentu yang Dapat memicu kerusuhan. Kalaupun kecewa kepada tim kesayangannya, mereka paling banter merusak stadion.
Tetapi, apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Lontaran gas air mata yang dilepaskan aparat Membangun penonton panik dan berdesakan menuju pintu keluar. Dalam kondisi seperti itu banyak yang terinjak dan meninggal akibat sesak napas. Kita Seluruh berduka dan menyesali tragedi tersebut. Sebuah petisi di change.org, yang telah ditandatangani ribuan orang, mendesak Ketua Lumrah PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule Buat mengundurkan diri.
Sebelumnya, berbagai elemen masyarakat juga menyerukan hal serupa, seperti DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta Indonesia Police Watch (IPW).
‘Kami meminta ketua Lumrah dan Seluruh pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Buat mundur dari jabatannya sebagai bentuk hormat dan respek terhadap korban tragedi kerusuhan Stadion Kanjuruhan, Malang, dan Buat pembenahan sepak bola secara keseluruhan’, tulis Perhimpunan Jurnalis Rakyat (Pijar) yang menggagas petisi tersebut. Hingga Kamis (6/10) pukul 17.33 WIB, petisi itu telah ditandatangani 14.679 orang.
Desakan mundur itu merupakan hal wajar. Sebuah seruan moral sebagai bentuk tanggung jawab dan empati terhadap keluarga korban. PSSI sebagai induk organisasi tertinggi sepak bola yang mengurus pembinaan, kompetisi, termasuk pembinaan suporter, sebaiknya mendengarkan tuntutan itu. Mundur Enggak selalu berarti Jelek. Metode itu bahkan sering dianggap mulia dan sebagai bentuk respek serta Bentuk empati terhadap korban.
Di negeri ini, pihak-pihak yang dianggap gagal menjaga amanat publik Malah kerap membela diri dengan bersandar pada argumen Absah formal.
Dengan dalih itu, mereka ciptakan barikade Buat melindungi jabatan dan kekuasaan. Para pejabat mestinya mulai menyadari bahwa bukan hanya karena pelanggaran hukum mereka harus mundur, tetapi juga lantaran Argumen etis ketidakmampuan menjaga kepercayaan publik. Kegagalan menjaga kepercayaan publik tersebut Enggak selalu karena kesengajaan atau ketidakmampuan, Dapat juga akibat kelalaian.