SEJAK Juli 2019, berita kekeringan telah melanda sentra produksi pangan di Indonesia dan menimbulkan puso atau gagal panen padi. Misalnya, kekeringan menerpa tanaman padi seluas 9.676 hektare di Jawa Tengah dan dikhawatirkan mengurangi hasil panen 77.080 ton gabah (mediaindonesia.com, 28 Agustus 2019).
Kekeringan juga melanda Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan telah terindentifikasi 78 hektare di Desa Done, Kecamatan Mega Panda, Kabupaten Sikka, (mediaindonesia.com, 12 September 2019). Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, 1.040 haktare sawah terancam puso karena kekeringan, yang berdampak secara langsung pada 649 keluarga atau 1.806 jiwa (cnnindonesia.com, 5 Juli 2019).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara resmi menyampaikan bahwa tujuh provinsi mengalami bencana kekeringan, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat (NTB), NTT, dan Bali. BNBP juga memperkirakan sekitar 20.369 hektare sawah dan tersebar di 1.969 desa di seluruh Indonesia terancam puso atau gagal panen karena kemarau tahun ini. Kementerian Pertanian juga menyampaikan bahwa pada rentang waktu 2009-2019, tercatat 33.188 hektare lahan pertanian mengalami gagal panen pada 2009 dan meningkat menjadi 244.861 hektare saat kekeringan ekstrem El Nino pada 2015. Kalau seluruh desa produksi pangan itu mengalami gagal panen, kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp3 triiun dan terancam akan kembali mengimpor pangan dalam jumlah besar (tirto.co.id, 22 Juli 2019). Pengumuman-berita kekeringan di daerah lain juga masih cukup banyak.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geosifika (BMKG) memperkirakan bahwa musim kemarau tahun ini masih akan berlangsung sampai November, melanda 161 daerah atau 47% zona musim. Awal musim hujan diperkirakan mundur sampai November, terjadi di 253 daerah atau 74% zona musim, jika dibandingkan dengan rata-rata 30 tahun (1981-2010). Kesempatan puso masih akan terjadi pada musim panen gadu sekarang karena kekeringan telah terjadi sebelum fase generatif terjadi dan mengganggu proses keluarnya malai padi.
Secara mikro rumah tangga, petani Indonesia masih harus berjuang untuk menyambung dan mempertahankan hidupnya karena gagal panen tersebut. Bagi petani, sawah yang puso ialah salah satu bencana dalam kehidupan usaha taninya, apalagi tidak semua petani ikut serta program asuransi pertanian yang dicanangkan pemerintah.
Akibat kekeringan ekstrem
Berdasarkan data produksi beras metode baru dengan kerangka sampel area (KSA), produksi beras Januari-September 2019 tercatat mencapai 26,91 juta ton, masih lebih rendah dari produksi beras periode yang sama 2018 yang mencapai 28,48 juta ton. Selisih produksi beras sebesar 1,57 juta ton tersebut seharusnya cukup menjadi warning bahwa kekeringan tahun ini telah membawa dampak pada produksi beras. Setelah memperhitungkan angka konsumsi dengan kisaran 2,5 juta ton per bulan, selisih surplus beras 2019 dengan 2018 tercatat 1,8 juta ton.
Metode KSA mencatat secara detail delapan fase pertumbuhan padi, yaitu vegetatif awal, vegetatif akhir, generatif, panen, persiapan lahan, puso/rusak, bera (diberakan), dan sawah nonpadi. Lahan sawah puso dan diberakan terdapat kecenderungan peningkatan signifikan pada 2019. Pada 2018, total luas lahan sawah puso tercatat 303 ribu hektare, sedangkan lahan sawah bera tercatat 11,5 juta hektare. Tiba Juni 2019, lahan sawah puso sudah tercatat 144 ribu hektare dan lahan sawah bera 3,9 juta hektare. Sangat mungkin bahwa produksi padi pada musim gadu sekarang ini turun drastis jika dibandingkan dengan 2018, apalagi perkiraan kekeringan jelas lebih besar dan melanda hampir seluruh sentra produksi padi di Indonesia.
Kekeringan ekstrem yang terjadi tahun ini telah membawa penundaan musim tanam, terlihat dari luas tanaman yang bera atau diberakan alias tidak ditanami. Siapa pun tentu akan mengalami kesulitan untuk menanam padi pada kondisi kekurangan air. Sifat khas produksi padi bahwa pergeseran musim tidak dapat mengompensasi penurunan produksi di suatu musim dengan peningkatan produksi pada musim tanam berikutnya. Sistem produksi padi di Indonesia sebagian besar (65%-70%) terjadi pada musim tanam pertama (rendeng) atau panen pada Maret-April dan 30%-35% sisanya terjadi mada musim tanam gadu sekarang.
Kecenderungan eskalasi harga
Harga rata-rata beras kualitas medium (beras setra ramos) di Pasar Induk Cipinang pada akhir pekan 13 September 2019 telah mendekati Rp10.163/kg, tidak jauh berbeda dengan harga rata-rata September 2018. Harga beras kualitas bagus (beras pandan wangi) di Pasar Induk Cipinang telah mencapai Rp13.088/kg, lebih tinggi dari harga September 2018. Harga eceran beras di pasar modern tentu jauh lebih tinggi lagi, yaitu mencapai Rp12.848/kg untuk kategori beras setra ramos dan Rp20.500/kg untuk kategori beras pandan wangi. Kekeringan dan gagal panen di beberapa sentra produksi sangat mungkin akan meningkatkan harga beras pada akhir 2019, lebih tinggi dari harga beras pada akhir 2018.
Bagaimana stok beras Badan Urusan Logistik (Bulog)? Tiba pertengahan 2019 ini, stok Bulog masih tercatat berjumlah 2,4 juta ton, terdiri atas beras domestik 1,15 juta ton dan beras impor 1,25 juta ton. Penyaluran beras Bulog 2019 ini terlihat lebih lamban karena salah satu kelompok sasaran (captive market) masyarakat tidak mampu (rastra) tidak lagi dilayani Bulog, tetapi oleh Kementerian Sosial pada program Donasi Pangan Nontunai (BPNT). Bulog terus melobi pemerintah agar diperkenankan menyalurkan beras pada kelompok sasaran atau keluarga penerima manfaat (KPM) dari BPNT tersebut. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah memberikan keleluasaan Bulog untuk menyalurkan beras pada program BPNT sampai akhir 2019.
Impor beras 2019 ini diperkirakan masih akan meningkat, mengingat pasokan dari dalam negeri mengalami hambatan karena kekeringan. Tiba Juni 2019, impor beras yang dicatat melalui Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dari Kementerian Keuangan telah mencapai sekitar 204 ribu ton dengan nilai US$87 juta atau setara devisa Rp1,2 triliun. Stok beras sedikit jauh lebih krusial jika dibandingkan dengan stok beras besar, sebagaimana yang diketahui publik. Selain pada akhir 2019, titik krusial berikutnya tentang dampak nyata dari kekeringan 2019 ini ialah pada Januari-Februari 2020, pada saat belum musim panen, sedangkan tekanan eskalasi harga masih terus menguat. Tentu tidak baik sebagai bahan komunukasi politik jika pemerintahan baru pada awal tahun kelak telah disibukkan dengan isu-isu eskalasi harga beras dan kontroversi impor beras seperti selama ini. Hal inilah yang perlu diantisipasi dengan baik melalui langkah-langkah mitigasi dan adaptasi kekeringan ekstrem.
Mitigasi dan adaptasi
Pertama, perbaikan manajemen pengelolaan air, utama sistem irigasi dan drainase. Lupakan dulu tentang siapa yang paling berhak atau memiliki kewenangan paling besar dalam seluruh rangkaian operasi dan pemeliharaan (operation and maintenance/O&M) jaringan irigasi. Hal yang paling penting ialah tentang ketersediaan air dan kualitas sistem dan jaringan irigasi. Petani dan masyarakat akan senantiasa siap bekerja sama dengan birokrasi, misalnya, untuk membersihkan saluran irigasi, menanggulangi sedimentasi sungai dan saluran air, memperbaiki bendungan agar sungai, dan air irigasi mampu mengalir sampai jauh.
Kedua, evaluasi menyeluruh kinerja pencetakan sawah, pembuatan embung, dan pemanenan air (water harvesting) yang telah dilakukan selama ini. Ukuran yang paling sederhana ialah jika sawah yang baru dicetak juga kering, seluruh sistem pengairan dipastikan bermasalah. Tertentu tentang program pemanenan air, jika sebelum musim hujan tiba, air tampungan di sekian embung itu juga kering, sistem yang ada belum mampu menjadi cadangan atau upaya mitigasi dampak kekeringan.
Ketiga, perkuat pelestarian hutan di hulu dan daerah tangkapan air, dan sumber-sumber mata air yang akan menjaga pasokan air bagi tanaman dan bagi kehidupan umumnya. Langkah-langkah seperti itu akan lebih mencerahkan dan membawa ekspektasi besar bagi masyarakat jika dibandingkan dengan upaya penyangkalan dan perbantahan yang tidak produktif.
Keempat, penggunaan benih dan varietas yang tahan cekaman kekeringan dan bahkan genangan air. Langkah adaptasi kekeringan seperti ini memang bervisi jangka panjang dan memerlukan kerja sama atau uluran para peneliti dan akademisi untuk bekerjasa bersama petani dan masyarakat, serta mencarikan skala optimal yang dapat diusahakan secara menguntungkan.