MESKIPUN sering disebut-sebut sebagai salah satu ekonom paling berpengaruh sepanjang sejarah, sejatinya David Ricardo tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Terlahir sebagai anak orang kaya, David Ricardo muda memanfaatkan koneksi keluarganya untuk bertarung di belantara London Stock Exchange.
Pada suatu titik, dia bosan dengan kekayaannya dan mulai gandrung dengan kebiasaan baru: melahap buku-buku ekonomi. Salah satu yang paling menginspirasinya ialah karya dari Eksism Smith. Dari kesenangannya itulah, Ricardo muncul di permukaan menjadi intelektual, yang buah pikirnya melengkapi teori-teori yang berkembang pada saat itu. Rupanya, tempaan pasar tempatnya bertarung dulu membuat pemikirannya menjadi lebih sempurna, bahkan melengkapi Patron berpikirnya, Eksism Smith.
Hadirnya teori keunggulan komparatif merupakan penyempurnaan dari teori keunggulan absolut empunya Eksism Smith. Tetapi, pemikiran Ricardo tidak selalu jitu. Eksis kalanya dia melayang lebih filosofis tanpa pegangan empiris. Salah satunya ialah ketika dia menghadirkan hipotesis Ricardian Equivalence mengenai ketidakefektifan dari kebijakan kontra siklus pemerintah akibat dari sifat berjaga-jaga dari pelaku ekonomi. Tetapi, hipotesis ini bahkan dipandang skeptis oleh si empunya teori mengingat terbatasnya pengalaman empiris.
Ricardian Equivalance ini tak ubahnya seperti kucingnya Schrodinger dalam diskusi antara Erwin Schrodinger dan Albert Einstein mengenai superposisi kuantum pada tahun 1935. Eksperimen di ruang pikirnya Schrodinger menghadirkan seekor kucing dalam kotak baja, yakni di dalam kotak tersebut ada unsur radiasi dan racun. Apakah kucingnya mati atau hidup, tidak ada yang tahu dan hanya berhenti pada ruang berpikirnya Schrodinger.
Cukup waspada
Apakah Ricardian equivalence relevan untuk dibicarakan dalam konteks kebijakan pemerintah terkini? Buat menjawab itu, mari kita bahas runtun waktu.
Pada awal pandemi 2020, covid-19 memberikan tekanan pada sisi supply yang memang sudah bermasalah, bahkan sejak beberapa tahun terakhir. Meminjam ungkapan Jean Baptise Say yang kesohor Supply Creates Its Own Demand, yakni stimulus dari sisi supply akan memberikan efek pengganda bagi perekonomian, maka tekanan pada sisi supply ini juga bisa menghadirkan fenomena yang disebut Keynesian Supply Shocks.
Fenomena ini cukup memberi masalah karena tekanan berlebihan pada sisi supply ini, kemudian memberikan tekanan lintas sektor, sebagai akibat dari sisi demand yang juga ikut terdampak. Untungnya pemerintah sudah cukup waspada terhadap potensi negatif dari pandemi ini dengan menghadirkan paket stimulus jumbo. Ide besarnya adalah kebijakan triple S, yaitu spend, spend, dan spend.
Bengkaknya defisit APBN dan juga utang pemerintah merupakan sesuatu yang bisa ditolerir karena bisa kita lihat bahwa sepanjang tahun 2020 sumber pertumbuhan utama berasal dari aktivitas pemerintah. Dalam ragam simulasi kami, gencarnya ekspasi fiskal pemerintah dapat menahan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 untuk tidak terperosok lebih dalam.
Berdasarkan perhitungan kami, stimulus fiskal sepanjang tahun 2020 memberikan tambahan dorongan hingga 3%. Kalau diruntun dari kuartal kedua tahun 2020 hingga kuartal 1 tahun 2021, meskipun masih berada di wilayah negatif, grafik pertumbuhan ekonomi sudah mewujud seperti huruf V, yang artinya ekonomi berpotensi pulih cepat.
Hal yang juga tak kalah pentingnya ialah intervensi nonfiskal yang bisa dilihat dari kebijakan relaksasi perdagangan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penataan dan Penyederhanaan Perizinan Impor yang diberlakukan sejak awal April. Hal ini terbukti efektif membalikkan kinerja industri yang sempat terpuruk.
Tengok saja angka Purchasing Manager Index (PMI), meski sempat anjlok dalam di bulan Maret, kemudian berangsur membaik meski harus anjlok lagi pada September (47,2) akibat PSBB ketat jilid 2. Tetapi, jika dibandingkan dengan April (27,5) akibat PSBB jilid 1, industri kita sudah terhitung tahan digedor. Ini ialah buah dari kebijakan relaksasi impor tersebut sehingga industri mudah untuk mendapatkan akses bahan baku dan barang modal.
Tren ini kemudian terus berlanjut hingga pada Mei 2021 yang sudah menyentuh level 55,3, tertinggi sepanjang sejarah. Kinerja industri yang moncer ini menyebabkan surplus perdagangan yang tebal semakin terjaga.
Area optimistis
Dalam hal intervensi kesehatan, pemerintah juga tidak kalah sigapnya. Selain program vaksinasi yang terus digenjot, dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), pemerintah juga membatasi kegiatan mudik selama Lebaran. Menurut perhitungan kami, efek dari pembatasan kegiatan mudik ini telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp70 sampai 100 triliun karena potensi infeksi virus yang rendah.
Dengan melandainya angka infeksi, persepsi risiko di tahun 2021 bergerak kearah yang lebih baik. Akibatnya, indeks keyakinan konsumen dan indeks ekspektasi kondisi ekonomi di tahun 2021 ini bertahan di zona optimistis. Hal ini sudah menunjukkan bahwa paradox of thrift sebagai konjungsi dari pandangan Keynes, perlahan lumer.
Kalau sepanjang tahun 2020 kelompok menengah ke atas cenderung menahan belanjanya, di awal tahun ini kecenderungan belanja mereka menjadi lebih baik. Mengingat 20% kelompok pendapatan paling tinggi menguasai hampir 50% dari total konsumsi jika dibandingkan dengan kelompok 40% pendapatan paling bawah yang hanya menyumbang 15-17%, maka penting untuk tetap menjaga ekspektasi kelompok pendapatan tinggi ini demi mendorong pemulihan ekonomi sepanjang tahun 2021. Apalagi, konsumsi ialah masih terhitung menjadi kontributor terbesar untuk pertumbuhan ekonomi.
Dalam khasanah keilmuan, patron kebijakan harusnya jelas. Apakah kontra siklus atau prosiklus, keduanya sahih dan punya basis yang kuat. asalkan komit dan kredibel, indikator makro akan mengarah positif. Kebijakan prosiklus meskipun kurang berhasil pada zaman pemulihan krisis tahun 1998, yaknipada saat itu obat krisis dari IMF ialah mengetatkan kebijakan, baik dari sisi fiskal maupun moneter, akibatnya kebijakan fiskal pelit, dan kebijakan moneter menghadirkan suku bunga yang tinggi. Singkatnya, kebijakan pro siklus ialah kebijakan pelit di saat krisis. Memang tidak terlalu berhasil pada saat itu, tetapi basis berpikirnya tetap ada.
Kebijakan pemerintah terkini seakan kontra siklus, yang mana seperti yang telah saya paparkan di atas bagus dalam mengarahkan indikator makro, setidaknya sampai awal tahun ini. Tetapi, perlu dicatat, pemerintah baru-baru ini menghadirkan kompleksitas baru.
Kebijakan pemerintah yang berencana menaikkan tarif pajak orang kaya menjadi 35%, dari sebelumnya 30%. Secara teknis ini dapat dipahami mengingat APBN sudah boncos berat sehingga perlu ditambal. Selain itu kebijakan ini bisa menghadirkan aspek keadilan, yakni kenaikan ini memiliki potensi untuk membuat tipis jurang pendapatan.
Tetapi, momentumnya tidak tepat. Karena, faktor ekspektasi kelompok 20% pendapatan paling tinggi, akan mendapat rintangan. Di sinilah konteks Ricardian Equivalence, yang awalnya hanya muncul pada ruang pikir David Ricardo, bisa menjadi kenyataan.
Konsep ini menyebutkan bahwa para agen ekonomi yang rasional ketika melihat pemerintah jorjor an melakukan pengeluaran untuk menggiatkan ekonomi, akan dibayar secara intertemporal di masa depan dengan menaikkan pajak. Akibatnya? Masyarakat kemudian sungkan untuk belanja sehingga kebijakan tersebut menjadi tidak efektif.
Dalih Ricardo sangat skeptis terhadap pandangannya tersebut adalah karena dengan pengalaman praktisnya, masyarakat cenderung rabun jauh sehingga dia hanya menganggap ini sebagai overthinking. Tetapi, melihat pemerintah mengumumkan kebijakan tersebut, sesuatu yang dianggap igauan oleh Ricardo bisa saja terjadi di perekonomian Indonesia. Elemen ekspektasi negatif yang mulai pudar di awal tahun, bisa saja mencuat lagi.
Kesempatan terbuka
Pada gilirannya, ini akan kembali membuat mereka menahan belanjanya. Hasil simulasi ad hoc kami menunjukkan dengan mempertimbangkan faktor ekspektasi tersebut berpotensi untuk mengkontraksi perekonomian sebesar minus 0,18%, hilangnya pendapatan masyarakat hingga minus 0,4% dan meningkatnya pengangguran hingga 0,27%. Tak hanya itu, kenaikan pajak alaminya adalah, atribut kebijakan pro siklus, sementara kebijakan pemerintah sekarang arahnya lebih ke kontra siklus sehingga patron kebijakan menjadi sumir, apakah pemerintah menjalankan pro atau kontra siklus?
Kalau tidak dimitigasi, akhirnya ini akan memicu apa yang disebut oleh Barro dan Gordon sebagai self-fulfilling expectation, yakni masyarakat akan cenderung untuk memiliki ekspektasinya sendiri, yang sulit diintervensi oleh pemerintah sehingga target-target akan sulit dicapai.
Ini ialah konsekuensi dinamis dari lunturnya kredibilitas. Yang jelas jendela kesempatan masih terbuka, peluang pulih tetap tersedia asalkan strategi tetap sejalan dengan momentum.
Dengan melihat penerawangan Ricardo, yang muncul justru bukan dari bangku kuliah, seharusnya membuat para ekonom lebih banyak merenung untuk tidak terlalu serius di kampus dan mulai bergumul dengan realitas.