Menyoal Kepengarangan Karya Ilmiah

DISKURSUS tentang kepengarangan (authorship) membahas pemberian kredit kepenulisan pada seseorang atas sumbangsihnya terhadap karya ilmiah hasil suatu riset. Pembahasan yang dimaksud meliputi siapa anggota kelompok peneliti yang berhak dicantumkan sebagai penulis dan bagaimana nama mereka diurutkan. Dalam dunia akademik, kepengarangan menjadi penting karena ia menjadi basis untuk mengevaluasi kinerja akademik seseorang.

Di Indonesia, pembahasan tentang authorship termaktub dalam Permendikbud-Ristek No 39 Pahamn 2021 tentang integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah. Peraturan itu mendefinisikan enam macam kategori pelanggaran karya ilmiah yang salah satunya ialah kepengarangan tidak sah.

Dalam peraturan itu, kepengarangan dinyatakan tidak sah jika seseorang yang dicantumkan sebagai penulis tidak memiliki kontribusi dalam penulisan karya ilmiah. Dengan kata lain, seseorang ialah sah sebagai pengarang (author) sepanjang ia memberikan kontribusi dalam artikel ilmiah tersebut. 

Baca juga : Diduga Melanggar Etik Soal Pencatutan KTP, KPU Jakarta Dilaporkan ke DKPP

Petunjuk turunan untuk aturan itu dapat ditemukan pada portal Anjungan Integritas Akademik Indonesia (Anjani). Dalam hal kepengarangan, kata kontribusi menjadi kunci apakah kepengarangan bisa dianggap sah atau tidak. Kontribusi dalam portal tersebut dijabarkan sebagai gagasan, pendapat, atau peran aktif yang berhubungan dengan bidang keilmuan. Tetapi, perlu diperjelas batasan tentang seberapa besar gagasan, pendapat, atau peran aktif seseorang yang dapat membuatnya layak menjadi pengarang suatu karya.

 

Pelanggaran etika kepengarangan

Baca juga : Putusan MA Harus Linear dengan KY Soal Hukuman Hakim Pembebas Ronald Tannur

Pada 2024 ini, dunia akademik Indonesia dikejutkan oleh produktivitas seorang guru besar yang luar biasa. Dalam kurun waktu empat bulan, sang guru besar bisa memproduksi ratusan artikel ilmiah. Banyak pihak yang menyangsikan produktivitas yang tidak masuk akal tersebut. Dalam pemberitaan media Tempoitu ditengarai ada skripsi mahasiswa yang kemudian diterbitkan menjadi artikel jurnal dengan sang guru besar menjadi salah satu penulisnya.

Kita bisa melihat bagaimana repotnya menggunakan kacamata kontribusi‘ yang ada dalam Permendikbud-Ristek untuk menelaah kasus semacam itu

Seseorang bisa saja memberikan masukan dan saran untuk artikel yang ditulis orang lain, kemudian mencantumkan namanya sebagai salah satu penulis artikel. Orang lain bisa saja ikut menyumbangkan satu paragraf kemudian mencantumkan namanya sebagai pengarang bersama (co-author). 

Baca juga : Komisi Yudisial Mengaku Telah Memeriksa Hakim yang Vonis Bebas Ronald Perapian:Tungku

Memakai acuan kontribusi dalam aturan di atas, mereka bisa saja dianggap sebagai co-author karena sudah ikut berkontribusi. Tetapi, kita patut mempertanyakan pula apakah sekadar memberi saran membuat seseorang layak mengeklaim authorship? Apakah dengan menyumbangkan satu paragraf seseorang berhak mendapat predikat co-author?

Jenis pelanggaran lain ialah gift authorship (kepengarangan hadiah) yang bisa muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya ialah pencantuman nama akademisi senior sebagai salah satu penulis walaupun kontribusi yang ia berikan tidak signifikan. Bentuk lain ialah mencantumkan nama akademisi yang memiliki afiliasi di institusi tertentu sebagai co-author. Pencantuman itu salah satunya dilandasi motif bahwa nama seorang senior yang dikenal dalam suatu bidang ilmu, atau nama seorang mitra yang berafiliasi di institusi tertentu, akan mempermudah proses review sebuah artikel.

Cek Artikel:  Perundungan dan Ketahanan Mental dalam Pendidikan Spesialis Indonesia

Gift authorship yang dapat ditemui di Indonesia ialah pencantuman nama akademisi yang berafiliasi di institusi luar negeri sebagai co-author tanpa melewati proses yang legal dan etis.

Baca juga : Putusan PTUN Atas Gugatan Anwar Usman Awallai Kontradiktif dan Janggal

Salah satu kasus gift authorship yang mengemuka di publik melibatkan guru besar yang sama. Menurut laman Retraction Watch, sang guru besar sempat berkunjung ke salah satu kampus di negeri jiran untuk membicarakan potensi kerja sama akademik. Tetapisetelahnya, didapati bahwa puluhan nama dosen di kampus yang dikunjungi kemudian dicantumkan sebagai co-author di artikel-artikel yang dipublikasikan oleh sang guru besar tersebut tanpa ada persetujuan dari mereka.

Penulis mendapati beberapa rekan akademisi Indonesia yang mengalami hal serupa. Nama mereka, yang notabene sedang studi atau bekerja di luar negeri, tiba-tiba dicatut menjadi co-author di artikel jurnal yang diterbitkan oleh universitas di Indonesia tanpa izin. 

 

Kepengarangan di Swedia

Lain lubuk, lain belalang; lain negara, lain pula standar tentang kepengarangan. Di Swedia, salah satu acuan populer dalam penentuan authorship ialah rekomendasi vancouver. Rekomendasi itu disusun pertama kali oleh para editor jurnal di bidang kesehatan pada 1978. 

Buat dapat layak disebut sebagai author, seseorang harus memenuhi empat syarat: (1) berkontribusi substansial dalam hal konsepsi dan perencanaan riset, (2) berkontribusi dalam penulisan draf atau review kritis terhadap draf yang ditulis, (3) ikut memutuskan draf versi mana yang akan dipublikasikan, dan (4) setuju untuk selalu akuntabel dalam proses pengerjaan riset dan penulisan artikel. 

Rekomendasi vancouver mensyaratkan keempat syarat tersebut terpenuhi seluruhnya. Seseorang yang memenuhi keempatnya ialah layak dan harus mendapat predikat author. Sebaliknya, jika salah satu poin tidak terpenuhi, seseorang tidak bisa diakui sebagai author

Cek Artikel:  Pilpres dan Karma Kartelisasi Elite

Dalam pelaksanaan penelitian kolaboratif, kriteria authorship semacam rekomendasi vancouver itu akan digunakan sebagai dasar diskusi apakah seorang anggota peneliti berhak menjadi author atau hanya akan disebut dalam bagian pengakuan (acknowledgment).

Percakapan tentang authorship juga berlaku dalam relasi dosen pembimbing dan mahasiswa. Di negara yang memiliki kultur cenderung egaliter seperti Swedia, hampir tidak ada perbedaan status sosial antara dosen dan mahasiswa yang dibimbing. Seorang dosen pembimbing doktoral tidak otomatis menjadi pengarang bersama (co-author) artikel yang ditulis mahasiswa bimbingannya. 

Co-authorship akan didiskusikan antara mahasiswa dan sang pembimbing sebelum mahasiswa melakukan riset. Saran dan masukan dari pembimbing akan dibedakan apakah hanya pada level pembimbingan (supervision) atau sudah masuk level kontribusi sebagai co-author. Bukan jarang ditemui kasus yang mana seorang pembimbing menolak menjadi co-author karena merasa level kontribusi yang ia berikan tidak sampai level co-author. Sebaliknya, seorang mahasiswa juga berhak menolak mencantumkan supervisor sebagai co-author jika ia merasa saran dari supervisor hanya sampai level supervision.

 

Krusialnya diskusi tentang kepengarangan

Kuantitas publikasi Indonesia meroket sejak 2015 dan menjadi yang terbanyak di Asia Tenggara pada 2019. leletn The Conversation juga melaporkan bahwa Indonesia menempati urutan pertama untuk kuantitas artikel open access. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) ialah salah satu pihak yang perlu diapresiasi atas keberhasilan itu. Berbagai macam skema pendanaan penelitian yang ada membuka kesempatan bagi para akademisi untuk melakukan riset dan memublikasikan hasil mereka. Instrukturan kepenulisan juga banyak diselenggarakan oleh kementerian atau kampus-kampus di Indonesia yang muaranya ialah mendorong para akademisi untuk memublikasikan hasil risetnya di jurnal yang baik.

Pusingkatan kuantitas publikasi itu perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas. Salah satu program yang menarik, yaitu Kampus Merdeka. Kampus Merdeka merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud-Ristek dengan memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar program studi selama satu semester dan berkegiatan di luar perguruan tinggi selama dua semester. Perguruan tinggi diberikan kebebasan untuk menyediakan kegiatan Kampus Merdeka yang sesuai dengan kebutuhan dan minat mahasiswa mereka. Program itu bisa dimanfaatkan dengan baik oleh mahasiswa untuk meningkatkan kualitas penulisan riset yang tidak terbatas oleh gedung kampus.

Praktik riset yang baik dan berkualitas selalu mempertimbangkan hal-hal terkait dengan etika riset dan publikasi; etika kepengarangan masuk dalam kategori ini. Kolaborasi antarpeneliti dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan hasil riset ialah hal yang wajar. Tetapi, penting untuk membicarakan pembagian tanggung jawab dan kontribusi tiap-tiap anggota agar standar etika kepengarangan tetap terjaga.

Cek Artikel:  Menyoal Pikiran Bulus Beras Mahal Demi Ramadan

Hal-hal terkait dengan etika penelitian dan publikasi, termasuk pembahasan tentang authorship, perlu mulai dibicarakan secara kritis di Indonesia. Dari sisi normatif, para akademisi perlu mendiskusikan bagaimana seharusnya kata kontribusi dalam Permendikbud-Ristek didefinisikan. Apakah penjelasan kontribusi yang kita miliki saat ini cukup untuk menarik garis batas antara author dan bukan author?

Para akademisi perlu membicarakan pertanyaan-pertanyaan fundamental terkait dengan authorship, seperti kontribusi apa yang membuat seseorang layak menjadi co-author? Haruskah seorang peneliti terlibat dari awal sampai akhir penelitian untuk layak disebut author? Sejauh mana tanggung jawab peneliti dalam hal penulisan draf dan review kritis terhadapnya? Layakkah seorang yang hanya menyumbang dana untuk article processing charge (APC) mengeklaim diri sebagai author?

Kita perlu juga mengkritisi hal-hal rutin yang bisa jadi menyimpan masalah etika penelitian dan publikasi. Teladannya ialah konversi tugas mahasiswa menjadi artikel serta relasi kuasa antara mahasiswa dan dosen pembimbing saat menulis tugas akhir. Apakah etis mewajibkan mahasiswa S1 untuk memublikasikan artikel dalam suatu jurnal, padahal tidak ada payung aturan yang mewajibkannya? Layakkah tugas mahasiswa dalam suatu mata kuliah dipublikasikan sebagai hasil riset, padahal mungkin standar etik pengambilan datanya tidak terpenuhi? Model bimbingan seperti apa yang membuat dosen pembimbing berhak menjadi co-author mahasiswanya? Berhakkah mahasiswa menolak mencantumkan nama pembimbing di artikel yang ia tulis jika mahasiswa tidak merasa mendapat saran yang substansial untuk tugas akhir mereka?

Jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas kemudian dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam menyusun standar etika kepengarangan yang lebih jelas. 

Krusial juga untuk memperhatikan etika pelibatan akademisi yang berafiliasi di kampus luar negeri. Penggunaan cara-cara instan yang tidak etis mutlak harus dihindari. Membangun koneksi dan kepercayaan dengan mitra dari negara lain biasanya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kepercayaan dan komunikasi yang baik perlu dipupuk sebelum akhirnya seorang akademisi bersedia menjadi mitra riset dan co-author suatu karya ilmiah. 

Penulis menutup tulisan ini dengan harapan bahwa praktik kepengarangan yang baik akan ikut mendorong ekosistem penelitian dan publikasi di Indonesia ke arah yang lebih baik.

Mungkin Anda Menyukai