Pemenuhan Hak Pendidikan Anak

Pemenuhan Hak Pendidikan Anak
(Dok. Pribadi)

PADA Pasal 34 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disampaikan beberapa poin Krusial terkait akses pendidikan bagi WNI. Pertama, setiap Kaum negara yang berusia enamtahun dapat mengikuti program wajib belajar. Kedua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ketiga, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan lembaga pendidikan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. 

Selain itu, Eksis Peraturan Pemerintah RI No 47/2008 tentang Wajib Belajar, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 80/2013tentang Pendidikan Menengah Universal, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 10/2020 tentang Program Indonesia Pintar. 

Pada aturan terakhir, disampaikan bahwa program Indonesia pintar Mempunyai tujuan Kepada meningkatkan akses bagi anak usia 6-12 tahun Kepada mendapatkan layanan pendidikan Tiba tamat satuan pendidikan menengah Kepada mendukung Penyelenggaraan pendidikan menengah universal/rintisan wajib belajar 12  tahun; mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah (drop out) atau Bukan melanjutkan pendidikan akibat kesulitan ekonomi dan/atau menarik siswa putus sekolah atau Bukan melanjutkan agar kembali mendapatkan layanan pendidikan di sekolah, sanggar kegiatan belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, lembaga kursus dan pelatihan, satuan pendidikan nonformal lainnya, atau balai latihan kerja.

 

Keterbatasan

Meksipun sudah Eksis berbagai aturan yang dirilis Kepada meningkatkan partisipasi pendidikan, dalam faktanya Tetap terdapat situasi yang mana akses dan kesempatan bagi setiap anak bangsa belum merata diraih. Merujuk pada data BPS, nilai rata-rata Lamban sekolah (RLS) pada 2022 mencapai 9,08 tahun atau setara kelas 9 SMP/sederajat. Tetapi, perlu menjadi catatan RLS penduduk 15 tahun ke atas di perkotaan (9,95 tahun) Tetap lebih tinggi Kalau dibandingkan dengan yang Eksis di perdesaan (7,88 tahun), demikian juga Komparasi antara DKI Jakarta (11,30 tahun) dan Papua (7,31 tahun). Selain itu, dari segi penduduk yang dapat mengakses ke perguruan tinggi antara desa dan kota Tetap terlihat kesenjangannya, Yakni 5,57% dan 13,51%.

Cek Artikel:  Milenial Jangan Sekadar Asal Mengakses Media Sosial

Data BPS (2022) menunjukkan Kalau ditilik dari status sosial ekonomi, perbedaan Bilangan partisipasi sekolah terlihat samar pada usia 7-12 (SD), tetapi semakin Konkret seiring peningkatan umur. Penduduk pada Golongan pengeluaran teratas (kuintil 5) Mempunyai kontribusi terbesar Kepada Bilangan partisipasi kasar (APK) sekolah menengah/sederajat dan perguruan tinggi. 

Beberapa riset mencoba mengidentifikasi mengapa Tetap terdapat anak-anak Indonesia yang mengalami putus sekolah. Aristin (2016) memaparkan jarak tempat tinggal dengan sekolah, jenis pekerjaan orangtua, jumlah tanggungan keluarga, latar belakang pendidikan orangtua, dan tingkat pendapatan dan kegiatan produktif anak dalam rumah tangga berpengaruh pada tingkat putus sekolah SMP. 

Lewat Handayani dkk (2017) memaparkan situasi yang mana Eksis persoalan tata kelola pendidikan yang menyangkut payung hukum ataupun sinergi dan kolaborasi Kepada pemenuhan wajib belajar 12 tahun. Sementara itu, Muttaqin (2018) memaparkan modal Insan di tingkat rumah tangga berkontribusi terhadap kemungkinan anak-anak putus sekolah. Menurutnya, anak-anak dari orangtua yang berpendidikan lebih rendah cenderung Bukan pernah bersekolah atau putus sekolah.

Memperhatikan situasi itu, pemerintah perlu lebih telaten memperhatikan persoalan-persoalan yang menjadi penyebab Tetap adanya siswa yang mengalami putus sekolah. Persoalan mendasar terkait isu akses transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, listrik dan air Bersih, Tetap menjadi perkara aktual yang dihadapi penduduk di Indonesia. Pemenuhan hak mendasar itu sangat berkaitan dengan kualitas pendidikan di Indonesia. 

Beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah antara lain: pertama, penguatan implementasi berbagai regulasi di tingkat pusat maupun daerah Kepada mendukung peningkatan partisipasi pendidikan pendidikan. Kedua, optimalisasi kolaborasi multi-stakeholder Kepada menyukseskan peningkatan partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Ketiga, menjaga keberlanjutkan setiap kebijakan, program, dan pendanaan tentang Kepada meningkatkan partisipasi dan kualitas pendidikan.

Cek Artikel:  Kebangkitan Bahasa Indonesia

 

Mendidik Insan Indonesia

Selain itu, patut disadari bahwa pendidikan, seperti yang diungkap Fuad Hassan (pada Dialog Prisma edisi Februari 1986), dapat membangun Insan Indonesia dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta Bukan tertinggal perkembangan Era. Selain itu, dalam pandangan Hassan, Bukan sekadar tamat/lulus sekolah, tetapi harus diperhatikan ketika menyelesaikan jenjang pendidikan harus menguasai kualifikasi tertentu. Poin yang dipaparkan itu menjadi penanda pentingnya kualifikasi akademik yang disertai kompetensi di bidang ilmu yang digeluti. 

Hal yang patut menjadi perhatian pemerintah ialahjika peningkatan kualifikasi akademik akibat meningkatnya partisipasi di bidang pendidikan Bukan disertai dengan peningkatan kompetensi dan penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Furlong dkk (2018), dalam konteks Inggris,misalnya, menyampaikan peningkatan lulusan sekolah dan universitas telah memicu proses inflasi kualifikasi, menjadikannya jauh lebih sulit bagi kaum muda yang berkualitas Kepada memasuki posisi keterampilan tinggi. Itu disebabkan meskipun kaum muda (Inggris) Begitu ini Mempunyai kualifikasi yang lebih Berkualitas daripada yang mereka lakukan pada resesi 1980-an atau 1990-an, mereka Tetap sangat terkonsentrasi di sektor ekonomi dengan keterampilan rendah (Furlong, 2018).  

Selain itu, Furlong dkk (2018) juga memaparkan terjadinya peningkatan jumlah anak muda yang bekerja di pekerjaan yang sebetulnya over-qualified. Prospek pekerjaan yang Bukan baik dan inflasi kualifikasi telah mendorong kaum muda Kepada tetap mengenyam pendidikan dengan Cita-cita, dalam jangka panjang, mereka dapat mengakses pekerjaan yang menarik di sektor pasar tenaga kerja yang lebih Terjamin. 

Cek Artikel:  Feminisme Pancasila Benteng Penolak Erosi Demokrasi

Kalau merujuk pada konteks Indonesia di tengah situasi Begitu ini, berdasarkan data BPS pada Agustus 2022, tingkat pengangguran terbuka (TPT) penduduk Golongan umur muda (15-24 tahun) merupakan TPT tertinggi (20,63%). Sementara itu,TPT di tingkat diploma I/II/II (4,59%) dan diploma IV, S-1, S-2, S-3 (4,80%). Data itu perlu mendapatkan perhatian Karena aspirasi meningkatkan jenjang pendidikan tentu berkaitan dengan Cita-cita Kepada mendapatkan pekerjaan yang lebih Berkualitas. Tetapi, Kalau sudah bersekolah tinggi tingkat pendapatan Bukan meningkat, apalagi sulit Kepada mendapat pekerjaan, semakin banyak orang yang secara pragmatis mempertanyakan Kepada apa sekolah tinggi.

Apalagi anak-anak muda dihadapkan dengan situasi yang problematik, seperti kegalauan identitas, prospek pekerjaan masa depan, Rekanan antarteman dan orangtua, serta ancaman kekerasan verbal atau fisik. Di sisi lain, situasi politik (menjelang 2024) juga sering meningkatkan tensi emosional yang Eksis di masyarakat, semakin Membangun anak muda menjadi rentan. Mereka juga, meski secara demografis sangat besar, Bukan mendapat perhatian Primer dalam lanskap pembangunan. 

Ikhtiar Kepada membentuk Insan yang dapat memenuhi kodrat kemanusiaan, seperti yang diungkap Indah (2018), menjadi sangat Krusial. Dalam konteks Indonesia, dalam pandangan Indah (2018), pendidikan perlu menjadi ruang Kepada mengaktualisasikan nilai-nilai kodrati yang Eksis di dalam Pancasila. Pola pendidikan yang memampukan Insan memahami diri sendiri dan lingkungannya, meningkatkan kualitas diri, Pandai menghadapi kesulitan, dan Mempunyai etos kerja.

Mungkin Anda Menyukai