MENJAGA eksistensi bahasa Arab di Indonesia merupakan tugas mulia para ilmuwan, praktisi, juga konseptor-konseptor birokrasi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) dalam hal ini telah cukup lama meluncurkan Kurikulum Merdeka dan menyosialisasikan paradigma baru dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Alat komunikasi global
Sudah sepatutnya hal ini menjadi perhatian Kementerian Religi sebagai upaya menjawab dua tantangan kesenjangan pendidikan Islam, yaitu kesenjangan paradigmatik dan kesenjangan teknologi. Apakah hingga saat ini nasib bahasa Arab semakin membaik dengan paradigma baru Merdeka Belajar? Apakah sudah menjadi prioritas bagi Kemendikbud-Ristek yang memandang bahasa Arab sebagai bahasa penting komunikasi global, ataukah masih diposisikan sebagai bahasa ritual sebagaimana familier di lingkungan lembaga-lembaga Kementerian Religi.
Setidaknya, keputusan pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Religi (KMA) No 183 Pahamn 2019 bahwa arah pembelajar belajar bahasa Arab adalah sebagai alat komunikasi global dan alat mendalami agama dapat memperkuat visi Merdeka Belajar dan memperbaiki ‘salah kaprah’ konsep keterampilan bahasa Arab.
Dengan kebanggaan sebagai negara muslim terbesar di dunia dan sebagai negara yang telah memerankan bahasa Arab sebagai subkultur keagamaan sejak masuknya Islam ke Nusantara 12 abad yang lalu, pembaru pendidikan bahasa Arab Indonesia perlu meninjau kembali keterampilan bahasa dan fokus pada akar persoalan disorientasi pembelajaran bahasa Arab selama ini.
Akar persoalannya ialah kerancuan pemahaman bahasa dan keterampilan bahasa Arab yang berdampak struktural pada peletakan bahasa Arab di Nusantara, baik dalam hal materi kurikulum, metode pembelajaran, maupun sumber daya manusia (SDM) dari kalangan pengajarnya.
Oleh karena itu, ada jalan terjal dan logis yang harus ditempuh oleh para akademisi dan praktisi, yakni memperbarui meninjau kembali keterampilan bahasa dan memperbarui konsepnya. Tawaran solusi fundamental dan paradigmatik telah diterima dan dipaparkan dalam Konferensi Global Sharjah-Uni Emirat Arab (UEA) yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan Bahasa Arab Negara-Negara Teluk di awal 2023.
Penelitian itu berjudul Meninjau Kembali Keterampilan Bahasa: Studi Epistemologis Atas Pengalaman Indonesia. Enggak dimungkiri bahwa UEA cukup akomodatif dengan gagasan-gagasan baru yang dinilai ilmiah dan bakal memberikan kontribusi positif di masa yang akan datang.
Pemikiran bahasa Arab bertolak pada konsep bahasa sebagai suara, bukan simbol atau teks. Konsep ini meniscayakan bahwa keterampilan bahasa hanya dua; mendengar dan berbicara, bukan empat atau lima. Selain keterampilan mendengar dan berbicara adalah keterampilan simbolik yang tidak bisa dipandang sama oleh para ilmuwan, terlebih dalam penerapannya di dunia pendidikan.
Tawaran ini tidak hanya realistis bagi mereka yang bersikap objektif, bahkan menjadi pijakan awal bagi setiap terobosan baru pembelajaran bahasa yang telah mengalami disorientasi; belajar bahasa bukan untuk berbahasa, melainkan untuk menerjemah, membaca, atau menulis. Terlebih, semangat Merdeka Belajar yang juga diproyeksikan untuk menjawab tantangan digitalisasi, yang nyata-nyata menghilangkan sekat dan jarak antara negara satu dan yang lain, tentu menjadi momentum bagi bahasa Arab sebagai alat komunikasi multi-kepentingan.
Selain itu, pembelajar bahasa Arab perlu mengubah cara pandang mereka terhadap bahasa Arab, yang sebelumnya parsial dan sepotong-potong, atau identik bahasa kitab dan ritual, menjadi lebih menyeluruh dan utuh.
Penjernihan cara pandang dan penyegaran konsep
Penjernihan cara pandang dan penyegaran konsep perlu dilakukan demi menjaga watak bahasa dan pembelajarannya memenuhi logika berpikir ‘berbahasa adalah bersuara (berbicara)’, di samping tuntutan paradigma baru pendidikan milenial.
Setelah Qatar yang notabene merupakan negara Arab menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 dan tragedi kemanusiaan akibat perang Israel-Palestina yang berbulan-bulan menegaskan perlunya solidaritas global tanpa label identitas atau Arabisasi.
Nusantarisasi bahasa Arab membawa logika sebaliknya dan cukup sederhana. Ilustrasinya, “Kalau ditemukan kampung Inggris menjamur di Indonesia, kenapa sulit ditemukan adanya kampung Arab?” Kesadaran pentingnya solidartias global ini akan tumbuh berkembang seiring mudahnya mendampingi umat dengan data.
Bahasa Arab sudah tidak lagi relevan dipandang dengan kacamata tradisional atau bahkan primitif, yang mengabaikan bahasa sebagai bahasa, atau menggunakan kacamata orientalis yang melokalisasi bahasa Arab di negara-negara non-Arab sebagai bahasa agama. Padahal, dunia riset dan ajaran Islam sendiri menegaskan bahwa bahasa Arab adalah bahasa peradaban, dan peradaban mencakup nilai pendidikan, keadilan, dan ekonomi.
Orientalis Prancis Henri Roussel menyebutkan, agar pendidikan di Prancis berkembang, sebaiknya bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa kedua agar pelajar Prancis belajar kedalaman berpikir dari bahasa Arab.
Selain itu, di tengah krisis yang dialami oleh Amerika Perkumpulan dan negara-negara Eropa, bahasa Arab semakin memberikan peluang pasar sebagaimana posisinya sebagai bahasa ekonomi yang digunakan oleh 22 negara Arab, termasuk negara Arab yang nilai tukar mata uangnya berada pada urutan tertinggi di dunia; dinar Kuwait, dinar Bahrain, riyal Oman, dan dinar Yordania.
Malah pound sterling Inggris, euro Eropa, dan dolar Amerika Perkumpulan berada di bawah urutan nilai tukar mata uang negara-negara Arab tersebut. Pekerja migran merasa perlu menaruh perhatian terhadap bahasa Arab sebagai upaya peningkatan profesionalisme. Termasuk, para diplomat RI yang perlu memperhatikan bahasa Arab dengan porsi yang tepat sebagaimana diplomat AS,Tiongkok, dan negara-negara adikuasa yang lain.
Singkat kata, bahasa Arab perlu didudukkan pada tempatnya dan dipandang luas menurut kodrat aslinya sebagai bahasa (baca:suara), bukan sebagai simbol karena keduanya merupakan sesuatu (baca:entitas) yang sangat berbeda dan saling berhubungan secara tidak konsisten.
Dari sisi fungsi, perlu diakui bahwa bahasa tidak hanya sebagai simbol untuk dibaca, tetapi juga sebagai alat komunikasi lisan maupun tulisan. Tetapi, dari sisi hakikat atau entitas suara, bahasa tidak seyogianya diperlakukan secara tidak konsisten, yakni sebagai simbol sehingga melanggengkan masalah disorientasi pendidikan dan ‘salah kaprah’ memahami bahasa Arab.
Definisi bahasa yang dicetuskan oleh linguis Arab Ibnu Jinni dan konsisten pada suara merupakan definisi tertua dan terpopuler di dunia Timur dan Barat. Bahasa, menurut Ibnu Jinni, adalah suara yang digunakan oleh suatu kaum untuk mengungkapkan maksud mereka.
Hal ini bukan tawaran utopis, melainkan solutif bagi masa depan bahasa Arab agar mudah dipelajari, lebih komunikatif, menyenangkan, dan berdampak di ruang digital maupun lingkungan atau ruang bahasa Arab buatan. Image bahasa Arab sebagai ‘bahasa yang sulit’ atau anggapan bahasa Arab identik dengan nahwu, pada akhirnya akan hilang secara bertahap, tanpa mengganggu tradisi lokal yang berkembang di masyarakat, terutama pesantren yang melestarikan ciri khas ulama Nusantara dalam mempelajari kitab ajaran Islam seperti penggunaan metode utawi iki iku dalam bahasa Jawa.
Tantangan image bahasa Arab itu sulit dan perlakuan terhadap bahasa Arab yang disamakan dengan perlakuan terhadap nahwu, hingga muncul kebiasaan penyalahgunaan ilmu nahwu untuk membaca kitab, akan berkurang, di samping mengimbangi gerakan sekulerisasi bahasa Arab yang terwariskan turun-temurun.
Pembangunan ekonomi berkelanjutan
Perubahan image bahasa Arab membutuhkan upaya bersama para ahli maupun praktisi sehingga keberadaannya bisa survive seperti bahasa Inggris, bahasa Mandarin, atau bahasa lain yang diminati oleh dunia kerja. Lebih dari itu, penguatan eksistensi bahasa Arab diharapkan dapat mengantarkan umat Islam bisa ikut andil dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan bersama negara-negara Arab, bahkan dunia internasional.
Upaya konkret apa pun tidak akan berjalan efektif, bahkan akan terjerumus pada disorientasi pembelajaran bahasa Arab, jika tidak ada pembaruan cara pandang keterampilan bahasa. Kesalahan memandang bahasa, dalam hal ini berarti kesalahan memandang keterampilan bahasa, kemudian salah memandang kurikulum dan metodologi pembelajaran. Ini adalah logika sehat dan jauh dari penyakit ‘cacat nalar’ yang dilestarikan demi menjaga ‘status quo’.
Akhir kata, isu-isu kebahasaan dan kearaban diharapkan bisa menemukan momentumnya, selaras dengan program Merdeka Belajar Kemendikbud-Ristek yang responsif dengan kebutuhan zaman dan selaras dengan watak generasi milenial yang menyukai sharing dan traveling. Dalam hal ini tujuan destinasi tentu semakin mengglobal, termasuk ke dunia Arab yang membentang luas atau dunia Arab digital yang jauh lebih luas dan tak terbatas.
Paradigma baru bahasa Arab tidak bertentangan dengan spirit Merdeka Belajar dalam memacu motivasi belajar bahasa Arab sebagai bahasa Global. Bahasa Arab tidak hanya berguna bagi para aktivis travel dan jama’ah haji-umroh, melainkan juga bagi para pelajar dalam menyikapi ‘ledakan informasi’ dan bahkan penguatan jaringan dan kemandirian ekonomi di masa-masa mereka mendatang, serta menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan solidaritas sosial-kemanusiaan mereka dengan sarana dan prasarana yang mudah dan murah. Wallahu A’lam