Mengenal Penyakit Parkinson Asa dan Tatalaksana di Masa Depan

Mengenal Penyakit Parkinson: Harapan dan Tatalaksana di Masa Depan
Feby Purnama, KSM Neurologi Edelweiss Bandung, PERDOSNI Cabang Bandung dan Pengurus Pusat JDN-PB IDI(Dok Pribadi)

PADA tahun 1997 Golongan Studi Parkinson Sedunia menyelenggarakan sebuah pertemuan di Jenewa mendeklarasikan sebuah piagam pernyataan terkait hak pasien dengan Penyakit Parkinson yaitu: hak untuk dirujuk kepada konsultan neurologi khusus gangguan gerak, hak untuk mendapatkan penilaian dengan diagnosis kerja yang akurat, hak mendapatkan pelayanan penunjang, hak untuk observasi berkelanjutan, dan hak ikut terlibat dalam setiap Keputusan tatalaksana penyakit Parkinson. Piagam tersebut ditandatangani dan dideklarasikan sebagai Piagam Parkinson Sedunia (World Parkinson’s Charter) pada 11 April 1997.

Parkinson merupakan penyakit yang terjadi karena proses degenerasi ganglia basal otak, yaitu pada substansia nigra pars kompakta yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik. Substansia nigra merupakan suatu struktur di otak yang berlokasi di crus cerebri dan tegmentum pada otak bagian tengah. Area tersebut dikenali sebagai pusat kendali motorik. 

Masalah utama pada penyakit Parkinson adalah hilangnya neuron di substansia nigra pars kompakta yang memberikan inervasi ke striatum sehingga terjadi penurunan kadar dopamine. Di dalam striatum tersebut terdapat dua kelompok reseptor yaitu reseptor jalur direk  (eksitatori/D1) yang meningkat dengan dopamine, dan reseptor jalur indirek (inhibitori/D2) yang menurun dengan dopamine. 

Baca juga : Vertigo Mendadak Bisa Jadi Gejala Stroker

Pada Parkinson, dopamine yang menurun namun proses inhibitori meningkat memberikan kesanseolah terjadi ketidakseimbangan antara dopamine dan asetilkolin.

Cek Artikel:  Kontemplasi Migrasi Kerja Dunia

Tak hanya terkait gejala motorik, seluruh anggota tubuh juga dapat terkena dampak dari patomekanisme Parkinson. Jikapun termasuk penyakit terkait proses penuaan, Parkinson tidak hanya mengenai orang lanjut usia, tapi juga sudah mulai banyak ditemukan Parkinson dengan onset usia muda. 

Kriteria diagnosis menurut UK Parkinson Disease Society Brain Bank (UKPDS) menyebutkan bahwa menilai tanda dan gejala Parkinson diawali dengan Langkah pertama: ditemukan gerakan yang melambat (bradykinesia) disertai salah satu dari 3 tiga  tanda lain: tremor, rigiditas, dan gangguan postural. Langkah kedua dalam mendiagnosis selanjutnya adalah menetapkan kriteria eksklusi yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis Parkinson, yaitu penyebab lain Parkinson: stroke, ensefalitis, trauma, paparan obat neuroleptic, hidrosefalus, atau tumor otak, adanya insufisiensi autonomy fase awal, tanda demensia awal, tanda kelumpuhan supranuclear, krisis okuloirik, tanda cerebellar lain, atau respon buruk terhadap zat obat Levodopa. 

Baca juga : Kombinasi Obat dan Vitamin B Bisa Kurangi Akibat Neuropati perifer

Kalau sudah ditetapkan tidak ada kriteria eksklusi, maka langkah ketiga, seorang dokter spesialis neurologi menemukan minimal tiga kriteria suportif: tremor saat istirahat, awitan gangguan yang terjadi unilateral (salah satu sisi tubuh saja), gejala asimetri yang menetap, progresif, perjalanan klinis lebih dari 10 tahun, atau berespon dengan levodopa.

Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran neurologi saat ini masih terus berjalan. Para klinisi dan peneliti Ilmu Gangguan Gerak masih berupaya untuk bisa menentukan cara diagnosis dan terapi definitif untuk Parkinson. Penyakit Parkinson sendiri tidak berakibat langsung sebagai penyebab kematian namun dapat mengalami perburukan yang kontinual sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Hal inilah menjadi tantangan besar bagi para klinisi neurologi saat ini.

Cek Artikel:  Korupsi Rezim Infrastruktur

Keterlibatan pasien dan pendamping pasien sangat penting dalam tatalaksana karena sering ditemukan tanda gangguan komunikasi dan kognisi pada pasien Parkinson. Edukasi terkait mengenal perjalanan suatu kumpulan gejala Parkinson, apa saja dampak Parkinson terhadap kemampuan beraktivitas sehari-hari, dan penanggulangan jika terjadi gangguan fungsional atau komplikasi dari Parkinson. 

Baca juga : Skrining Otak Krusial untuk Hindari Aneurisma

Pencegahan perilaku sedentari saat ini menjadi isu hangat dalam tatalaksana Parkinson. Perilaku sedentary itu sendiri ada hubungannya dengan gangguan kognisi terutama pada domain atensi yang sering terjadi pada pasien dengan Parkinson. Kerja sama dengan dokter sejawat spesialis Ilmu Penyamaranteran Fisik dan Rehabilitasi sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien Parkinson dengan cara perencanaan latihan kardiorespirasi, resistensi, fleksibilitas, dan neuromotorik.

Tatalaksana gangguan postural dan  pencegahan risiko jatuh dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti dengan Lee Silverman Voice Treatment (LSVT) atau Teknik Alexander. Metode berjalan dan strategi penanggulangan kaku mendadak (freezing) juga diajarkan serta latihan keseimbangan multimodalitas dengan stimulus auditori ritmis (rhytmical auditory stimulation).

Cek Artikel:  Mendidik Keberagaman

Pengenalan fase perjalanan Penyakit Parkinson penting untuk dikenali oleh klinisi dan pendamping pasien. Mulai dari tahap 1 yaitu tiga tahun pertama terjadi kejadian defisiensi dopamine. Pada tahap 2 mulai muncul gejala wearing off yang merupakan fluktuasi motorik yang merupakan tanda terjadi penurunan kemampuan otak dalam menyimpan dopamine. Kemudian tahap 3 yaitu fase akhir defisiensi dopamine, yang mana pada tahap ini tidak ada lagi kapasitas penyimpanan dopamine dan tidak aktifnya mekanisme reuptake sehingga konsentrasi dopamine di reseptor post sinaps menghasilkan gejala on (overdosis). 

Dengan kompleksnya suatu perjalanan penyakit Parkinson menjadi pekerjaan rumah saat ini dan di masa depan untuk diagnosis dan tatalaksana yang akurat di Indonesia. Urgensi distribusi sumber daya manusia, yaitu dokter spesialistik konsultan gangguan gerak, teknologi intervensi dari keilmuan bedah saraf, tenaga dokter spesialistik ilmu rehabilitasi, pemeriksaan penunjang yang dapat mendefinitifkan dan memetakan jenis gangguan organik seperti pencitraan radiologi yang spesifik dan sensitive, baik dengan MRI dengan kekuatan minimal 3 Tesla dan PET scan. Ketersediaan obat-obat yang lebih banyak jenis dan lini pilihannya, menjadi tantangan untuk ilmu neurologi dan pengambil kebijakan kesehatan Indonesia. (H-2)
 

Mungkin Anda Menyukai