Memperkuat Proporsional Terbuka

Memperkuat Proporsional Terbuka
Khairul Fahmi Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas(Dok. MI)

DI tengah kekhawatiran dan panasnya debat soal sistem pemilu, Mahkamah Konstitusi menghadirkan putusan yang Bisa menenangkan suasana. Permohonan Buat mengganti sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup ditolak. Dengan demikian, Pemilu Legislatif 2024 tetap dilaksanakan menggunakan sistem proporsional terbuka.

Bagi pendukung proporsional tertutup, putusan setebal 735 halaman ini tentu mengecewakan. Sebaliknya, bagi pendukung proporsional terbuka, putusan tersebut tentu sangat menggembirakan. Terlepas Terdapat yang puas dan Tak puas, harus diakui bahwa Buat kondisi Begitu ini, putusan itu sudah sangat Betul.

Dikatakan demikian karena putusan yang dimaksud sepenuhnya tunduk pada Logika hukum dan kebijaksanaan yang memang harus demikian adanya. Bagaimana mungkin MK dapat mengabulkan permohonan mengubah sistem pemilu hanya dengan mengabulkan pengujian tujuh pasal dalam UU Pemilu? Sementara itu, Bangunan normatif UU Pemilu tersebut dibangun di atas logika sistem proporsional terbuka. Bila dikabulkan, putusan MK Malah akan dituduh menjadi penyebab terjadinya kekacauan dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sudah berjalan.

Selain itu, MK juga telah menjawab kekhawatiran dan anggapan bahwa institusi peradilan itu tengah masuk ke skenario kecurangan penyelenggaraan Pemilu 2024. Putusan tersebut setidaknya menjadi modal Krusial bagi MK Buat tetap menjadi peradilan konstitusi yang dapat dipercaya menyelesaikan sengketa hasil Pemilu 2024 nanti. Kepercayaan ini begitu amat berharga mengingat legitimasi pemilu salah satunya disandarkan pada kewibawaan lembaga peradilan sengketa hasil pemilu itu sendiri.

Cek Artikel:  Triple Elimination Sebagai Upaya Pencegahan Penyakit Menular Seksual Pada Ibu

Selanjutnya, bila dibaca secara lengkap, ditolaknya permohonan perubahan sistem pemilu didasarkan atas sejumlah argumentasi berbasis data-data yang sangat kuat. Tuduhan bahwa sistem proporsional terbuka sebagai penyebab terjadinya berbagai masalah dalam pemilu seperti politik Dana, melemahnya institusi parpol, membahayakan NKRI, pragmatisme caleg, dan menimbulkan kerumitan penyelenggaraan, dibantah dengan data-data yang Jernih dan terukur. Bahkan MK mengiringi setiap pertimbangannya dengan rekomendasi perbaikan yang diperlukan Buat mengatasi kelemahan yang Terdapat tanpa harus mengubah sistem pemilu. Pendirian MK ini hendak menegaskan bahwa sudah saatnya setiap elemen bangsa, terutama para pihak yang berkepentingan dengan pemilu Tak selalu mengambinghitamkan sistem pemilu ketika terjadi berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Mestinya, solusi atas masalah dalam sistem itulah yang harus dipikirkan dan diadopsi dalam regulasi.

Sejalan dengan itu, dari segala argumentasi yang dibentangkan dalam putusan tersebut dapat dibaca bahwa sikap MK sangat tegas, yakni memperkuat sistem proporsional terbuka. Jalannya, UU Pemilu perlu dievaluasi, terutama terkait perlunya mengadopsi pemilihan pendahuluan dalam rangka penentuan nomor urut calon, syarat bahwa calon Member legislatif mesti orang yang telah menjadi Member parpol dalam waktu tertentu, dan penguatan mekanisme penanganan politik Dana dalam pemilu.

Cek Artikel:  Cerminan Kepada India dan Jepang Kemandekan Inisiasi Kerja Sama AAGC

Apabila gagasan MK yang dimuat dalam pertimbangan putusan ini betul-betul diadopsi, berbagai kelemahan sistem proporsional terbuka diyakini dapat dieliminasi. Hanya saja, langkah ini tentu menuntut adanya kehendak politik (political will) pembentuk undang-undang. Kalau Tak, segala kelemahan sistem proporsional terbuka tentunya Tak akan terjawab. MK telah memberikan kerangka, tinggal pembentuk undang-undang menindaklanjutinya.

Lebih jauh, berangkat dari kerangka berpikir bahwa setiap sistem pemilu Mempunyai kelebihan dan kelemahan, MK juga membuka ruang Buat melakukan perbaikan sistem pemilu. Sehubungan dengan itu, MK menggariskan lima kerangka dasar. Pertama, Tak terlalu sering melakukan perubahan sehingga dapat diwujudkan kepastian dan kemapanan atas pilihan suatu sistem pemilu.

Kedua, kemungkinan Buat melakukan perubahan harus tetap ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilihan Lumrah yang sedang berlaku, terutama Buat menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilihan Lumrah. Ketiga, kemungkinan perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilihan Lumrah dimulai sehingga tersedia waktu yang cukup Buat melakukan simulasi sebelum perubahan Betul-Betul efektif dilaksanakan.

Cek Artikel:  Bersiap Menghadapi Risiko Transisi Menuju Net Zero Emission

Keempat, kemungkinan perubahan tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Kelima, apabila dilakukan perubahan, tetap melibatkan Seluruh kalangan yang Mempunyai perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan Lumrah dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Dari lima kerangka di atas, MK mengarahkan Buat Tak melakukan perubahan sistem pemilu, melainkan lebih menekankan agar pembentuk undang-undang memilih membenahi kelemahan sistem proporsional terbuka yang diterapkan hari ini. Kalau begitu, dapat juga dimaknai bahwa MK pada dasarnya telah menutup atau setidak-tidaknya mempersempit jalan Buat mengganti sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.

Mungkin Anda Menyukai