
KERANGKA hukum pemilu yang demokratis ialah komponen krusial dalam praktik demokrasi suatu negara. Lebih spesifik, undang-undang pemilu merupakan aturan, institusi, dan proses yang menerjemahkan kehendak rakyat menjadi tata kelola yang demokratis (Gardner, 2024). Ranah undang-undang pemilu bahkan terkait erat dengan teori-teori filsafat dan politik tentang demokrasi yang bervariasi sesuai dengan konteks masyarakat dan historis negara (Schultz, 2016).
Hukum Global publik juga ikut memberikan kerangka kerja bagi pemilu demokratis serta menawarkan kriteria yang transparan dan Rasional Kepada menilai implementasi dari suatu proses elektoral. Standar Global membantu membangun konsensus mengenai apa itu pemilu yang adil dan demokratis, meskipun hingga kini belum Eksis definisi yang diterima secara universal.
Undang-undang pemilu menjadi instrumen hukum strategis bagi eksistensi partai, elite, dan Grup politik. Dalam praktik pembentukan undang-undang pemilu, partai-partai Niscaya akan mendukung pengaturan yang memaksimalkan Kesempatan mereka Kepada mendapatkan kursi, sekalipun itu mengorbankan proporsionalitas atau stabilitas jangka panjang. Bahkan, manipulasi terhadap aturan merupakan bentuk malapraktik pemilu yang sejak awal dilakukan Kepada mengamankan kepentingan partisan atau Grup tertentu.
Petahana yang diuntungkan oleh status quo Mempunyai kecenderungan Kepada resisten melakukan reformasi pengaturan pemilu yang mungkin akan mengurangi Keistimewaan elektoral mereka. Dengan demikian, salah satu hambatan Penting reformasi hukum pemilu ialah Realita para legislator merupakan aktor Penting yang bertanggung jawab merevisi aturan, tetapi mereka juga merupakan pihak yang diuntungkan dari kondisi status quo. Akibatnya, mereka Mempunyai Bonus yang kuat Kepada menghalangi perubahan (Norris, 2017)
Karena sifatnya yang sangat partisan dan rentan manipulasi, pengadilan turut memainkan peran Krusial dalam menafsirkan dan memastikan kesesuaian pengaturan pemilu dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi. Peninjauan yudisial (judicial review) menjadi instrumen Krusial Kepada menyelesaikan tantangan terhadap regulasi pemilu, terutama Demi berhadapan dengan aturan yang ambigu dan multitafsir.
MERUMUSKAN TUJUAN
Mengingat posisinya yang esensial dalam menjamin keadilan kompetisi elektoral, di tengah tarik-menarik kepentingan yang kuat, undang-undang pemilu harus Mempunyai rumusan tujuan yang Terang dan terukur. Rumusan tujuan diperlukan Kepada mengimbangi pragmatisme yang menyertai dalam pembentukannya. Carey dan Reynolds (2011) menyebut sejumlah tujuan yang harus termuat dalam reformasi hukum pemilu.
Mencakup pertama, inklusivitas. Dalam tujuan ini, pemilu harus menyediakan sarana bagi Grup-Grup minoritas, khususnya Perempuan, juga Grup etnis dan Keyakinan, Kepada memperoleh representasi agar parlemen mencerminkan keberagaman yang Eksis di masyarakat. Kedua, distorsi minimal. Pemilu harus menghindari bahaya terjadinya disproporsionalitas yang besar, yakni ketika partai memperoleh proporsi kursi yang jauh melampaui proporsi perolehan Bunyi yang mereka dapat. Ketiga, Bonus Kepada membangun koalisi. Aturan pemilu Sepatutnya mendorong kandidat dan Grup yang sepemikiran Kepada bersatu di Rendah koalisi yang terbentuk secara alamiah.
Lewat, yang keempat, akuntabilitas individu. Pemilu harus memungkinkan pemilih memberi ganjaran atau hukuman atas kinerja legislator secara individual, bukan hanya terhadap partai atau koalisi secara keseluruhan. Adapun yang terakhir, kelima, kesederhanaan. Pilihan-pilihan yang dihadapi pemilih, keputusan yang diharapkan mereka buat, dan Interaksi keputusan-keputusan tersebut dengan siapa yang akan memerintah haruslah sesederhana mungkin.
Kelima tujuan itu Dekat Kagak mungkin dipenuhi secara sempurna. Dapat dipahami Apabila dalam pengaturan pemilu dilakukan kompromi atau kombinasi pertukaran (trade-offs) Kepada mengoptimalkan manfaat bagi sistem demokrasi. Karena itu, ketika membentuk undang-undang pemilu, harus tersedia waktu yang cukup dan deliberasi yang memadai agar Sekalian aspek dan implikasi dari pengaturan yang dibuat Dapat selaras dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Cerminan HISTORIS
Merefleksikan pembentukan undang-undang pemilu di Indonesia selama era reformasi merupakan gambaran konteks historis dan dinamika politik yang penuh tarik-menarik partisan. Percepatan penyelenggaraan pemilu di tahun 1999 hadir sebagai instrumen yang dipilih Kepada keluar dari masa transisi secara demokratis.
Undang-Undang (UU) No 3 Tahun 1999 dirumuskan sebagai dasar hukum dengan semangat kuat Kepada terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan murni. Melalui UU Partai Politik dan UU Pemilu, Pemilu 1999 menjadi musim semi bagi sistem multipartai setelah sekian Pelan keragaman pilihan politik dibekap Orde Baru.
Setelah Pemilu 1999, Dekat setiap pemilu disertai pula dengan penggantian UU Pemilu. UU 12/2003 dan UU 23/2003 Kepada Pileg dan Pilpres 2004; UU 10/2008 dan UU 42/2008 Kepada Pileg dan Pilpres 2009; UU 8/2012 Kepada Pileg 2014; serta UU 7/2017 Kepada Pemilu serentak 2019 dan 2024. Hanya, pada Pemilu serentak 2024, UU Pemilu Kagak mengalami perubahan, tetap menggunakan UU yang sama dengan Pemilu serentak 2019. Akan tetapi, ketiadaan perubahan UU Bahkan disikapi presiden dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) Kepada merespons sejumlah dinamika Pemilu 2024.
Sejak Pemilu 1999, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu Dekat semuanya merupakan legislasi inisiatif pemerintah. Hanya pada Pemilu 2014, RUU Pemilu menjadi legislasi inisiatif DPR. Bila dibandingkan, pembentukan draf RUU Pemilu inisiatif DPR lebih alot dan penuh dinamika ketimbang pembentukan draf RUU Pemilu inisiatif pemerintah. Hal itu karena perbedaan posisi politik sudah mengerucut sejak awal pembentukan draf RUU di antara partai-partai di DPR. Bahkan pada 2011, naskah RUU Pemilu inisiatif DPR yang menjadi Berkas Formal pembahasan Serempak pemerintah, Kagak memuat pengaturan ambang batas parlemen secara bulat. Terdapat dua opsi ambang batas parlemen dalam draf RUU Pemilu versi DPR yang diputuskan finalnya Demi pembahasan Serempak pemerintah.
Karena kuatnya tarik-menarik kepentingan partisan dalam UU Pemilu, sejak Pemilu 2004, pengesahan RUU Pemilu selalu menyertakan proses voting di rapat paripurna. Sebabnya, Lembaga lobi antarfraksi Kagak Pandai mempertemukan kutub-kutub kepentingan di antara partai-partai parlemen. Materi voting RUU pemilu selalu berkutat dengan variabel sistem pemilu: electoral threshold, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), ambang batas pencalonan presiden, metode pemberian Bunyi, ataupun formula konversi Bunyi menjadi kursi. Itu Sekalian soal hidup-Tewas partai.
Saking alotnya, sejak Pemilu 1999, Kagak Eksis pembahasan RUU Pemilu yang selesai sesuai jadwal. Sekalian molor dan melampaui tenggat. Bahkan dalam pembahasan RUU Pemilu tahun 2017, pemerintah sempat mengancam menarik diri dari pembahasan apabila ketentuan ambang batas pencalonan presiden diturunkan besarannya.
Lebih Jelek Tengah, jelang Pemilu 2024, karena pragmatisme presiden Kepada mempertahankan stabilitas koalisi –yang Bersua dengan kepentingan partai-partai terkait dengan ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden, RUU Pemilu Bahkan dicabut dari prioritas legislasi Prolegnas 2021. Padahal, secara Rasional banyak Pengkajian penyelenggaraan pemilu serentak 2019 yang memerlukan perbaikan pengaturan. Karena Kagak Eksis perubahan, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) jadi tumpuan. Partai, masyarakat sipil, dan politisi berduyun-duyun mengajukan pengujian Kebiasaan UU 7/2017 Kepada mengadvokasi kepentingan mereka. UU 7/2017 menjadi UU yang paling banyak diuji selama berdirinya MK sejak 2003.
Fenomena yudisialisasi politik tersebut Rupanya diikuti Akibat lain berupa politisasi MK. Salah satunya melalui Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Putusan kontroversial yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden di tengah berlangsungnya proses pengumuman pencalonan. Kredibilitas Pilpres 2024 bukan hanya dipertanyakan di dalam negeri, tapi menjadi catatan dunia Global yang menurunkan kinerja demokrasi Indonesia dalam banyak pengukuran indeks Dunia.
BERIKAN LEGASI
Menuju Pemilu 2029, RUU Pemilu merupakan legislasi prioritas Prolegnas 2025. Inisiatif dari Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sayangnya, Tamat pertengahan 2025 belum Eksis perkembangan bermakna soal pembahasannya. Belajar dari sejarah pengaturan terdahulu, pemerintah dan DPR Krusial Kepada meninjau ulang pendekatan penyusunan draf RUU Pemilu. Mengingat kompleksitas perumusan draf RUU Pemilu di antara fraksi-fraksi di DPR, sebaiknya RUU Pemilu diubah menjadi inisiatif pemerintah.
Secara konsolidasi kelembagaan, pemerintah lebih mudah merumuskan sikap politiknya karena Kagak menghadapi fragmentasi seperti parlemen. Sembari pemerintah melalui kementerian terkait menyiapkan naskah akademik dan draf RUU, fraksi-fraksi di DPR Dapat bekerja mengidentifikasi isu-isu strategis dan merumuskan pilihan kebijakan yang sejalan dengan visi politik mereka. Keterlibatan penyelenggara pemilu dan partisipasi publik tentu harus jadi bagian integral dari proses tersebut.
Sekalian pihak perlu Maju mengingatkan pembentuk undang-undang agar Kagak melulu pragmatis. Pemerintah dan DPR harus memberikan legasi Berkualitas Kepada demokrasi Indonesia. Terpenting, segera mulai pembahasan RUU Pemilu.

