UNA mattina mi sono alzato, O bella ciao, bella ciao, bella ciao ciao ciao. Di suatu pagi, aku terbangun, Oh, selamat tinggal cantik, selamat tinggal cantik, selamat tinggal cantik! Bye! Bye!.
Senandung yang dilarutkan oleh para petani di Italia Utara pada akhir abad 19 sebagai pekik kegundahan mereka atas kesulitan dan tekanan kehidupan yang semakin menjadi.
Senandung penuh gelisah inilah yang kemudian menjadi etalase pergerakan antifasis pada 1940-an untuk lepas dari tekanan para tuan. Karenanya, tak salah jika Amartya Sen pernah memberi nasihat bahwa pembangunan (development) ialah kemerdekaan (freedom). Menonton ekonomi kita terkini yang dililit pandemi, tampaknya sekali lagi senandung tersebut menjadi teman yang menghiasi gelisah. Tetapi, sampai kapan kita harus bersenandung?
Beberapa hari yang lalu, Doktor Felix Tan, teman lama saya yang orang Singapura, tetapi berkarier di University of New South Wales (UNSW) Australia, berkirim kabar melanjutkan sapa yang tertunda selama sekian tahun. Dalam diskusi kami, tersingkap potensi ekonomi Indonesia pascapandemi yang semakin menjanjikan, salah satunya ialah potensi ekonomi digital.
Potensi ini melanjutkan temuan penelitian kami beberapa tahun yang lalu yang juga dilakukan bersama-sama dengan Doktor Carmen Leong dari National University of Singapore (NUS) dan Doktor Barney Tan dari University of Sydney (Usyd), mengenai geliat ekonomi digital di Indonesia. Salah satu temuan kami ialah bagaimana teknologi tersebut bisa membebaskan dari kungkungan norma sosial ekonomi yang jika meminjam istilahnya Karl Marx sebagai dorongan emansipasi dari hambatan struktural yang merongrong.
Terstruktur
Secara anekdotal, kami juga melihat adopsi teknologi yang terstruktur dapat meningkatkan kesejahteraan dan bahkan menciptakan pengusaha mikro (micro entrepreneur) secara sistematis. Ulasan lengkapnya bisa tengok di artikel kami yang berjudul The Emancipatory Potential of Digital Entrepreneurship: A Study of Financial Technology-Driven Inclusive Growth yang diterbitkan Elsevier.
Apa yang kami dapati beberapa tahun yang lalu ternyata menjadi fondasi yang cukup kuat di kala pagebluk. sektor teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) selalu solid menyumbang geliat ekonomi makro. Bahkan, dengan karakter sektor ini yang fleksibel, sektor-sektor lain yang awalnya terpuruk juga mendapatkan momentum positif dengan menggandeng sektor TIK yang inklusif.
Salah satu tantangan utama yang ditimbulkan oleh pandemi ini ialah meningkatnya jumlah dan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Ditambah lagi dengan potensi peningkatan porsi sektor informal terhadap perekonomian. Inilah konsekuensi logis dari pembatasan kegiatan ekonomi untuk menahan penularan virus.
Pandemi yang menghambat mobilitas memang menjadi biang keladi dari fenomena yang menghimpit ekonomi dewasa ini. Tetapi, ternyata pandemi juga memunculkan peluang-peluang baru. Selama periode pandemi, solusi yang berasal dari sektor TIK dan turunannya malah justru bermunculan. Kesempatan yang muncul sebagai konsekuensi dari perubahan perilaku masyarakat menjadikan aktivitas ini, terutama yang terhubung dengan platform digital, semakin signifikan dan relevan.
Tingkat ketahanan cukup tinggi
Data BPS menunjukkan bahwa telah muncul hampir genap sejuta pengusaha mikro baru di masa pandemi ini dan mayoritas menggunakan platform digital sebagai bagian dari strategi bisnis mereka di masa pandemi. Secara terbatas, kami juga menemukan adanya peningkatan transaksi hingga ratusan persen di beberapa platform selama periode pandemi yang menunjukkan bahwa masyarakat kita memiliki tingkat ketahanan yang cukup tinggi. Bukan hanya untuk bertahan, bahkan memanfaatkan periode pandemi ini untuk melompat ke jenjang pendapatan yang lebih tinggi.
Hal ini sejalan dengan data yang kami olah dari Google Mobility Report yang menunjukkan adanya korelasi positif antara pertumbuhan aktivitas di sektor residensial dan tren penggunaan platform teknologi serta komunikasi. Konsolidasi di momentum yang tepat ini akan mampu mempercepat efek skala ekonomis yang pada gilirannya akan memberikan keuntungan jangka panjang.
Tetapi, kita juga harus mengerti bahwa varian delta yang mengganggu perlu terus menjadi prioritas. Dalam simulasi variance decomposition yang kami lakukan, faktor covid-19 merupakan determinan yang cukup dominan yang menghinggapi faktor ekspektasi. Sementara itu, faktor global, sebagaimana temuan dari tes Forbes Riggobon, ternyata tidak menjadi sumber tekanan yang signifikan.
Hal ini juga sedikit banyak bisa menjelaskan mengapa melemahnya US dolar terhadap mata uang negara berkembang sebagai buah dari akselerasi inflasi di Amerika tidak terlalu berpengaruh terhadap rupiah. Lebih lanjut, kami melihat covid-19 memberikan tekanan bukan hanya pada indikator makro, melainkan juga terhadap ketakutan orang untuk melakukan mobilitas. Dengan faktor ekspektasi yang tertahan akibat covid, terciptalah sebuah kondisi paradoks kekikiran ala Keynes.
Paradoks ini terjadi karena ‘sang kaya’ kikir belanja dan lebih memilih untuk menahan uangnya di bank atau instrumen lain yang relatif lebih aman. Tengok saja nilai tabungan nasabah pemilik dana di atas Rp5 miliar justru meningkat pesat selama pandemi. Kalau orang kaya tidak segera belanja karena faktor risiko covid yang semakin besar, jangan harap perekonomian kita akan cepat pulih.
Untungnya pemerintah sudah sadar bahwa pelbagai langkah sudah dilakukan untuk menahan laju penyebaran varian delta yang merusak. Akibatnya? angka infeksi pun semakin jinak dan sentimen positif menjadi semakin dominan. Dari olah data besar (lebih dari 22 juta data poin) yang kami (Next Policy) lakukan dengan menggunakan teknik berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) menunjukkan bahwa sentimen negatif hingga akhir September sudah mulai dilangkahi laju sentimen positif.
Hal ini menunjukkan potensi perekonomian jelang akhir kuartal ketiga dan mendekati awal kuartal keempat masih punya potensi tumbuh memadai. Penerawangan kami selama 2021 ini jika ada dorongan yang cukup signifikan di akhir tahun, ekonomi masih dapat menyentuh skenario optimistis di 4.4%. Meskipun demikian, skenario sepanjang 2021 ini lebih dekat ke angka yang moderat di 3.5%.
Skenario yang buruk terjadi jika ada lonjakan infeksi covid yang pada gilirannya membawa laju pertumbuhan ekonomi tertambat di angka 0.7%. Tentu ini sebuah skenario yang ingin sama-sama kita hindari.
Kalaupun perekonomian berangsur pulih, ada dua tantangan lain yang mungkin muncul. Pertama, bisnis harus pulih untuk mempekerjakan kembali tenaga kerja. Kedua, tidak ada jaminan bahkan jika bisnis berhasil pulih, mereka akan mempekerjakan tingkat tenaga kerja yang sama.
Buat mengatasi tantangan tersebut, pemerintah dan pembuat kebijakan tidak bisa bekerja sendiri. Tamat titik ini, kita sudah paham bagaimana teknologi bisa menjadi solusi. Di sisi yang lain, kita juga dapat melihat bagaimana usaha pemerintah untuk memprioritaskan kesehatan sembari memberikan stimulus ekonomi menjadi perca-perca yang kita temukan di lapangan. Perca-perca tersebut tentu perlu disulam dengan kolaborasi antaraktor dalam ekosistem.
Kolaborasi
Kolaborasi harus dilakukan untuk memastikan pemulihan yang cepat. Penekanan lebih lanjut pada implementasi kerangka Quadruple Helix. Kerangka kerja ini mendorong terjadinya kolaborasi dan kerja sama menuju tujuan bersama antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan universitas. Tanpa kolaborasi, TIK hanya akan memunculkan ketimpangan. Karena itu, usaha pemulihan ekonomi hanya memunculkan jurang yang semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini sangat mungkin karena sejatinya TIK seperti pedang bermata dua yang bisa melonjakkan dan menjatuhkan di saat yang bersamaan.
Hal lain yang juga dapat dilakukan ialah yang mana pemerintah seharusnya memberikan kepastian dan tidak menyiratkan kebimbangan. Patut dimaklumi bahwa pemerintah juga tengah berselancar antara target penyelamatan ekonomi di jangka pendek dan target perampingan defisit APBN di masa depan.
Salah satunya ialah dengan mengincar objek pajak baru atau dengan menarget pajak orang kaya. Orang kaya ini memang sudah sepantasnya lebih berkontribusi kepada pembangunan sebagaimana kritik Jeffrey Sachs dalam Price of Civilization yang menunjuk beberapa seri krisis global sebagai produk dari orang-orang kaya yang lupa membayar ongkos kemakmuran.
Tetapi, di masa pemulihan ekonomi, yang mesti dibangun terlebih dahulu ialah lingkungan yang memadai supaya orang kaya tersebut bisa nyaman membelanjakan uangnya. Dalam hal ini, wacana kenaikan pajak yang terlalu dini dapat berlaku serupa dengan covid-19 sebagaimana diulas di atas, yaitu membuat orang kaya ini menjadi terlalu kikir untuk belanja. Perlu ada relaksasi yang bersifat tentatif kalaupun memang pada akhirnya akan menaikkan pajak–terutama untuk pajak barang mewah–dalam periode ini jangan sampai lebih dari 3%.
Sebagaimana perhitungan kami, jika melebihi dari ambang batas 3% untuk kategori barang mewah, malah akan menurunkan potensi penerimaan negara meskipun pada saatnya nanti orang-orang kaya ini tentu harus membayar kemakmuran mereka. Ini hanya masalah momentum. Kita kejar pulih terlebih dahulu baru nanti menagih kewajiban.
Lantas, bagaimana pula senandung yang kita lantunkan sekarang? karena bella ciao yang enigmatik ini merupakan mural kemuraman. Kemuraman yang disebabkan tekanan hidup di hadapan para tuan yang bergelimang harta. Tetapi, para kaum elite pun sekarang punya kesempatan menyambung hidup tanpa harus meratap pada mural. Begitu juga para elite bisa berperan dengan aktivitas mereka yang bisa memberikan limpahan manfaat.
Titik temunya alah pada peranan platform digital yang membebaskan. Meski demikian, harus ada wasitnya. Di sini peran pemerintah sebagai fasilitator ekosistem menipiskan jurang yang menganga. Kalau teknologi sudah memberikan emansipasi kesempatan, yang pantas disampaikan ialah ciao kegundahan ekonomi karena kini mereka berkata sudah terhampar bunga-bunga yang indah mi diranno: che bel fior.