
NODA gelap kembali mencoreng pesta demokrasi lokal. Kali ini terjadi di Pilkada Barito Utara, Kalimantan Tengah. Dua Kekasih calon (paslon) yang berlaga pada pemilihan bupati di Daerah tersebut terungkap melakukan praktik politik Duit. Satu Bunyi dibeli oleh pihak paslon dengan harga Tamat dengan Rp16 juta (Media Indonesia 17/5/2025). Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mendiskualifikasi kedua paslon dan memerintahkan pemungutan Bunyi ulang dengan paslon yang baru.
Padahal, pilkada 22 Maret 2025 yang diperintahkan hanya berlangsung di dua tempat pemungutan Bunyi (TPS) itu ialah pemungutan Bunyi ulang (PSU) karena pada pilkada serentak 27 November 2024 Lampau telah ditemukan bukti adanya penyalahgunaan hak pilih.
Berulangnya penyimpangan etika dan hukum dalam pilkada di daerah tersebut menjadi tamparan bagi proses demokrasi secara lokal atau secara Spesifik bagi daulat rakyat. Kebebalan politik dengan menempuh Langkah-Langkah kotor dan memalukan tersebut menjadi warisan kontestasi yang sangat riskan bagi nasib demokrasi lokal dan masa depan rakyat.
SELALU KANDAS
Eskalasi politik Duit di berbagai daerah setiap ritual elektoral menumbuhkan kecemasan akan masa depan pembangunan demokrasi kita. Berbagai gerakan sosial dan moral yang bertajuk melawan politik Duit sudah beribu kali dikumandangkan, aturan yang mencegah dan menegasi politik Duit juga sudah tersedia, lengkap dengan sanksinya. Tetapi, semangat tersebut selalu kandas di ujung amplop fulus.
Sebenarnya, tak terbendungnya politik Duit sudah disinyalkan oleh survei dari Lembaga Indikator Politik Indonesia yang mencatat pemilih yang memberikan suaranya karena Duit meningkat pada Pemilu 2024. Terdapat 35% responden yang menentukan pilihan mereka karena Duit pada Pemilu 2024. Lebih tinggi dari Pemilu 2019 (28%).
Pada Pilkada 2024, Badan Pengawas Pemilihan Lumrah (Bawaslu) menyatakan bahwa per November 2024, Bawaslu sedang melakukan kajian awal terhadap 130 kasus pelanggaran politik Duit selama masa tenang dan pemungutan Bunyi Pilkada 2024. Terdapat dugaan pembagian Duit atau materi lain di 7 provinsi dan 10 kabupaten/kota.
Sementara itu, dari laporan masyarakat, ditemukan dugaan pembagian Duit atau materi lain di 7 provinsi dan 16 kabupaten/kota. Potensi pembagian Duit atau materi lainnya ditemukan dari pengawasan Bawaslu di 3 provinsi dan 7 kabupaten/kota. Sementara itu, masyarakat melaporkan potensi pembagian Duit dan materi lainnya di 12 provinsi dan 21 kabupaten/kota.
Sepertinya normalisasi politik Duit kian membelukar dan mencengkeram daulat rakyat. Duit haram dalam transaksi politik menjadi komoditas yang digerakkan Kepada menggiring masyarakat ke dalam jebakan permisivitas ‘wani piro’ (berapa yang berani Engkau tawarkan) dan menganggap Duit yang digelontorkan oleh para politisi ialah ‘hak’ masyarakat yang telah berlelah-lelah ke TPS.
Sementara itu, bagi politisi, Duit suap kepada rakyat adalah bagian dari ‘sikap baiknya’ kepada rakyat di tengah pesta yang hanya sekali lima tahun terjadi. Para elite memang berada di titik banal kerakusan terhadap kekuasaan sehingga Getol memproduksi berbagai metode manipulatif dan penuh kelicikan di tiap proses pilkada. Mereka selalu membaca kekuasaan dalam gairah onani yang mereduksi Arti Bunyi rakyat hanya dengan kepuasan fulus dan kursi kekuasaan.
PLUTOKRASI
Kevin Phillips dalam Wealth and Democracy: a Political History of the American Rich (2002) mengatakan bahwa praktik demokrasi mulai tersandera oleh budaya plutokrasi (ploutos: kekayaan dan kratos: kekuasaan) yang menjadikan Duit sebagai episentrum dari ‘habitus’ demokrasi.
Cengkeraman plutokrasi tersebut tanpa sadar telah Pelan mendegradasikan Arti politik kita, dari sebuah arena perwujudan kepentingan Serempak menjadi Podium pengultusan Duit dan kekayaan yang difasilitasi politik berbiaya tinggi, Kepada meraih kemenangan politik. Maka itu, Tak heran Apabila di lembaga legislatif atau eksekutif sebagai institusi Krusial Kepada memproduksi kebijakan publik, selalu dihuni oleh politisi yang berlatar orang-orang kaya sekaligus menahbiskan bahwa dunia politik hanya Punya politisi berkantong tebal.
Padahal, filsuf Plato (427 SM-347 SM) menegaskan bahwa Kepada mengelola negara, dibutuhkan orang-orang yang bijaksana dan cerdas, bukan yang hanya Mempunyai akses Investasi. Dalam perspektif demokrasi, contohnya, nilai moral dan etika selalu menjadi ruh yang diproyeksikan oleh masyarakat demokratis Kepada menegakkan prinsip kemaslahatan Serempak (bonum commune) dalam tata kelola bernegara.
Sayangnya, prinsip tersebut belum menjadi orientasi dalam Langkah berdemokrasi Tamat detik ini. Upaya mencapai kekuasaan (materialisme) dengan menghalalkan segala Langkah pun selalu mendapatkan ruang justifikasi di berbagai agenda suksesi. Nilai subtansi berdemokrasi (integritas, moralitas, transparansi, dan akuntabilitas) begitu gampang dikangkangi oleh hal-hal prosedural yang dibungkus berbagai rekayasa dan tipu daya.
Dalam kontestasi elektoral, praktik demokrasi kerap dimaknai sebatas prosedural: ritual kampanye, pemungutan Bunyi. Tetapi, melupakan prinsip substantif: otonomi, kebebasan politik, kesetaraan, toleransi, dan tanggung jawab, termasuk aturan main (rule of the game) politik yang berbasis supremasi hukum dan kontrol sipil.
Padahal, pada pemenuhan prinsip substantif itulah tersimpan kebajikan yang menebalkan Arti esensial berdemokrasi. Di situlah rakyat menemukan kedaulatannya sebagai Anggota negara (citizenship) karena Mempunyai kesadaran kewarganegaraan (sense of citizenship) dalam menjaga hak daulatnya.
Ke depan, penanaman sense of citizenship dalam diri rakyat adalah mutlak. Bahwa dalam diri masyarakat Eksis tanggung jawab menyelamatkan kedaulatannya dari ‘kutuk’ politik Duit. Agar demokrasi kembali dimaknai sebagai one man one vote, bukan one man one million yang mereduksi Derajat rakyat.
Maka itu, tak cukup dengan undang-undang antipolitik Duit ataupun penegakan hukum. Pendidikan politik sangat diperlukan Kepada memupuk kesadaran dan kedewasaan bernegara dari masyarakat. Negara harus memfasilitasi internalisasi nilai tanggung jawab politik tersebut dalam konteks pembangunan demos yang kontinu dan investatif, ketimbang misalnya memboroskan ‘bagi-bagi bansos (Donasi sosial)’ yang Malah makin mengentalkan ketidaksetaraan rakyat dan elite atau negara.
Negara, termasuk parpol, harus serius menginvestasikan nilai edukasi politk bagi rakyat agar politik Duit, korupsi, plutokrasi di bangsa ini Bisa dikalahkan sengatnya, digantikan dengan perilaku politik elite dan rakyat yang bermartabat.

