Zakat bukan Transaksi Komersial Kritik Atas Komodifikasi Filantropi Islam Penguatan Baznas

Zakat bukan Transaksi Komersial: Kritik Atas Komodifikasi Filantropi Islam & Penguatan Baznas
Achmad Kholiq, Guru Besar Hukum dan Ekonomi Islam, UIN Syber Syeikh Nurjati Cirebon(Dok Pribadi)

DALAM beberapa Dasa warsa terakhir, terjadi pergeseran paradigma dalam Rekanan antara Keyakinan dan ekonomi, terutama di tengah gempuran kapitalisme Dunia dan Pengembangan ekonomi Islam. Nilai-nilai spiritual Islam, termasuk zakat, mulai mengalami transformasi menjadi instrumen ekonomi yang dikemas dengan pendekatan bisnis. 

Zakat kini kerap diposisikan sebagai “investasi sosial”, “bisnis keumatan”, atau “transaksi ibadah” yang menjanjikan imbal hasil. Narasi semacam ini berisiko mereduksi zakat menjadi sekadar mekanisme redistribusi yang dikendalikan oleh logika keuntungan.

Secara teologis, zakat adalah ibadah mahdhah, bagian dari rukun Islam yang Mempunyai dimensi transendental dan sosial. Ia disyariatkan Bukan hanya sebagai kewajiban individual, tetapi juga sebagai sarana pembersih jiwa dan harta, serta pembentuk solidaritas sosial (QS. At-Taubah: 103). Memahami zakat sebagai instrumen ekonomi yang tunduk pada prinsip profit dan efisiensi bukan hanya menyederhanakan hakikatnya, melainkan juga menyimpang dari maq??id al-syar?‘ah. 

Dalam praktik kontemporer, banyak lembaga zakat mengadopsi pendekatan korporatis Demi menarik minat masyarakat, seperti menggunakan istilah “portofolio kebaikan” atau “return sosial”. Ini menunjukkan adanya pergeseran dari zakat sebagai ibadah menuju produk komoditas.

Distorsi konseptual ini menimbulkan masalah epistemologis yang serius. Ketika zakat dikonstruksikan seperti akad muamalah, terjadi kekacauan dalam membedakan antara kewajiban spiritual dan transaksi komersial. 

Zakat Mempunyai Kepribadian sebagai pengeluaran harta yang bersifat unilateralis, tanpa imbal balik, berbeda dengan akad bisnis yang berbasis pertukaran dan keuntungan. Konsepsi zakat sebagai instrumen investasi dapat mendorong masyarakat membayar zakat demi Bonus duniawi, bukan karena kepatuhan kepada Allah, yang pada akhirnya menggerus nilai ikhlas yang merupakan syarat sahnya ibadah.

Merawat Konsep Teologis Zakat dari Ancaman Komersial

Zakat, yang bermakna Bersih dan tumbuh, Mempunyai tujuan spiritual dan sosial: menyucikan harta dan membentuk jiwa dermawan. Dalam Islam, zakat selalu dikaitkan dengan salat sebagai pilar Penting Keyakinan (QS. Al-Baqarah: 43), serta diposisikan sebagai instrumen keadilan sosial, bukan alat pencipta nilai tambah ekonomi. Karena itu, zakat Bukan Semestinya disamakan dengan akad muamalah seperti jual beli atau mudharabah yang berbasis keuntungan timbal balik.

Di tengah arus modernisasi dan logika pasar, muncul kecenderungan mengelola zakat dengan pendekatan teknokratik, seperti Biaya bergulir atau unit usaha berbasis zakat. Meskipun terlihat progresif, pendekatan ini berisiko mengaburkan batas antara ibadah dan transaksi ekonomi, serta menggeser nilai ubudiyyah menuju orientasi profit dan efisiensi. Akibatnya, zakat Pandai kehilangan Arti spiritualnya dan menjadi sarana riya’, seperti yang dikritik Imam Al-Ghazali.

Cek Artikel:  Jinaknya Inflasi dan Melemahnya Daya Beli

Ciptaan dalam pengelolaan zakat tetap dimungkinkan, tetapi harus menjaga kemurnian niat dan kejelasan posisi zakat sebagai ibadah tauqīfī  yang tunduk pada ketetapan wahyu, bukan hasil rekayasa manajerial. Kritik terhadap komodifikasi zakat bukan penolakan terhadap pemberdayaan mustahik, melainkan upaya menjaga agar zakat Bukan berubah menjadi alat kepentingan duniawi. Hanya dengan tetap berpijak pada kesadaran tauhid dan nilai pengabdian, zakat akan Lalu berfungsi sebagai kekuatan moral dan sosial yang transformatif dalam Islam.

Menjaga Zakat dari Ancaman Komodifikasi dan Jerat  Kapitalisme

Dalam era kapitalisme religius, zakat kian terancam terkomodifikasi—direduksi dari ibadah transendental menjadi produk pasar dengan narasi “investasi akhirat” atau “return sosial”. Pendekatan manajerial oleh lembaga zakat yang mengadopsi logika bisnis, meski berdalih efisiensi, telah menggeser Arti zakat dari kewajiban spiritual ke dalam sistem pertukaran yang sarat kepentingan duniawi. Ini berisiko menodai nilai ikhllhas dan mengaburkan Rekanan kasih antara muzakki dan mustahik.

Zakat sebagai ibadah tauqīfī Bukan tunduk pada prinsip muamalah atau kalkulasi teknokratis seperti peningkatan aset atau Pengembangan program. Tetapi kini, banyak lembaga mengelola Biaya zakat layaknya modal, bahkan menanamkannya dalam skema investasi, yang pada praktiknya lebih menguntungkan kelembagaan daripada mengentaskan kemiskinan. Pergeseran ini menandai distorsi teologis yang mendalam, Begitu maqāid al-syarī‘ah digunakan sebagai justifikasi manipulatif, bukan sebagai rujukan normatif.

Fenomena pseudo-syariah ini mengaburkan batas antara etika dan strategi, mengancam jantung spiritual umat Islam. Ketika zakat ditunaikan demi gengsi sosial, bukan karena ketundukan kepada Allah, maka esensinya sebagai ibadah pun sirna. Dalam jangka panjang, ini memperlemah ukhuwah dan memperlebar jurang sosial. Karenanya, diperlukan reposisi zakat sebagai ibadah murni yang berakar pada tauhid, bukan instrumen Modal. 

Literasi fikih zakat dan kesadaran teologis harus diperkuat, agar pengelolaan zakat Bukan hanya efisien, tetapi juga Absah secara syar‘i dan luhur secara ruhani. Menjaga kesucian zakat dari jerat komodifikasi adalah jihad intelektual sekaligus spiritual dalam mempertahankan nilai Islam dari distorsi Era.

Rekonstruksi Pemahaman Zakat dalam Bingkai Filantropi Islam

Penempatan zakat sebagai ibadah mahdah menuntut pendekatan tauqīf, artinya pelaksanaannya harus sesuai dengan ketetapan wahyu, bukan dengan kalkulasi rasional semata. Tetapi keistimewaan zakat Bahkan terletak pada perpaduan antara ibadah spiritual dan Pengaruh sosialnya, menjadikannya ibadah ijtima‘i sekaligus. Dalam kerangka filantropi Islam, zakat bukan hanya alat distribusi harta, tetapi juga sarana penyucian diri dan restorasi sosial. 

Cek Artikel:  KKI, Menjaga Disiplin dan Kompetensi

Maka, ketika zakat direduksi menjadi alat investasi atau branding kelembagaan, maka nilai-nilai taʿabbudiyyah dan ihsan yang melekat padanya menjadi terkikis. Urgensi literasi zakat menjadi sangat Krusial dalam konteks ini. Para muzakki perlu memahami bahwa zakat bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bentuk ibadah yang Mempunyai landasan etis dan spiritual. 

Demikian pula, lembaga amil zakat dituntut Mempunyai kapasitas fikih dan moral agar Bukan terjebak dalam pembenaran praktik-praktik pragmatis yang berkedok syariah. Literasi yang kuat dapat mencegah zakat dijadikan objek kapitalisasi melalui label pseudo-syariah yang Bahkan bertentangan dengan maqāid zakat itu sendiri.

Transparansi dan amanah harus menjadi prinsip Penting dalam tata kelola zakat, bukan sekadar Slogan kelembagaan. Prinsip-prinsip seperti sidq (jujur), ʿadālah (adil), dan amanah (bertanggung jawab) harus melekat dalam seluruh proses penghimpunan hingga distribusi zakat. 

Profesionalisme harus berjalan berdampingan dengan spiritualitas, bukan menggantikannya. Penyalahgunaan Biaya zakat Demi pencitraan institusional atau Pengembangan modal tanpa kontrol syariah yang ketat merupakan bentuk penyimpangan serius terhadap tujuan zakat sebagai instrumen keadilan sosial dan penyucian harta.

Dalam merumuskan kebijakan zakat ke depan, pendekatan maqāid al-syarīʿah harus digunakan secara autentik dan Bukan manipulatif. Tujuan-tujuan syariat seperti perlindungan Keyakinan, jiwa, Pikiran, keturunan, dan harta harus diartikulasikan dalam kebijakan distribusi yang berpihak pada Grup rentan dan miskin. 

Zakat harus tetap menjadi mekanisme perlindungan sosial dan penguatan umat, bukan sebagai alat Demi justifikasi investasi atau akumulasi aset kelembagaan. Bukan Eksis maqāid  yang membenarkan penimbunan Biaya zakat atau manipulasi distribusi demi Keuntungan institusional.

Dengan demikian, rekonstruksi pemahaman zakat merupakan gerakan moral dan intelektual Demi mengembalikan zakat kepada maqam-nya yang Bersih. Penilaian kritis terhadap praktik kelembagaan harus dilakukan secara terbuka, dengan keberanian Demi meninggalkan paradigma performatif yang berorientasi Sasaran dan keuntungan. Sebaliknya, perlu ditegaskan kembali nilai-nilai keikhlasan, keadilan, dan kesadaran transendental sebagai pondasi Penting sistem zakat Islam.

Penguatan Baznas sebagai Penjaga Kemurnian Zakat

Baznas, sebagai lembaga negara yang Absah dalam pengelolaan zakat, memegang peran strategis secara teologis, yuridis, dan sosiologis. Di tengah komodifikasi zakat yang kian marak, keberadaan Baznas Bukan hanya bersifat administratif, melainkan menjadi benteng ideologis dalam menjaga maqāid  zakat sebagai ibadah mahdah yang tunduk pada prinsip tauqīfī,  bukan pada logika pasar dan efisiensi bisnis. 

Marginalisasi Baznas berisiko menyerahkan zakat kepada pengelolaan lembaga swasta yang kurang akuntabel secara syar‘i dan berpotensi menggeser zakat dari instrumen keadilan sosial menjadi komoditas ekonomi. Dalam konteks ini, Baznas menjamin Penyelenggaraan zakat berdasarkan nilai ʿubūdiyyah, taʿāwun dan ihsan, dengan pengawasan negara sebagai jaminan integritas dan akuntabilitas.

Cek Artikel:  Tantangan Implementasi HOTS

Secara epistemik, Baznas menjaga otoritas fikih zakat agar tetap berporos pada maq??id al-syar??ah yang autentik, Bukan direduksi oleh kepentingan institusional. Dengan kapasitas regulatif dan akademik, ia menjadi penghubung antara syariat dan kebijakan publik dalam tata kelola keuangan sosial Islam. Di tengah problem struktural seperti kemiskinan dan ketimpangan, peran Baznas semakin vital sebagai instrumen distribusi hak-hak mustahik yang berbasis data nasional dan berkelanjutan.

Mempertahankan Baznas berarti menjaga kemurnian zakat dari privatisasi yang menyimpang, memperkuat keadilan sosial, serta memastikan zakat tetap berada dalam orbit ibadah, bukan komersialisasi. Baznas merepresentasikan otoritas moral, legitimasi hukum, dan kapasitas struktural yang diperlukan Demi menjadikan zakat sebagai kekuatan transformatif dalam kehidupan berbangsa.

Dengan demikian, mempertahankan Baznas adalah bagian dari upaya menjaga integritas zakat sebagai ibadah, meneguhkan keadilan sosial dalam sistem kenegaraan, dan membendung arus privatisasi zakat yang melenceng dari substansi syariat. Zakat bukan ruang komersialisasi, dan karena itu ia membutuhkan lembaga yang Mempunyai otoritas moral, legitimasi hukum, dan kapasitas struktural yang teruji—dan itu diwujudkan secara Konkret dalam keberadaan Baznas.

Penutup

Zakat bukanlah instrumen ekonomi yang Independen, melainkan ibadah sakral yang dirancang Demi menumbuhkan kesalehan pribadi dan menciptakan transformasi sosial. Reduksi zakat menjadi komoditas pasar merupakan distorsi serius terhadap syariat. Oleh karena itu, pemaknaan zakat harus dikembalikan pada kerangka wahyu dan maqāid yang otentik. 

Pendekatan yang terlalu adaptif terhadap logika pasar akan merusak integritas hukum Islam dan melahirkan justifikasi semu yang membahayakan substansi ibadah zakat itu sendiri. Lembaga-lembaga amil zakat harus mereorientasikan diri pada prinsip spiritualitas, keikhlasan, dan tanggung jawab sosial. Prinsip akuntabilitas dan amanah harus dijalankan dalam bingkai nash, bukan sekadar kinerja manajerial. Ke depan, integrasi zakat dalam pembangunan sosial inklusif perlu dilakukan tanpa menjadikannya objek Pemanfaatan pasar. 

Kajian interdisipliner antara fikih zakat, etika Islam, dan teori pembangunan perlu dikembangkan Demi memastikan bahwa zakat tetap menjadi instrumen ilahiyah yang memuliakan Sosok dan menegakkan keadilan sosial. Dalam konteks ini, Baznas Mempunyai peran strategis sebagai institusi negara yang Bukan hanya menjamin tata kelola zakat yang Absah secara hukum, tetapi juga sebagai penjaga otoritas moral dan spiritual zakat dari penetrasi nilai-nilai kapitalisme. Melalui penguatan peran normatif, edukatif, dan regulatifnya, Baznas dapat memastikan bahwa zakat tetap berada dalam orbit ibadah, bukan terjebak dalam logika pasar yang profan. (H-2)

 

Mungkin Anda Menyukai