
Copot 23 Juli mendatang kita peringati Hari Anak Nasional. Sebuah hari yang selama ini peringatannya dipenuhi dengan sukacita yang menggambarkan optimisme masa depan anak Indonesia. Tetapi, pada tahun ini, sebelum kita merayakannya dengan gembira, mari kita merenung sejenak Sembari menjawab pertanyaan ini: Apakah anak-anak Indonesia sudah tumbuh dengan Senang? Sudahkah hak-hak anak-anak Indonesia terpenuhi? Termasuk di dalamnya ialah hak tumbuh berkembang di lingkungan yang mendukung mereka menjadi Insan yang berakhlak mulia.
Kalau kita mau bersikap jujur, fakta di lapangan menunjukkan Indonesia tengah menghadapi krisis moral yang serius, mulai tingkat individu, masyarakat, hingga negara. Kata-kata kotor, ujaran kebencian, juga kebohongan sering dilontarkan, korupsi merajalela, halangan terhadap keberagaman belum mereda, bumi dicederai tanpa Jarak, hingga keadilan yang terasa semakin jauh dari cita-cita pendiri bangsa.
Yang lebih menyedihkan, Tak sedikit hal-hal tersebut Bahkan dilakukan mereka yang Sepatutnya menjadi teladan. Pembiaran dan normalisasi terhadap itu Segala berdampak Tak baik terhadap anak-anak kita.
Anak-anak mudah menyerap perilaku dari lingkungan dan media di sekitarnya. Tetapi, Bahkan merekalah yang sering disalahkan. Padahal, perilaku mereka mencerminkan lingkungan tempat mereka dibesarkan. Kalau kita Pas-Pas Acuh, sudah Sepatutnya kita mengevaluasi peran kita dalam menciptakan lingkungan yang sehat bagi tumbuh kembang mereka.
LINGKUNGAN YANG MENDUKUNG
Ketika kita bermaksud membentuk anak-anak kita menjadi anak berakhlak mulia, kita harus memastikan mereka berada dalam lingkungan yang mendukung tercapainya tujuan tersebut. Lingkungan Tak hanya berarti ruang fisik seperti rumah atau sekolah, tetapi juga mencakup Rekanan sosial, akses terhadap informasi, serta nilai-nilai yang diperlihatkan masyarakat luas.
Lingkungan terdekat, seperti keluarga dan sekolah, sering dikatakan sebagai lingkungan yang Mempunyai tanggung jawab terbesar dalam pembentukan akhlak anak. Orangtua dan guru menjadi orang dewasa yang Mempunyai pengaruh kuat dalam lingkungan tersebut. Akan tetapi, dalam dunia Demi ini ketika informasi hadir Tak terbendung, pengaruh pembentukan akhlak anak juga datang dari lingkungan yang lebih luas. Gawai pintar menjadi perantara masuknya lingkungan luar yang kemudian ikut memengaruhi pembentukan akhlak anak.
Kalau Menyaksikan dari kerangka pendidikan perdamaian, lingkungan tumbuh kembang anak haruslah bebas dari segala bentuk kekerasan, Berkualitas kekerasan langsung, struktural, maupun kultural. Tetapi, pendidikan perdamaian bukan hanya tentang membebaskan anak dari kekerasan, melainkan juga tentang membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai hidup yang sangat dibutuhkan Buat menghadapi masalah dan tantangan yang akan semakin kompleks setiap harinya, dengan tetap mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial (Fountain, 1999).
Anak-anak perlu berlatih Mempunyai empati yang mendalam, keberanian moral membela yang Pas, kemampuan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, dan sikap hormat terhadap keberagaman (Navarro-Castro dan Nario-Galace, 2019). Segala itu Tak hadir secara alamiah, tetapi harus dilatih sejak Pagi dan hanya Dapat tumbuh Kalau lingkungan di Sekeliling anak, terutama dari orang dewasanya, menghidupi dan mempraktikkan perdamaian secara konsisten.
Menghadirkan lingkungan seperti itu menjadi sangat krusial. Akan tetapi, hal tersebut Tak selalu mudah diwujudkan ketika informasi yang tak tersaring datang ke gawai pintar yang dipegang anak. Anak Dapat mendapatkan informasi yang positif seperti cerita tentang merayakan keberagaman dan empati dari video di platform digital.
Tetapi, pada Demi yang sama, informasi negatif seperti ujaran kebencian, kebohongan, dan ketidakadilan juga dapat mereka akses. Anak yang belum Bisa berpikir dan mengambil keputusan bijak rentan terjerumus melakukan hal Tak Berkualitas. Apalagi Kalau orang dewasa terdekat dengan mereka abai melakukan pendampingan.
Sering kali ketika anak melakukan hal yang Tak semestinya, orang dewasa dengan segera menyalahkan mereka. Orang dewasa menimpakan tanggung jawab pada anak, padahal anak Lagi berada dalam tahap belajar dan kadang belum Dapat membedakan mana yang Layak dilakukan dan sebaliknya. Anak diberi konsekuensi atau bahkan hukuman, sedangkan orang dewasa yang memberikan pengaruh tetap bebas dari tanggung jawab.
ORANG DEWASA SEBAGAI TELADAN
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat sekeliling mereka. Mereka meniru perkataan dan perilaku dari orang-orang dewasa yang mereka jumpai dalam hidup. Jadi, sebenarnya setiap orang dewasa, apa pun latar belakang dan profesinya, apakah ia orangtua, guru, tokoh Keyakinan, pejabat negara, selebritas, kreator konten, hingga masyarakat Lumrah, ialah guru kehidupan yang Hening-Hening sedang mengajar anak-anak kita.
Peran mendidik bukan hanya Punya keluarga dan sekolah, melainkan juga tanggung jawab moral kolektif yang tersebar di seluruh ruang sosial tempat anak tumbuh. Sayangnya, kita sering Tak menyadari peran tersebut.
Di rumah, ketika orangtua secara rutin mengajak anak membersihkan rumah, mereka sebenarnya sedang berkontribusi membentuk individu yang Asmara kebersihan.
Di sekolah, ketika guru menyemangati setiap siswa di kelas apa pun capaian prestasinya, dia sebenarnya sedang berkontribusi membentuk individu yang punya empati dan Tak membeda-bedakan. Di media sosial, ketika selebgram mengingatkan temannya Tak menggunakan kata-kata kotor, dia sebenarnya sedang berkontribusi membentuk individu yang Bisa berkomunikasi dengan sopan.
Di dunia hukum, ketika hakim memberikan keputusan yang adil, dia sebenarnya sedang berkontribusi membentuk individu yang akan selalu bersikap adil. Sebaliknya dari pembelajaran Berkualitas yang sudah disebutkan, Kalau kita orang dewasa mempertontonkan keburukan, kejahatan, dan ketidakadilan, kita sebenarnya berkontribusi Buat membentuk individu bermasalah secara akhlak. Perlu kerja kolaborasi dari seluruh masyarakat Buat Bisa menghadirkan pendidikan perdamaian (Harris dan Morrison, 2013).
Dalam konteks membentuk anak berakhlak mulia, yang nantinya akan membawa Indonesia ke kejayaan, itu bukanlah tanggung jawab orangtua dan guru di sekolah semata. Setiap orang dewasa di negara ini Mempunyai peran strategis. Orangtua sebagai pembimbing Primer, guru di sekolah memperkuat penanaman nilai mulia, dan tokoh publik sebagai anutan perilaku. Peran itu juga diperkuat institusi media sebagai penyaring informasi dan negara sebagai penyedia sistem yang adil dan berpihak pada perlindungan anak. Segala pihak harus bergerak Serempak Buat membentuk anak-anak Indonesia menjadi Insan berakhlak mulia.

