Korupsi Rezim Infrastruktur

Korupsi Rezim Infrastruktur
(Dok. Pribadi)

INVESTORS are Gods, prospectors of investors are heroes, bureaucrats are humble servants, and those who harm corporate interests are sinners.”

 

Slogan ini begitu populer di sebuah wilayah di Hubei, salah satu provinsi di Tiongkok yang menjadi salah satu sumber dalam buku China’s Gilded Age, The Paradox of Economic Boom and Vast Corruption yang ditulis oleh Yuen Yuen Ang (2020).

Naskah ini berupaya membongkar paham konvensional bahwa setiap tindakan korupsi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Ang mencoba membuktikan bahwa terjadi paradoks ketika paham konvensional tersebut diterapkan di Tiongkok, negara otokrasi dengan sistem partai politik tunggal.

Paradoks ini ingin menyampakan bahwa tidak semua bentuk atau jenis korupsi dapat merugikan pertumbuhan ekonomi. Sekalipun pada dasarnya semua jenis korupsi itu dianggap bukan perbuatan yang baik, dalam konteks tertentu ada jenis korupsi yang justru dianggap sebagai faktor yang mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ang menyebutnya sebagai steroids of capitalism.

Buat menganalisis temuannya, Ang membagi tipologi korupsi ke dalam empat bentuk, yakni petty theft, grand theft, speed money, dan access money. Petty theft diartikan sebagai pencurian atau penyalahgunaan dana publik, termasuk pemerasan yang dilakukan oleh birokrat.

Grand theft didefinisikan sebagai penyelewengan sebagian besar dana publik oleh elite yang menguasai dan memiliki akses terhadap keuangan negara. Speed money lebih diartikan sebagai suap kecil oleh warga atau pebisnis kepada birokrat ketika mengakses pelayanan publik. Terdapatpun access money adalah suap pelaku bisnis kepada pejabat yang berkuasa untuk mendapatkan hak eksklusif terhadap sumber daya.

Cek Artikel:  Hasil PISA 2022, Matematika Indonesia masih Stagnan

 

Kelindan kepentingan

Secara umum, menurut Ang, tiga tipe korupsi pertama yakni petty theft, grand theft, dan speed money sepenuhnya dianggap sebagai perbuatan ilegal dan dianggap paling merugikan bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya tipe korupsi access money dinilai tidak sepenuhnya illegal dan bahkan mampu meningkatkan perekonomian.

Hal inilah yang kemudian menjurus pada kesimpulan, kenapa Tiongkok begitu makmur di tengah praktik korupsi. Alasan kompetisi para politisi tidak lagi berpusat dalam hal elektoral, tetapi bergeser kearah kompetisi pembangunan walaupun itu harus dicapai dengan melakukan suap, termasuk memberikan akses kepada perusahaan tertentu (kronisme).

Bahasan ini menjadi sangat relevan dengan konteks Indonesia, yang begitu ambisius dalam pembangunan infrastruktur di bawah pemerintahan Joko Widodo. Strategi pembangunan infrastruktur melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) digadang-gadang sebagai cara paling jitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Buat mencapai tujuan itu, Presiden dan barisan koalisi pendukungnya dengan sangat mudah memproduksi berbagai kebijakan dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung pelaksanaan PSN. Sebut saja satu di antaranya Undang-Undang tentang Cipta Kerja. Regulasi ‘sapujagat’ ini diklaim sebagai salah satu cara untuk memacu pertumbuhan ekonomi, sekalipun dalam proses pembentukan dan substansinya banyak mengabaikan aspek-aspek antikorupsi.

Cek Artikel:  Berpengalaman, Prasetyo Edi Awallai Cermat untuk Dampingi Anies Baswedan

Situasi ini semakin kompleks manakala mayoritas para pengambil keputusan, baik di level eksekutif (terutama para menteri) maupun legislatif, adalah mereka yang memiliki kepentingan bisnis masing-masing. Terdapat kondisi di mana sulit untuk memisahkan apakah suatu keputusan atau kebijakan dilahirkan untuk kepentingan negara dan publik secara luas, atau sebatas memberikan akses sumber daya kepada para politisi-pebisnis.

Secara faktual, dampak yang mungkin bisa dilihat ialah melalui berbagai kasus korupsi di sektor infrastruktur. Sebut saja kasus korupsi pengadaan BTS di Kementerian Kominfo yang diduga merugikan negara hingga Rp8 triliun. Tetapi, di balik kasus yang ditangani oleh penegak hukum, ada persoalan serius tentang risiko korupsi yang begitu besar mengintai PSN.

Dalam kajian terbaru Transparency International (TI) Indonesia tahun 2023 melalui Infrastructure Corruption Risk Assessment Tool (ICRAT) telah dikaji beberapa proyek strategis, salah satunya proyek Kereta Lekas Jakarta–Bandung atau lebih dikenal sebagai Kereta Lekas Indonesia–China (KCIC).

Cek Artikel:  Menguji Kenegarawanan Hakim MK

Dalam temuan riset tersebut diungkap bahwa proyek tersebut melanggar legal quality decision making sehingga berpotensi sebagai white elephant projects, di mana proyek yang dibangun ini tampak megah, padahal keberadaannya berbiaya tinggi dan defisit manfaat sosial. Bahkan menjadi beban ekonomi, sosial, dan ekologi secara jangka panjang.

Potensi kerugian dan pelanggaran aturan dalam proyek ini juga dikonfirmasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari segi politik, dominasi koalisi pendukung pemerintah di dalam lembaga legislatif berimplikasi terhadap lemahnya pengawasan lembaga DPR terhadap pelaksanaan proyek itu.

Sebagai proyek yang juga didanai oleh pemerintah Tiongkok melalui China Development Bank (CDB), proyek ini sangat berisiko mengingat lemahnya tata kelola antikorupsi institusi finansial di negara tersebut. Belakangan juga terungkap, mantan Wakil Presiden Direktur CDB, Zhou Qingyu, ditangkap oleh pemerintah Tiongkok atas tuduhan menerima suap.

Apabila dikaitkan dengan studi Ang yang meletakkan access money sebagai korupsi yang ‘dipelihara’, temuan TI Indonesia dalam laporan ICRAT setidaknya mengonfirmasi situasi yang kurang lebih sama. Proyek infrastruktur seolah hanya meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan tunggal, tetapi dalam banyak hal mengabaikan kualitas perencanaan, minim pengawasan, serta transparansi terhadap informasi publik di lembaga-lembaga negara terkait pelaksanaan proyek infrastruktur.

Mungkin Anda Menyukai