Konflik Thailand-Kamboja Menguji ASEAN

Konflik Thailand-Kamboja Menguji ASEAN
(Dok. Pribadi)

PERBATASAN Thailand-Kamboja kini membara Kembali. Kontak senjata serupa pernah meletus pada 2008. Kalau dirunut balik ke belakang, konflik itu terjadi karena Bukan jelasnya garis perbatasan Thailand-Kamboja. Ketika Tetap menjajah Indochina, pemerintah kolonial Prancis Membangun peta pada 1907 dengan garis batas yang tak Jernih. Malah di sepanjang perbatasan itulah, Kuil Preah Vihear dan candi-candi lain, seperti Ta Muen Thom dan Ta Muen Toch, terletak.

Sejatinya, pada 1962 International Court of Justice (ICJ) memutuskan Kuil Preah Vihear berada di Kawasan Kamboja berdasarkan peta yang dibuat Prancis pada 1907. Tetapi, keputusan ICJ itu Bukan mencakup status Kawasan di sekitarnya. Pada 2008 UNESCO menetapkan candi itu sebagai situs warisan dunia Punya Kamboja.

Rupanya keputusan ICJ dan UNESCO itu Tetap menyisakan masalah: di mana batas Kawasan antara Thailand dan Kamboja? Itulah inti pusaran sengketa kedua negara yang Tamat Begitu ini sering memantik konflik bersenjata.

Di balik peta dan garis batas yang tak Jernih, Kuil Preah Vihear menjadi simbol perebutan kedaulatan. Menjadi pertanyaan: mengapa Kuil Preah Vihear menjadi objek sengketa? Kalau dilihat dari perspektif sumber konflik tradisional, konflik Thailand-Kamboja terkait dengan Kuil Preah Vihear ini cukup Istimewa: konflik yang dipicu warisan budaya (cultural heritage). Merujuk pendapat Spesialis, kini dunia tak Kembali pusing dengan persaingan ideologi. Unsur budaya malah menjadi motor penggerak dalam peningkatan intensitas Rekanan Global (Michael J Mazarr, Culture in International Relations, Dunia Policy Perhimpunan, Spring 1996).

Dalam konteks inilah konflik Thailand-Kamboja atas Kuil Preah Vihear menemukan relevansinya. Persepsi strategis Thailand dan Kamboja terhadap satu produk budaya (dalam hal ini candi) menentukan Langkah mereka menilai Rekanan mereka satu sama lain. Candi bukan Kembali sekadar benda budaya, melainkan sesuatu yang sudah menjelma menjadi benda politik simbol kedaulatan negara. Persepsi strategis seperti itulah yang menjadi pencetus konflik bersenjata di perbatasan.

Cek Artikel:  Demokrasi, Melek Fungsional dan Melek Politik

Konflik antara Thailand dan Kamboja, Kalau berkepanjangan, dapat mencoreng nama Berkualitas ASEAN, yang selama ini dikenal sebagai kawasan relatif Kukuh. Meski setuju Demi gencatan senjata, konflik itu Tetap menyimpan api di balik sekam. ASEAN dihadapkan pada ujian sejarah: mampukah entitas regional ini menyelesaikan konflik di antara negara Personil mereka sendiri?

Terdapat beberapa tantangan yang akan dihadapi ASEAN Kalau Ingin menyelesaikan konflik. Pertama, kendala normatif. Pasal 2 Piagam ASEAN menegaskan prinsip ‘non-interference‘ dalam urusan dalam negeri negara Personil. Prinsip itu Membangun negara Personil rikuh mencampuri konflik bilateral. Jikapun Terdapat negara Personil yang bersedia Demi memediasi konflik, hal itu bergantung pada konsensus politik bilateral kedua negara yang bertikai.

Pernah tercatat Indonesia berinisiatif menjadi Penghubung konflik Thailand-Kamboja pada 2011. Meski Indonesia Bisa mempertemukan pejabat tinggi kedua pihak Demi memulai dialog, penyelesaian akhir konflik itu Malah diputuskan ICJ. Bukan oleh ASEAN sendiri. Di sini terlihat bahwa prinsip non-interference menjadi kendala psikologis bagi negara Personil ASEAN Demi menyelesaikan masalah internal mereka.

Kedua, kendala struktural. ASEAN Bukan Mempunyai lembaga penegakan hukum yang kuat dalam menyelesaikan konflik antaranggota mereka. Menurut laporan International Crisis Group (2011), berulangnya konflik Preah Vihear mencerminkan ‘ASEAN lacks the institutional tools to effectively intervene in intra-regional disputes‘.

Cek Artikel:  Kabel di Jakarta

Meskipun Terdapat Piagam ASEAN yang mengatur penyelesaian sengketa, mekanismenya sering kali bersifat sukarela, Bukan mengikat, dan bergantung pada kemauan politik negara Personil yang berkonflik. Peran yang dimainkan ASEAN dalam konflik internal lebih bersifat fasilitatif, bukan enforcement (Penyelenggaraan) atau coersive (paksaan).

Dalam rumusan Donald E Weatherbee, ASEAN ialah ‘a diplomatic community, not a security community‘ (International Relations in Southeast Asia, 2014). Artinya, ASEAN lebih piawai sebagai Perhimpunan Percakapan ketimbang sebagai aktor resolusi konflik. Watak penyelesaian konflik model itu sangat rentan dengan intervensi asing, terutama oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan strategis di kawasan.

Ketiga, model penyelesaian di atas menghadapkan ASEAN pada kendala selanjutnya, Ialah rivalitas geopolitik. Tantangan yang dihadapi ASEAN dalam menyelesaikan konflik Thailand-Kamboja menjadi semakin kompleks Kalau dilihat dari perspektif geopolitik Asia-Pasifik. Kawasan itu diwarnai semakin tajamnya rivalitas Amerika Perkumpulan Lawan Tiongkok.

Rivalitas kekuatan besar ini memaksa Personil ASEAN Mempunyai sikap sendiri-sendiri ketika berurusan dengan dua negara tersebut. Masyarakat Global tentu Bukan lupa bagaimana ‘tunduknya’ Kamboja pada tekanan Tiongkok Begitu KTT ASEAN 2012 di Phnom Penh. Diduga karena tekanan Tiongkok, Kamboja sebagai tuan rumah KTT Bukan memasukkan isu Laut China Selatan dalam agenda pembahasan.

Beribu Argumen Bisa diucapkan. Tetapi, Bukan masuknya isu Laut China Selatan dalam pertemuan mahapenting bagi ASEAN Jernih menunjukkan pengaruh Tiongkok yang kuat terhadap kebijakan luar negeri Kamboja. Sementara itu, Thailand, Filipina, dan Singapura, meski di bidang ekonomi berhubungan erat dengan Tiongkok, dalam aspek strategis, pertahanan, politik, dan militer ketiga negara ini lebih dekat ke Amerika Perkumpulan.

Cek Artikel:  Sasaran Kemenkes Pembentukan Aturan Turunan UU 17 tahun 2023 dalam 2 bulan dengan Penjaringan Aspirasi Publik, Masuk Akalkah

Dengan konstelasi kedekatan seperti itu, sulit membayangkan soliditas ASEAN dalam menyikapi konflik Thailand-Kamboja. Tersebab kepentingan geopolitik AS Lawan Tiongkok, posisi ASEAN dalam konflik Thailand-Kamboja akan terbelah. Indikasi Adonan tangan asing sudah kelihatan: pada pertemuan mediasi yang diinisiasi PM Malaysia Anwar Ibrahim pada 28 Juli Lampau Dubes AS dan Dubes Tiongkok ikut hadir.

Sejauh ini Terdapat persepi publik bahwa ASEAN sangat Ingin mencitrakan diri sebagai entitas regional yang Berdikari. Bahkan menjadi aktor Penting dan pusat dari proses kerja sama dan arsitektur keamanan serta ekonomi di kawasan Asia Tenggara dan lebih luas Kembali di kawasan Indo-Pasifik (ASEAN Centrality). Tetapi, kehadiran wakil dua negara adikuasa di pertemuan mediasi oleh Malaysia mengindikasikan adanya ‘pengaruh’ pihak ketiga.

Publik Bisa saja menafsirkan itu sebagai inferioritas ASEAN terhadap negara adikuasa. Apa pun tafsir yang ditawarkan, satu hal yang Jernih, Ialah telah terjadi pergeseran besar dalam narasi geopolitik kawasan: konflik regional ASEAN kini semakin terbuka sebagai ajang kontestasi Dunia.

Dengan komplikasi Rekanan antara ASEAN, AS, dan Tiongkok, konflik Thailand-Kamboja Betul-Betul menguji ASEAN. Menghadapkan mereka pada tantangan Bukan ringan. Kendala normatif dan struktural Bisa membuka pintu masuk bagi pihak ketiga Demi cawe-cawe dalam konflik.

Dalam banyak kasus, intervensi asing akibat rivalitas kepentingan geopolitik negara adikuasa lebih sering memperparah, alih-alih menyelesaikan konflik. Kalau ASEAN Ingin tetap menjadi entitas regional yang Berdikari dan relevan bagi negara Personil dan kawasan, mereka harus kembali pada khitah mereka: menyelesaikan konflik internal mereka dengan jalan damai, dialog, dan konsensus.

Mungkin Anda Menyukai