Koalisi Berikat Figur, Berlidi Gagasan

Koalisi Berikat Figur, Berlidi Gagasan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

FILM 300: Rise of Empire (2014) bercerita tentang perang yang tidak seimbang Xerxes I dari Persia melawan gabungan armada Yunani–Athena, Sparta, dan Peloponnese. Perang pada 480 Masehi itu digambarkan sebagai perang antara 800 galai armada Persia dan 370 perahu armada Yunani. Dekat pasti, negara-negara kota di Yunani itu akan kalah berperang melawan Persia seandainya mereka tidak bersatu membangun koalisi. Eksislah Themistocles, pahlawan Yunani yang juga arsitek penggagas koalisi besar negara-negara kota dalam menghadapi gempuran Persia itu. Sebuah upaya untuk mendapatkan kekuatan dari kelemahan-kelemahan yang ada.

Dalam kontestasi kekuasaan, koalisi sebenarnya sering kali digambarkan sebagai sebuah kelemahan. Maksudnya ketidakmampuan untuk mengusung dan berjalan sendiri dalam mengelola kekuasaan. Anggapan itu, tentu bisa dianggap sebagai kebenaran jika dalam diri kita gagasan tentang kerja sama hanya soal membagi kekuasaan, tetapi tidak tentang memikul beban persoalan bangsa secara bersama.

 

Koalisi bukan pragmatisme semata

Pemilu presiden di Indonesia mengharuskan partai atau gabungan partai mempunyai minimal 20% jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional untuk dapat mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Dengan perolehan suara 2019 yang ada, hampir semua partai, kecuali PDI Perjuangan (PDIP), harus berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres mereka sendiri sehingga tentu saja, mula-mula koalisi dibentuk dalam konteks itu diperuntukkan mengusung kandidat capres yang sama. Karena itu, membayangkan koalisi itu sebagai bentuk ideal teoretis koalisi partai politik sangatlah tidak mungkin.

Koalisi dalam teori sebenarnya secara stabil dibentuk di antara sekutu-sekutu yang dekat secara ideologis. Itu dapat dijelaskan dengan teori-teori spasial pembentukan koalisi. Tetapi, gagasan semacam itu tidak selalu benar-benar dapat terwujud. Opini bahwa kedekatan ideologis akan mendekatkan pada pembentukan tujuan kebijakan yang saling melengkapi kerap kali tidak benar-benar mampu terformulasi dengan baik. Karena itu, tidak jarang bahkan pada praktiknya koalisi dibangun dari partai-partai dengan ujung spektrum politik yang berlawanan secara ekstrem.

Sebagai ilustrasi ialah pemerintahan koalisi Angela Merkel pada 2013. Merkel dari Partai Kristen Demokrat (CDU) yang ‘kanan-tengah’ harus berkoalisi dengan Partai Sosial Demokrat (SDP) yang ‘kiri-tengah’. Keduanya bahkan secara tradisional merupakan rival abadi sehingga koalisi itu sering sekali disebut dengan ‘sangat bertemakan rasa saling percaya’.

Ketiadaan ideologi sebagai panduan pembentukan koalisi dianggap sebagai faktor yang paling sering dijadikan kambing hitam terjadinya pragmatisme politik. Penjelasan itu cukup untuk jadi alasan ‘sapu jagat’ atas semua situasi politik yang ada sehingga semua persoalan ujung pangkalnya hanya satu: pragmatisme politik. Merujuk Macridis (dalam Amal, 2012), partai politik menjadi sedemikian pragmatis karena tidak melibatkan ideologi dalam praktik politik mereka. Di samping itu juga, basis ideologi yang semakin luntur pemaknaannya oleh partai dan/atau elite mereka disebabkan mereka lebih memfokuskan pada kekuasaan dan memenangi pemilu.

Praktik semacam itu merupakan ‘kelumrahan’ mengingat partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu memiliki daya mobilitas yang tinggi untuk melakukan pergeseran positioning ideologi. Tetapi, persoalan ketiadaan ideologi itu menjadi sangat rancu jika memahami sesungguhnya tidak ada konflik ideologis pasca-Orde Baru, baik intra maupun antarpartai politik. Kita lihat saja rezim berganti, tetapi kita melihat faktor-faktor ideologis–merujuk saja pada hak konstitusional rakyat–belum menjadi pertimbangan atau concern dalam kebijakan pemerintahan. Maksudnya tidak benar-benar ada faktor ideologis di hampir sebagian besar partai politik yang ada saat ini.

Cek Artikel:  Menyalakan Api Sumpah Pemuda

Partai-partai politik yang lahir pasca-Orde Baru tampaknya telah berhasil memoderasi ideologi mereka, dan secara radikal lebih memilih untuk memoles bagian yang lebih menonjol sebagai pencitraan. Gambaran paling penting dalam situasi dengan angka elektoral menjadi patokan ialah kemampuan partai mengonversi dukungan menjadi jumlah suara dalam kotak suara. Hukum besi elektoral memastikan kemenangan sebuah partai ada pada jumlah suara yang masuk dan dihitung sah, bukan pada kebijakan publik yang diperjuangkan partai. Kebijakan-kebijakan partai yang prorakyat sekalipun tidak menjadi garansi bagi perolehan suara dalam pemilu.

Bagaimanapun, mesti dipahami bahwa permainan kekuasaan ialah permainan zero-sum (keuntungan salah satu pihak ialah kerugian pihak lain). Meskipun selalu ada kecenderungan untuk mengarahkan proses peralihan kekuasaan sebagai proses yang win-win solution, secara elementer pelaku politik tetap memahami bahwa ‘semua menang’ dalam kontestasi politik sesungguhnya sangat abstrak.

Kekuasaan yang jumlahnya sangat terbatas muskil kiranya dibagi-bagi, apalagi diabstraksi seolah semua pihak bisa memegang kendali kekuasaan yang sama. Partai, atau gabungan partai, akan berusaha keras untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya pembagian kekuasaan itu. Ihwal itu tentu disebabkan, pertama, alasan kepentingan untuk melanjutkan tujuan-tujuan mereka sendiri dan, kedua, untuk alasan melestarikan ide dan institusi partai tersebut.

 

Ber-suh figur, berlidi gagasan

Suh dalam bahasa Jawa berarti sebagai tali pengikat sapu lidi. Dalam lema bahasa Indonesia sinonim dengan simpai. Dalam politik sering kali dianggap koalisi dibentuk atas dasar relevansi programatis. Secara ideal tentu itu yang seharusnya terjadi. Akan tetapi, praktik politik yang berlaku, figur capreslah yang menjadi titik pusat perhatiannya. Elemen figur itulah yang kerap kali dicurigai telah menghilangkan unsur yang lebih strategis: ‘Koalisi tidak dibangun berdasarkan kepentingan jangka panjang membangun negara’. Meskipun demikian, nyatanya figur itulah yang menjadi suh, tali pengikat dari elemen partai yang tergabung dalam koalisi.

Mamahami figur dengan demikian tidak bisa dianggap sebagai ‘tiket kosong’ semata. Bagaimanapun, seorang figur merupakan representasi dari berbundel konsep prinsipiel yang bisa dikerucutkan sebagai tujuan-tujuan yang baik dalam berbangsa-bernegara. Representasi konsep prinsipiel itulah yang dapat dilihat dalam integritas, kapasitas, dan kapabilitas seorang calon presiden.

Ihwal itulah yang seharusnya menjadi pembatas awal bagi partai-partai politik untuk tidak melompat pagar ke tetangga sebelah karena tiadanya relevansi programatis dan pragmatis dalam pembentukan koalisi. Figur sebagai pengikat itulah yang menjadi pegangan dalam meletakkan posisi dan pilihan capaian dalam koalisi yang dibentuk.

Figur menjadi faktor penting karena tiga hal, yaitu tuntutan pemilih, akses partai politik terhadap sumber daya, dan pilihan sistem pemilu di negara demokrasi baru. Hal serupa juga diungkapkan Carey dan Snugart (1999), bahwa sistem pemilihan yang berpusat pada kandidat akan dipilih ketika suara pribadi lebih kuat dan partai memiliki akses ke sumber daya yang terbatas.

Pesona person yang lebih kuat, apalagi di era media pencitraan seperti masa sekarang, akan banyak menjadi kendala bagi penguatan party ID. Meskipun demikian, secara sebaliknya juga berlaku bahwa lemahnya party ID membuat partai politik menyandarkan diri mereka pada faktor figur. Itulah yang menjadi alasan partai-partai politik mengejar coattail effect dari proses pencapresan seorang figur.

Cek Artikel:  Aroma Politik dalam Putusan MK

Selain figur, ada beberapa pokok penting dalam pembangunan sebuah koalisi. Pertama, setiap partai diperlakukan sebagai aktor kesatuan. Orkestrasi dalam koalisi memang penting adanya, tetapi ketunggalan peran dalam dalam sebuah koalisi merupakan awal yang merusak struktur bangunan koalisi secara jangka panjang. Kedua, meletakkan integritas partai sebagai jejak reputasional. Partai politik, bagaimanapun pragmatisnya, tetap saja membutuhkan reputasi-reputasi ‘baik’ bagi pemilih mereka. Kebijakan yang sering berubah-ubah atau ambigu membuat pemilih dan partai-partai lain kesulitan untuk mengidentifikasi posisi mereka.

Identifikasi yang paling mudah ialah mengelompokkan koalisi sebagai mereka yang mendukung dan melanjutkan rezim-terdahulu dengan yang antirezim-terdahulu. Simplifikasi itu jelas sangat manipulatif dan membodohkan. Hakikatnya, dalam posisi paling ekstrem pun sebuah partai politik yang anti terhadap rezim sebelumnya sama sekali tidak bisa berlepas diri dari jejak rezim itu. Tentu saja, secara prinsipiel bertentangan dengan praktik demokrasi yang memberi tempat yang sangat luas pada proses dialog, negosiasi, dan konsensus. Dengan demikian, selebar apa pun keterbelahan itu, tetap saja selalu tersedia bagi adanya situasi ‘saling memberi dan menerima’. Sungguh mustahil untuk tidak memberi dan menerima sama sekali dari yang sebelumnya.

Seburuk dan selemah apa pun sebuah koalisi dibangun, tetap saja ada alasan penting berdasarkan kebutuhannya untuk bersama dalam sebuah koalisi. Koalisi, dengan demikian, bukan sekadar hitungan penjumlahan angka-angka, melainkan lebih daripada itu ialah upaya menyeimbangkan kelemahan pihak-pihak yang bekerja sama. Koalisi lebih memungkinkan sesuatu tidak dilakukan atas dasar kepentingan mereka sendiri, tetapi pada tujuan bersama dan upaya kepedulian untuk lebih mendekatkan pada nilai keadilan.

Koalisi setidaknya memberi batas pengaman agar kita tidak didera kekecewaan dengan pemerintahan yang dikendalikan tangan kita sendiri. Karena itu, paling tidak sebuah koalisi ialah upaya berkolaborasi untuk menciptakan demokrasi sebagai government of the people, by the people, for the people. Di situlah gagasan menjadi lidi yang penting dalam proses pengelolaan kekuasaan.

Dengan mengutip Djuyandi (2011), selama koalisi partai politik didasarkan pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat melalui mekanisme demokrasi, walaupun yang ada dalam koalisi ialah partai politik yang berbeda paham atau ideologi, akan menghasilkan kinerja politik yang luar biasa. Berlaku sebaliknya, meskipun partai yang bergabung satu ideologi atau paham, jika tidak didasarkan pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat, hasilnya ialah kinerja politik yang luar biasa buruk.

Dalam konteks jangka panjang, koalisi juga merupakan bagian untuk menyiapkan suatu mekanisme checks and balances yang memadai. Perlu saya kiranya mengutip ungkapan James Madison, pendiri Amerika Perkumpulan, “If men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary.” Maksudnya koalisi sebagai pengusung capres juga menyediakan perangkat yang memastikan perlindungan bagi sesama rakyat, perlindungan bagi rakyat yang diperintah dari yang memerintah, dan paling pokok melindungi konstitusi dari pelaksananya sendiri. Sangat ironis kiranya jika kita abai pada orang yang bersumpah di bawah konstitusi tetapi secara aktif merusaknya. Bagaimanapun baiknya seorang pemimpin, tetap saja selalu dibutuhkan perangkat dan mekanisme kontrol padanya.

Cek Artikel:  Resonansi Narasi Rekonsiliasi

Lidi gagasan dari koalisi ialah problem mendasar rakyat yang seharusnya dilindungi konstitusi. Tiga problem mendasar rakyat yang saat ini penting dan mendesak ialah kemiskinan, lapangan kerja, dan kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi dengan baik. Gagasan-gagasan yang keluar dan tumbuh dalam koalisi seharusnya berakar pada pokok-pokok persoalan rakyat itu sehingga kandidat sebagai magnet utama koalisi harus membawa program-program tersebut sebagai kampanye jangka panjang mereka. Karena itu, kampanye harus dipahami bukan hanya terbatas dan sebatas menjelang atau pada masa pemilu, tetapi lebih dari itu ialah program perjuangan ketika terpilih dalam mandat nasional.

Dengan konsep yang sedemikian itu, pemilu seharusnya merupakan kreasi politik yang paling mutakhir untuk mempertemukan setiap kepercayaan dan ketidakpercayaan menjadi sebuah keputusan politik untuk memberi mandat yang baru pada pemerintahan yang terpilih. Akan sangat menakutkan jika dalam sebagian diri kita begitu skeptis pada proses ini. Bukan hanya akan menjadi ancaman pada demokrasi, tetapi juga secara hakikat i ialah ancaman atas bangunan kebangsaan kita.

Upaya mempertahankan kehidupan institusi demokrasi itu harus dipahami sebagai hal yang sama pentingnya dengan upaya mengejar keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Muskil kiranya membiarkan institusi demokrasi mengalami ketiadaan, tetapi berharap dapat menghasilkan keadilan. Dua hal yang tidak bisa diproses secara terpisah dalam kehidupan berbangsa ialah kemampuan negara membangun proses bernegara mereka dengan hasil dari proses itu sendiri.

Koalisi yang mengikatkan diri pada sosok figur dan tersusun dari lidi-lidi gagasan juga harus mendorong seorang pemimpin yang berkomitmen tidak mengejar kekuasaan saja. Akan tetapi, lebih dari itu, yaitu pemimpin–yang bukan hanya karena kebaikannya–yang membawa kemampuan bangsa dan seluruh elemennya bergerak mendekat pada kesejahteraan dan keadilan sosial. Karena itu, sebuah koalisi nilai dasarnya ialah nasionalisme kebangsaan, sebuah prinsip yang menerjemahkan rasa kepentingan bersama sebagai alat merekatkan seluruh rakyat.

 

Penutup

Dalam ruang-ruang politik yang dipenuhi dengan retorika, gagasan koalisi sering kali dicurigai sarat dengan jual beli dukungan dengan kapital. Sedikit sekali kiranya ada prasangka baik bahwa koalisi antarpartai tumbuh bersama kepentingan transaksi gagasan. Apabila belajar pada sapu lidi, koalisi yang baik bukan terletak pada besar atau kecilnya sapu lidi, melainkan pada ikatan yang kuat dan kejelasan gagasan tujuan dari koalisi itu dibentuk.

Tanpa pemahaman itu, proses politik hanya akan dianggap sebagai eskapisme dan kesenangan bertualang, tanpa mengindahkan hak dan kepentingan rakyat yang dipertaruhkan dalam tiap prosesnya. Situasi seperti itu merugikan baik pada tumbuhnya proses demokrasi itu maupun juga pada upaya-upaya pencapaian tujuan dari proses politik itu sendiri diselenggarakan.

Situasi yang sama buruknya telah diingatkan Bung Hatta dalam Tanggung Jawab Moril Kaum Intelegensia. Menurutnya, ‘… karena semuanya dipandang mudah dan semangat avonturir mengalahkan rasa tanggung jawab, timbullah anarki dalam politik dan ekonomi serta penghidupan sosial. Dengan akibatnya yang tidak dapat dielakkan: korupsi dan demoralisasi’.

Demikian kiranya alas paling bawah kenapa sebuah koalisi seharusnya dibentuk. Jadi, koalisi bukanlah peristiwa akrobatik nircipta, nirrasa, dan nirkarsa. Figur dengan demikian merupakan suh yang tidak hanya mengikat, tetapi juga menjaga suhu koalisi agar tetap hidup untuk memperjuangkan gagasan-gagasannya.

Mungkin Anda Menyukai