Kita bukan Sri Lanka

SRI Lanka dan Indonesia itu sama. Keduanya sama-sama menjejak Benua Asia. Hanya itu kesamaan 100%-nya. Selebihnya, berbeda Dekat 180 derajat.

Penduduk Sri Lanka 22 juta jiwa, sedangkan Indonesia lebih dari 271 juta jiwa. Luas Indonesia 1,9 juta kilometer persegi. Luas Sri Lanka Sekeliling 65 ribu kilometer persegi. Produk domestik bruto kita Sekeliling Rp17 ribu triliun, atau 16 kali lipat lebih tinggi daripada PDB Sri Lanka.

Karena itu, membandingkan Indonesia dengan Sri Lanka Terang Bukan apple to apple. Lebih mirip membandingkan apel dan jeruk bali. Yang satu ukurannya kecil, satunya besar. Saya menyebut begitu karena akhir-akhir ini mulai Terdapat yang memadupadankan Indonesia dan Sri Lanka, khususnya dalam hal risiko gagal bayar utang pemerintah.

Dalam satu bulan terakhir, Sri Lanka didera krisis hebat. Negara ini mengalami inflasi 18,8% pada Maret 2022 Kalau dibandingkan dengan Maret tahun sebelumnya (year on year/yoy). Nomor tersebut lebih tinggi Kalau dibandingkan dengan bulan sebelumnya 15,1% (yoy). Inflasi Sri Lanka menunjukkan tren kenaikan mulai Oktober 2021 seiring naiknya harga minyak.

Cek Artikel:  Mobil Mewah Penerima Bansos

Bahkan, indeks pangan telah naik 30,1% selama setahun terakhir dan melonjak 42,2% Kalau dibandingkan dengan Desember 2019. Sri Lanka pun diambang kebangkrutan setelah melakukan penangguhan pembayaran utang yang sudah Terperosok tempo. Mata Duit LKR telah terdepresiasi lebih dari 63% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini.

Kurangnya devisa Sri Lanka telah Membangun negara berpenduduk 22 juta jiwa itu Bukan dapat membayar kembali pinjamannya. Sri Lanka Mempunyai Sekeliling US$8 miliar utang dan Kembang yang Terperosok tempo tahun ini. Sementara itu, cadangan devisa yang dapat digunakan diperkirakan hanya beberapa ratus juta dolar AS.

Krisis ekonomi pun memicu krisis politik. Protes massal dilakukan masyarakat karena kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Kekurangan devisa Membangun Sri Lanka Bukan sanggup mengimpor bahan makanan, bahan bakar, dan menebus obat-obatan. Massa yang marah dan lapar menuntut PM Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri. Kondisi kian Bukan terkendali karena Terdapat demonstran yang ditembak Wafat.

Pada Ketika Dekat bersamaan, Kementerian Keuangan RI merilis posisi utang pemerintah. Jumlahnya naik, menjadi Rp7.052 triliun per akhir Maret. Jumlah itu bertambah Rp37,92 triliun ketimbang posisi utang pada Februari. Rasio utang terhadap PDB juga naik, dari 40,17% menjadi 40,39%.

Cek Artikel:  Jangan Berharap Banyak pada Erick

Itulah pangkal kemunculan Komparasi Indonesia dengan Sri Lanka. Di sejumlah portal media Terdapat yang ‘mengingatkan’ pemerintah akan risiko gagal bayar utang seperti Sri Lanka. Di media sosial, mulai Terdapat yang menyandingkan demonstrasi di Sri Lanka dan aksi di depan gedung kompleks parlemen tempo hari.

Peringatan itu Berkualitas-Berkualitas saja, terutama bila diniatkan agar pemerintah lebih bijak dalam mengelola utang. Tetapi, bila niat mereka Kepada memprovokasi dengan mengembuskan bias informasi, bahkan membelokkan informasi, ini yang patut dicermati.

Utang pemerintah memang Lalu bertambah. Tapi, secara rasio terhadap PDB Tetap Terjamin, Tetap 40% alias Bukan Tamat 60% yang merupakan ambang batas Terjamin utang sebuah negara. Kondisi tersebut juga jauh bila dibandingkan dengan Sri Lanka dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 107%.

Selain itu, mayoritas utang Indonesia berupa surat berharga negara yang berdenominasi rupiah (lebih dari 70%). Berbeda dengan Sri Lanka yang terlilit utang valuta asing dalam jumlah besar dan mayoritas ialah utang luar negeri.

Cek Artikel:  Mimpi SBY

Sementara itu, utang luar negeri Indonesia relatif rendah, kurang dari 12% dari total utang pemerintah. Pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman multilateral dan bilateral. Kondisi ini berbeda dengan Sri Lanka yang Dekat Seluruh utangnya dalam skema bilateral, dengan mayoritas pemberi utang ialah Tiongkok.

Utang Indonesia juga digunakan Kepada hal-hal produktif (kecuali Ketika pandemi covid-19 terjadi). Itu terbukti dari meningkatnya nilai aset yang dimiliki negara hingga 2,7 kali lipat sejak 2014. Peningkatan aset ialah bukti bahwa banyak proyek produktif yang dijalankan.

Sekali Kembali, utang memang sensitif dijadikan komoditas politik. Apalagi, kebanyakan orang hanya Acuh pada besarnya jumlah utang. Bukan cukup punya waktu Kepada meneliti lebih jauh digunakan Kepada apa utang itu, Terjamin atau Bukan secara rasio terhadap PDB, dan Tetap amankah secara Terperosok tempo. Dalam kondisi seperti itu, jangan pernah sekali pun Letih Kepada memperkuat literasi dan Membangun narasi kepada publik.

Mungkin Anda Menyukai