PROGRAM pengampunan pajak sejatinya ialah salah satu upaya yang lazim dilakukan banyak negara Buat memaksimalkan pendapatan negara. Tetapi, Eksis sejumlah celah menganga bagi munculnya moral hazard bila aturan itu diterapkan berkali-kali dengan pengawasan yang Luas.
Tetapi, rupanya Eksis kalangan yang ngebet mengegolkan program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III. Itu terlihat dari usul revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang menyusup ke daftar Program Legislasi (Prolegnas) 2025.
Dapat dikatakan menyusup karena Wakil Ketua Komisi XI DPR Mohamad Hekal Bukan mengakui rancangan undang-undang (RUU) inisiatif DPR tersebut secara Formal berasal dari Komisi XI. Rancangan beleid itu semula diusulkan oleh Baleg DPR. Lampau, disebutkan dikuatkan menjadi usul Komisi XI melalui surat Formal agar tetap masuk agenda prioritas legislasi.
Dalam daftar 41 RUU Prolegnas 2025 yang disetujui rapat paripurna DPR pada November 2024, RUU Pengampunan Pajak sudah terdaftar sebagai usul Komisi XI. Tentangan publik yang kuat, apalagi di tengah rencana penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% ketika itu, Membikin DPR mengesampingkan pembahasan RUU itu.
Alih-alih menghapusnya, DPR dalam rapat paripurna persetujuan perubahan Prolegnas 2025, pekan Lampau, tetap mempertahankan agenda revisi UU Pengampunan Pajak. Daftar prolegnas tahun ini juga bertambah panjang menjadi 52 RUU walaupun 2025 tinggal kurang dari empat bulan Tengah.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menentang digulirkannya Tengah pengampunan pajak. “Kalau dua tahun Eksis tax amnesty, itu akan memberi Bonus kepada orang-orang Buat kibul-kibul. Mereka akan pikir, dua tahun Tengah Eksis tax amnesty Tengah,” ujar Purbaya.
Manfaat program pengampunan pajak bagi negara sudah terbukti Bukan menggembirakan. Pertama kali digulirkan pada 2016-2017 di periode pertama pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo. Ketika itu, tebusan atau pembayaran pajak yang dibidik senilai Rp165 triliun, tapi hanya terealisasi sebesar Rp114,02 triliun.
Lampau, pada 2021-2022, pascapandemi covid-19, pemerintah menggulirkan tax amnesty jilid kedua. Tengah-Tengah, pembayaran pajak yang diperoleh hanya Rp60,01 triliun.
Pengampunan pajak terbukti pula kurang efektif dalam meningkatkan basis penerimaan pajak. Rasio pajak hingga setahun setelah tax amnesty jilid 2 cenderung stagnan di Sekeliling 10% produk domsetik bruto (PDB). Kisaran itu Lagi belum berubah pada 2024, bahkan mencatatkan tren yang Maju menurun.
Tingkat rasio pajak di Indonesia tergolong paling rendah di ASEAN. Pada 2022, contohnya, Indonesia mencatatkan rasio pajak sebesar 10,38%, kalah jauh Apabila dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 17,18% atau Vietnam yang sebesar 16,21%.
Padahal, tujuan Esensial pengampunan pajak ialah mendongkrak penerimaan pajak Buat jangka panjang. Artinya, basis penerimaan pajak harus meningkat.
Satu-satunya yang diuntungkan oleh program pengampunan pajak ialah para pengemplang pajak. Mereka terhindar dari denda kelalaian membayar pajak yang mencapai 200%. Karena itu, apabila para wakil rakyat ngotot menggulirkan kembali program pengampunan pajak, Buat siapa sebenarnya kebijakan itu ditujukan?
Ketimbang berkutat pada kebijakan yang sudah Terang-Terang kurang efektif, lebih Bagus secara konsisten menegakkan kepatuhan membayar pajak. Tutup pula Seluruh celah kongkalikong pengemplangan pajak.
Apabila dilihat dari rasio pajak yang hanya 10,07% PDB, sudah Dapat diduga terdapat celah-celah kebocoran. Sudah bocor, dipakai pula Buat jorjoran memberikan tunjangan bagi pejabat negara.
Kini, yang dinantikan ialah terobosan mendongkrak penerimaan negara dari pajak tanpa menggencet masyarakat yang sudah terimpit oleh daya beli yang lemah. Itu membutuhkan kombinasi kreativitas, integritas, dan kepekaan sosial, bukan memberikan Bonus Buat mereka yang suka ngibul.

