Keyakinan dan Kecerdasan Artifisial

Agama dan Kecerdasan Artifisial
Usman Kansong Pengajar komunikasi FISIP USU Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo 2021-2024(MI/Seno)

PAUS Leo XIV meminta gereja Katolik merespons perkembangan kecerdasan artifisial (artificial intelligence, AI) dalam pernyataan perdananya kepada Kolese Kardinal, 10 Mei 2025. Sri Paus mengungkapkan gereja menawarkan kepada setiap orang Demi menjadikan ajaran sosialnya dalam merespons perkembangan AI yang menghadirkan tantangan baru bagi pembelaan Harkat Mahluk, keadilan, dan tenaga kerja.

Sebelumnya, Paus Franciscus, pendahulu Paus Leo XIV, meminta gereja merenungkan AI, keterbatasannya, hubungannya dengan kebenaran, dan etika dalam menggunakannya. Respons gereja Katolik itu kiranya Dapat menjadi titik berangkat bagaimana Sebaiknya Keyakinan memperlakukan AI.

 

NGERI-NGERI SEDAP

Berbicara Interaksi Keyakinan dan AI pada dasarnya berbicara kaitan Keyakinan dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Interaksi keduanya ‘ngeri-ngeri sedap’, mengalami pasang surut. Gereja Katolik mendakwa ilmuwan Galileo Galilei berbuat bidah karena mendukung Nicolaus Copernicus yang berteori bumi mengitari Mentari atau Mentari pusat alam semesta (heliosentris). Gereja berkeyakinan Mentari mengelilingi bumi atau bumi pusat alam semesta (geosentris).

Galileo harus menjalani inkuisisi yang digelar gereja Katolik. Pada April 1633, Galileo bersedia mengaku bersalah supaya mendapat hukuman lebih ringan. Galileo dijatuhi hukuman tahanan rumah oleh Paus Urban VIII.

Pada 1992 Paus Johanes Paulus II menyatakan secara terbuka hukuman yang dijatuhkan kepada Galileo hasil ‘pemahaman yang salah’. Pernyataan Paus Johanes Paulus II itu kiranya menjadi simbol rehabilitasi nama Galileo.

Cek Artikel:  Arti Kemenangan Erdogan

Gereja Katolik pada masa-masa berikutnya ‘berdamai’ dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi. Paus Leo XIV menjelaskan namanya merujuk pada Paus Leo XIII yang memimpin gereja Katolik pada awal Revolusi Industri ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat.

Itu menyiratkan gereja merespons secara proaktif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Bukan merespons secara reaktif sebagaimana terjadi pada kasus Galileo.

Sebagaimana Katolik, Islam pada suata masa menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bidah. Setidaknya hingga kini Tetap berlangsung pembahasan pengeras Bunyi Tamat media sosial halal atau haram.

Bahkan Tetap Eksis Golongan-Golongan Islam yang enggan menggunakan teknologi modern karena menganggap Penemuan dan kreativitas itu sebagai bidah.

Padahal, sejumlah ilmuwan muslim seperti Mohammed al-Khwarizmi, Ibnu Haytam, dan Ibnu Firnas dikenal sebagai penemu teknologi yang dikembangkan ilmuwan seperti diungkap Michael Hamilton Morgan dalam Naskah Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientist, Thinkers and Artists (2008). Penemuan mereka dikembangkan pada masa-masa berikutnya bahkan hingga kini.

Mohammed al-Khwarizmi, ilmuwan muslim yang hidup di era kekhalifahan Al-Makmun di Bagdad, Irak, pada 832 M, ialah pencipta algoritma yang menjadi otak AI. Teori matematika dan optik Ibnu Haytam, ilmuwan muslim di Irak utara yang hidup di akhir 900-an M, memungkinkan Galileo dan Copernicus memahami Interaksi bumi dan benda planet lainnya.

Cek Artikel:  Bersolidaritas pada Tatar Krimea

Ibnu Firnas, ilmuwan muslim yang hidup di Cordoba, Spanyol, pada 875, ialah peletak dasar teknologi pesawat terbang. Demi berusia 70 tahun, Ibnu Firnas mengadakan percobaan terbang serupa burung dengan peralatan yang dibuatnya, tetapi tak mulus dalam pendaratan sehingga terluka parah. Kelak percobaan nekat Firmas ditiru penemu lain di Barat hingga menjadi pesawat terbang kini.

Penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg memunculkan polarisasi reaksi di kalangan umat beragama. Di satu sisi, tokoh Keyakinan dan umat beragama berpandangan mesin cetak Membikin kitab Kudus Dapat dicetak secara massal dan menjadikan dakwah lebih Segera tersebar.

Di sisi lain, pemuka Keyakinan khawatir kehilangan kontrol atas tafsir kitab Kudus. Penolakan adopsi teknologi kiranya terkait dengan kekhawatiran pemuka Keyakinan kehilangan kuasa atas umat. Dalam kasus Galileo, Keyakinan khawatir kehilangan kontrol atas ilmu pengetahuan.

Hindu dan Buddha kiranya Keyakinan yang mengakomodasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi informasi berkembang Berkualitas di Tiongkok yang Buddha dan India yang Hindu.

 

TUHAN Bukan GAPTEK

Heidi A Campbell melakukan studi kaitan Keyakinan Yahudi, Kristen, dan Islam dan media baru. Dalam Naskah When Religion Meets New Media (2010), Campbell menemukan rentangan respons Keyakinan terhadap teknologi digital mulai memanfaatkan bulat-bulat (open embracement), pemanfaatan Belum pasti (tentative engagement) atau negosiasi (negotiation), hingga penolakan mentah-mentah (direct resistence).

Cek Artikel:  KKN Plus, Ruang Perjumpaan Muhammadiyah-NU

Senada dengan Campbell, studi Beth Singler yang terangkum dalam Naskah Religion and Artificial Intelligence (2025) mengungkap tiga kategori respons Keyakinan terdadap AI, yakni penolakan (rejection), adopsi (adoption), dan adaptasi (adaptation)

Perkembangan teknologi suatu keniscayaan. Pemuka Keyakinan Bukan mungkin mengajak umat menolak mentah-mentah AI. Akan tetapi, pemuka Keyakinan juga tak elok bila mengajak umat mengadopsi bulat-bulat AI.

Pemuka Keyakinan semestinya bermain di Kawasan negosiasi dalam istilah Campbell atau adaptasi dalam terminologi Singler.

Ajaran Keyakinan, moral, etika, ilmu pengetahuan, dan kemanusiaan kiranya menjadi dasar kita beradaptasi atau bernegosiasi dengan AI. Paus Leo XIV dan Paus Franciscus menyerukan negosiasi atau adaptasi berlandaskan ajaran gereja, moral, etika, dan kemanusiaan dalam merespons AI seperti diungkap di awal.

Ketika tokoh Keyakinan Kristen di Indonesia menganjurkan kebaktian daring di masa pandemi covid-19 pada 2020, Keyakinan bernegosiasi atau beradaptasi dengan AI berlandaskan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Ilmu pengetahuan mengatakan covid-19 menyebar dalam kerumunan. Kebaktian daring bertujuan menyelamatkan Mahluk. Kata Pendeta Gomar Gultom ketika itu, “Allah kita bukanlah Allah yang gagap teknologi.”

Mungkin Anda Menyukai