UU Kesehatan, Penerang atau Bumerang

UU Kesehatan, Penerang atau Bumerang?
Iqbal Mochtar, Pengurus PB IDI dan PP IAKMI(Dok Pribadi)

KEMARIN DPR kembali menunjukkan Dominasi super power-nya. Mereka mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan ditengah maraknya gelombang protes. Puluhan organisasi profesi dan organisasi massa, termasuk Muhammadiyah, yang meminta penundaan pengesahan Bukan dipedulikan. Aksi-aksi protes jalanan mereka cuekin.  Bahkan usulan 200-an Professor dari Perhimpunan Guru Besar yang mengusulkan penunda pembahasan Bukan didengarkan. 

DPR sepertinya sudah terlanjur gandrung dengan prinsip ‘tutup mata, tutup telinga’ dan ‘mau-mau gue yang jadi’. Kegandrungan seperti ini sudah sering mereka pertontonkan, termasuk pada UU KPK dan UU Cilaka sebelumnya. Tamat disini, DPR kelihatannya memang lebih senang memasang image dirinya sebagai ‘institusi penguasa undang-undang’ daripada ‘institusi wakil rakyat’. 

Baca juga: Muhammadiyah, Politik Nilai, dan Politik Kekuasaan

    

Pengesahan RUU Kesehatan ditengah maraknya kontroversi setidaknya mengisyaratkan tiga hal. 

Pertama, DPR kalah pamor dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam pembentukan UU ini. DPR seolah tutup mata terhadap Segala gagasan Kemenkes dan menganggap Kemenkes adalah ‘sumber segala sumber pikiran Betul’. Sedemikian dalam feeling ini hingga bahkan hati nurani DPR sendiri pun terkalahkan. 

Cek Artikel:  Korea Selatan Mimpi Enggak baik Jerman

Buktinya, begitu banyak pasal-pasal yang diusulkan oleh DPR pada Ketika awal, Malah dihapus dan dirubah oleh Kementerian Kesehatan. Pada draf awal, DPR mengusulkan mandatory spending 10%, Tetapi Nomor ini dihapus oleh Kementerian Kesehatan. Usulan DPR Buat Membikin satu organisasi profesi yang diakui bagi tiap profesi dihapus oleh Kementerian Kesehatan. 

Pasal pidana terhadap dokter dan tenaga kesehatan yang semula telah diusulkan oleh DPR Malah diperberat oleh Kementerian Kesehatan. DPR Bukan berdaya. Padahal pada Ketika yang sama, terdapat begitu banyak pemikiran alternatif yang muncul dikalangan profesi dan akademik terkait pasal-pasal kontroversial; Tetapi hal ini Bukan didengar DPR. Bagi DPR, Kemenkes adalah ‘sumber segala sumber kebenaran’. 

Baca juga: Kolaborasi Sosok dan AI dalam Meningkatkan Produktivitas Bisnis

Kedua, DPR tersandera kepentingan mendesak Buat segera menggolkan UU ini pada periode ini. Entah apa alasannya. Salah satunya mungkin terkait dengan ‘power opportunist’. Member DPR dan pihak berkepentingan sadar bahwa Ketika ini mereka Mempunyai ‘kekuatan’ menentukan, yang mungkin ‘kekuatan’ itu Bukan Dapat mereka pastikan pada tahun 2024. 

Cek Artikel:  Hamzah Haz Politisi Santun yang Kukuh Pendirian

Mereka ragu kepentingan mereka dan kepentingan lain dibalik UU ini Bukan Dapat direalisasikan periode DPR berikutnya. Dalih ini masuk Intelek. Pasalnya, periode Member DPR Ketika ini memang hanya tersisa beberapa bulan saja. Tujuh bulan Tengah pemilihan Lumrah akan digelar dan sangat terbuka kemungkinan Member DPR Ketika ini Bukan terpilih Tengah pada pemilu 2024. 

Jadi mumpung kewenangan dan kekuasaan Lagi Terdapat Ketika ini, kesempatan ini mesti digunakan. Penanda paling Presisi dari ‘power opportunist’ ini adalah fenomena ketergesa-gesaan. Pembuatan awal hingga pengesahan RUU ini hanya memakan waktu beberapa bulan. 

Bandingkan dengan RUU Perampasan Asset yang sudah tahunan Tetapi Bukan terealisasi. Saking tergesa-gesanya, usulan penundaan saja Bukan dapat diterima. Bayangkan, Buat penundaan saja Bukan Dapat. Artinya, memang Terdapat kepentingan mendesak yang harus direalisasikan. 

Cek Artikel:  111 Pahamn Muhammadiyah dan Etos Kiai Dahlan

Ketiga, DPR dan Kemenkes mungkin merasa senang dengan pengesahan ini dan menganggap tuaian protes dan ketidaksetujuan berbagai pihak akan berakhir dengan pengesahan ini. Seolah-olah pengesahan adalah ‘ending point’ protes masyarakat. Pandangan ini keliru. 

Pengesahan undang-undang di tengah kontroversi ini bahkan akan menimbulkan reluctant compliance Yakni penerimaan secara terpaksa. Reluctant compliance adalah kepatuhan yang dilakukan dengan rasa enggan dan Bukan sepenuh hati. Reluctant compliance ditandai dengan ketidaksetujuan atau kekecewaan yang Lalu melekat yang menyebabkan individu atau Grup mencari Langkah-Langkah Buat melanggar atau mengakali aturan yang Terdapat. 

Ujung-ujung reluctant compliance adalah munculnya Berbagai Ragam protes dan aksi, termasuk pengajuan judicial review, disrupsi sosial, meredupnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, polaritas dan perpecahan serta pengabaian hukum. Bila ini terjadi, alih-alih menjadi penerang, UU Kesehatan ini dapat menjadi bumerang yang membahayakan. 

Mungkin Anda Menyukai