KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengajak para calon pemimpin daerah dan partai politik untuk tidak mengeksploitasi dan melibatkan anak pada setiap aktivitas politik.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Titi Eko Rahayu mengingatkan penyelenggara dan peserta Pemilu agar menciptakan pemilu yang ramah anak.
Baca juga : Anak Perempuan 6 Kali Lipat Lebih Rentan Terkena Kasus Kekerasan Seksual dan Fisik
“Kita Berharap tentunya Pilkada ini akan menjadi pesta demokrasi yang ramah anak. Komitmen untuk menciptakan Pilkada 2024 yang ramah anak sudah menjadi kesepakatan bersama antar lima lembaga antara KPPPA, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan KPAI melalui surat edaran bersama sejak November 2023,” jelasnya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Senin (9/9).
Titi menjelaskan anak-anak berhak untuk bebas dari eksploitasi dan diskriminasi serta didengar suaranya. Dikatakan bahwa terdapat 15 indikator pelanggaran hak anak pada perhelatan pilkada yang harus diperhatikan semua pihak.
“Jangan melibatkan anak dalam kegiatan kampanye, dilarang mengeksploitasi, memanipulasi atau memasukkan identitas anak, menyalahgunakan fasilitas anak, dan melibatkan anak dalam pembuatan foto dan video kampanye, serta tidak melibatkan anak sebagai juru kampanye, dilarang menampilkan anak di atas panggung kampanye,” jelas Titi.
Baca juga : Anak Bertanya tentang Kasus Kekerasan, Menteri PPPA Menjawab
Titi juga menghimbau agar para calon dan penyelenggara Pilkada tidak melibatkan anak untuk memasang atau menggunakan atribut kampanye hingga tidak menjerumuskan anak dalam praktik politik uang.
“Dilarang menjadikan anak sebagai bahan penghinaan bagi suatu kandidat, dan tidak memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci calon peserta yang ada,” imbuhnya.
Sementara itu, Dewan Pembina Perludem dan Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menjelaskan bahwa narasi pemenuhan hak-hak perempuan dan anak sangat minim dalam program-program para calon Gubernur, Walikota hingga Bupati.
Baca juga : Perpres Perlindungan Anak di Ranah Daring dalam Proses Cocokisasi
“Riset Perludem pada pilkada 2015, 2017, 2018, 2020 memperlihatkan bahwa dalam membuat visi, misi, dan program, kurang dari 18% calon yang mengangkat isu perempuan dan anak,” tuturnya.
Selain itu, Titi mengingatkan kepada para calon dan penyelenggara pemilu untuk tidak melakukan menjadikan institusi pendidikan khususnya lingkup sekolah sebagai ajang kampanye politik, menyusul kerentanan anak-anak yang mudah dieksploitasi mulai dari kampanye hingga pelaksanaan pemungutan suara.
“Kampanye hanya boleh di kampus, asalkan caranya tidak boleh pakai atribut kampanye dan harus ada izin dari penanggung jawab perguruan tinggi. Ini sesuai putusan MK nomor 69 tahun 2024 yang membolehkan kampanye di kampus. Bagaimana dengan di sekolah dan pesantren? Bukan boleh karena itu merupakan tindak pidana jika dilanggar,” tuturnya.
Titi mengatakan penting bagi pihak-pihak lembaga terkait yang mengurusi pemenuhan hak dan perlindungan anak untuk mensosialisasikan Undang-Undang Perlindungan Anak kepada lembaga pemilu guna mencegah eksploitasi anak di dalam penyelenggaraan Pilkada.
“KPPPA perlu memastikan melalui KPU untuk memberikan briefing dan pembekalan bagi para pasangan calon kepala daerah terkait visi, misi, dan gagasan yang inklusif dan berperspektif adil dan setara gender serta ramah anak,” ungkapnya.