Kelas Menengah kian Jengah

SAYA terpaksa memohon izin kepada sidang pembaca untuk kembali menuliskan soal kelas menengah. Saya berusaha untuk tidak lelah dan kehabisan bensin mengetikkan larik-larik kalimat ‘peringatan darurat’ bahwa jumlah kelas menengah kita di ambang bahaya.

Segala bermula dari pernyataan Kepala Badan Pusat Tetaptik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, tengah pekan ini. Ia mengungkapkan jumlah penduduk yang tergolong kelas menengah turun drastis dalam lima tahun terakhir, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Maksudnya, ada sekitar 9,48 juta orang yang keluar dari kategori kelas menengah dan turun ke kategori yang lebih rendah.

BPS menganalisis penurunan jumlah kelas menengah itu merupakan salah satu efek jangka panjang (scarring effect) dari pandemi covid-19. Pada 2021, saat pandemi covid-19 mencapai puncaknya, jumlah kelas menengah masih 53,83 juta dengan proporsi 19,82% dari populasi. Tetapi, pada 2024, jumlahnya merosot menjadi 47,85 juta dengan proporsi 17,13%.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?

Repotnya lagi, penurunan itu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang masuk kategori aspiring middle class atau kelompok yang sedang menuju kelas menengah. Mereka itu ialah kelompok yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah. Belum masuk kelas menengah, tapi ‘bertetangga dekat’ dengan kelas rentan miskin. Data BPS menunjukkan, pada 2024, sebanyak 137,5 juta orang atau 49,22% dari total penduduk masuk kategori itu.

Cek Artikel:  Absahabat Pengadilan

Tetapi, data juga menunjukkan banyak dari penduduk kelas menengah saat ini berada di ambang batas bawah kelompok mereka, dengan pengeluaran rata-rata sekitar Rp2,04 juta per kapita per bulan. Inilah kelompok rentan yang kalau nanti terganggu, dia masuk kembali ke aspiring middle class.

BPS menggunakan kriteria Bank Dunia untuk menentukan kelas menengah, yaitu mereka yang memiliki pengeluaran 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan. Sementara itu, aspiring middle class memiliki pengeluaran 1,5 hingga 3,5 kali garis kemiskinan. Data itu menunjukkan penurunan yang amat signifikan pada jumlah kelas menengah, yang awalnya 57,33 juta orang (21,45%) pada 2019 menjadi hanya 47,85 juta orang (17,13%) pada 2024. Sebaliknya, kelompok aspiring middle class meningkat dari 128,85 juta orang pada 2019 menjadi 137,5 juta orang pada 2024.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Data lain memperlihatkan kriteria pengelompokan kelas berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan. Buat 2024, mereka yang tergolong kelas menengah memiliki pengeluaran Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta, sedangkan aspiring middle class berada di antara Rp874.398 dan Rp2,04 juta per kapita per bulan. Kriteria itu menunjukkan banyak orang di kelas menengah berada dalam posisi yang rentan dan berpotensi turun ke kelompok yang lebih rendah jika terjadi guncangan ekonomi.

Cek Artikel:  Profesor Autentik

Apalagi, ada data yang menegaskan kelas menengah di Indonesia sebagian besar bekerja di sektor jasa (57%), diikuti sektor industri (22,98%) dan pertanian (19,97%). Potret semacam itu menunjukkan kian menyempitnya ruang pekerjaan formal di kalangan masyarakat, sekaligus kian penuh sesaknya jenis pekerjaan informal di kalangan masyarakat.

Perubahan dalam pola pengeluaran kelas menengah juga menjadi sorotan, akhir-akhir ini. Dalam 10 tahun terakhir, terjadi pergeseran prioritas pengeluaran kelas menengah. Dulu, sekitar 45,53% pengeluaran kelas menengah ditujukan untuk makanan dan minuman, tetapi sekarang angkanya turun menjadi 41,67%. Sementara itu, pengeluaran untuk perumahan juga mengalami penurunan dari lebih dari 32% menjadi sekitar 28,5%.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Sebaliknya, ada peningkatan pengeluaran untuk barang dan jasa lainnya, termasuk kebutuhan pesta yang naik dari 0,75% menjadi 3,18%, serta hiburan yang mulai menebal menjadi 0,38%. Secara umum, prioritas pengeluaran kelas menengah saat ini ialah makanan, perumahan, dan barang jasa lainnya.

Cek Artikel:  Kekalahan ini seperti Tato

Alarm yang terus menyala dan menyalak seperti itu mestinya pantang dianggap remeh. Masalah kelas menengah yang sudah seperti sandwich, alias serbaterjepit, itu mestinya segera dicarikan jalan keluar.

Bukan patut saat situasi seperti itu, para pemegang kebijakan masih saja berlindung di balik data: buktinya pertumbuhan ekonomi masih baik-baik saja. Orang ramai pun bebas bertanya, “Bagus-baik saja apanya?”

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Para kelas menengah kiranya tidak mau disuguhi sirkus atau akrobat analisis data yang dipotret setengah-setengah. Mereka butuh solusi agar yang jatuh tidak semakin jatuh. Bagaimanapun, mereka penggerak penting ekonomi. Bila ‘ban ekonomi’ kaum menengah terseok-seok, atau malah patah as, ekonomi akan berhenti.

Saya lalu teringat penggalan lirik lagu God Bless yang diberi judul Balada Sejuta Raut. Penggalan lagu ciptaan Ian Antono yang liriknya digubah Theodore KS itu memotret tentang gelisah kelas menengah:

Mengapa semua berkejaran dalam bising

Mengapa oh mengapa

Sejuta wajah engkau libatkan

Dalam himpitan kegelisahan

Terdapatkah hari esok makmur sentosa

Bagi wajah-wajah yang menghiba’.

Mungkin Anda Menyukai