Kehadiran Pelabuhan Patimban belum Pandai Tekan Biaya Logistik

Kehadiran Pelabuhan Patimban belum Mampu Tekan Biaya Logistik
Kapal Cargo bersandar di Pelabuhan Patimban, Subang, Jawa Barat(MI/AGUNG WIBOWO)

KONDISI Pelabuhan Patimban sampai dengan saat ini dinilai masih belum mampu mendorong tercapainya penurunan biaya logistik untuk Indonesia atau khususnya wilayah sekitar pelabuhan tersebut.

Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono menilai pernyataan pemerintah tentang Pelabuhan Patimban akan menjadi bagian penting dari upaya penurunan biaya logistik, sampai dengan saat ini belum terefleksi.

“Patimban itu lokasinya kurang layak untuk dijadikan pelabuhan laut. Karena Pelabuhan Patimban itu berada di wilayah muara Sungai Cipunagara,” kata dia melalui keterangannya, Selasa (15/10). 

Sungai itu disebut sebagai salah satu sungai besar di wilayah Jawa Barat lantaran memiliki panjang 147 kilometer dan melewati beberapa kota. Karenanya, kata Bambang, dapat dipastikan endapan yang masuk ke perairan Patimban akan banyak, baik itu lumpur maupun sampah. 

“Dan ini jumlahnya besar. Apalagi masih ada beberapa muara sungai kecil yang juga membawa dampak endapan pendangkalan. Sehingga akan cepat terjadi sedimentasi di perairan pelabuhan tersebut,” lanjut Bambang. 

Kecepatan proses sedimentasi itu, lanjutnya, sangat berpengaruh pada kinerja pelabuhan, karena target Pelabuhan Patimban adalah pelabuhan internasional yang mampu menampung 7 juta teus per tahun. Definisinya, apabila dihitung harian, akan ada 21 kapal dengan kapasitas 1.000 teus atau kapasitas pelabuhannya adalah 21 ribu teus per hari. 

Cek Artikel:  OJK Optimistis Penurunan Tumbuh The Fed Positif Bagi Pasar Modal Domestik

“Sedangkan kapal kapasitas 1.000 teus itu, butuh kedalaman di atas 10 meter. Sementara, dengan laju endapan yang terjadi saat ini, menyebabkan kedalaman perairan di sekitar dermaga tinggal 7 meter saja. Demi itu, perlu pengerukan, yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi pengelola pelabuhan. Ini biasanya akan dibebankan kepada konsumen pelayaran,” jelas Bambang. 

Terdapatpun pemerintah menargetkan 21 ribu teus per hari. Itu berarti, kata Bambang, panjang dermaga yang dibutuhkan adalah sekitar 4 kilometer karena panjang kapal 1.000 teus adalah sekitar 200 meter per kapal. Sedangkan panjang dermaga Pelabuhan Patimban itu tidak lebih dari 800 meter.

“Pertanyaannya, bagaimana bisa menampung 21 ribu teus per hari, untuk target 7 juta teus per tahunnya,” tutur Bambang.

Dalih kedua ialah Pelabuhan Patimban memiliki jarak cukup jauh dari pusat industri yang ada di Karawang, Bekasi, dan Tangerang. Ialah sekitar 124 kilometer untuk Bekasi dan Karawang dan 171 kilometer untuk Tangerang. Jarak tempuh dengan mobil biasa itu sekitar 3-4 jam dan jika menggunakan truk bakal memakan waktu lebih lama dan ongkos logistik yang lebih mahal. 

Cek Artikel:  Habiskan Rp200 Miliar Lebih, Gedung SMK-SMAK Bogor akan Jadi Role Model Sekolah Vokasi Nasional

Begitu ini hampir 100 persen logistik hasil industri yang ada di Karawang, Bekasi dan Tangerang, tetap memilih melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Kecuali hasil produksi mobil, hanya sebagian kecil yang melalui Pelabuhan Patimban. 

“Logistik untuk kontainer masih belum ada sama sekali yang berlabuh di Patimban. Bahkan sampai saat ini, jumlah kapal yang hadir di pelabuhan tersebut hanya 30 kapal setiap bulannya. Dimana 70% adalah kapal proyek pembangunan Pelabuhan Patimban. Jadi, bisa dikatakan produktivitas Pelabuhan Patimban hampir mendekati 0%,” jelas Bambang 

Atas dasar itu, dia menegaskan Pelabuhan Patimban belum bisa dikatakan sebagai pelabuhan Hub untuk menggantikan Pelabuhan Tanjung Priok. Apalagi jika perbandingannya, Pelabuhan Tanjung Priok mempunyai kapasitas 10-12 juta teus per tahun, dengan realisasi 6.4 juta teus.

“Pelabuhan Tanjung Priok itu memiliki angka pertumbuhan sekitar 5 persen per tahunnya. Yang artinya, Pelabuhan Tanjung Priok masih mempunyai kemampuan menampung kontainer sampai dengan 20 tahun kedepan,” tutur Bambang. 

Sedangkan Pelabuhan Patimban yang sudah diresmikan Presiden Jokowi pada 20 Desember 2020, sampai saat ini masih belum mencatatkan satu kapal kontainer pun yang melakukan bongkar muat di Pelabuhan Patimban tersebut. Padahal target penyelesaian pelabuhan tersebut secara total adalah sampai tahun 2025, dengan target produktivitas kontainer sebesar 7,5 juta teus.

Cek Artikel:  Langkah Kementan Menjaga Konsistenitas Pasokan dan Harga Ayam Tingkat Peternak

Karenanya, menurut Bambang, perlu adanya kajian yang melibatkan pelaku usaha di pelayaran, dan pelaku usaha industri. “Sebaiknya arus transportasi laut tidak boleh terhambat pipa migas,” tuturnya.

“Sesuai dengan aturan internasional dari Aturan Biro Laut Kekuatan dan Management dan di adopsi dalam Undang Undang Pelayaran no. 17 Pahamn 2008,  pipa migas wajib ditanam 5 meter di bawah Sea Bed (Dasar Laut yang Paling Keras). Sehingga tidak boleh mengganggu dan terganggu transportasi laut,” tambah Bambang. 

Secara jarak pun, menurut dua, Cilamaya lebih dekat dan lebih terintegrasi dengan kawasan industri yang ada di Karawang dan Bekasi, dibandingkan Patimban. Sehingga ongkos logistik di Pelabuhan Cilamaya menjadi jauh lebih murah daripada ongkos logistik bila menuju ke Pelabuhan Patimban.

“Asa saya, di masa depan, jika pemerintah ingin membangun pelabuhan, harus mempertimbangkan jarak dari wilayah industri, perdagangan, dan pusat keramaian kota. Jangan membangun tanpa memperhitungkan aspek ekonomisnya,” pungkas Bambang. (Mir/M-4)

Mungkin Anda Menyukai