GONG kompetisi mendulang suara dalam Pemilu 2024 telah ditabuh. Mulai hari ini sampai dengan 10 Februari, para peserta pemilu dipersilakan berkampanye untuk menjual gagasan dan komitmen kepada rakyat.
Selama 75 hari, peserta pemilu diberi kesempatan untuk menarik simpati pemilih dengan cara-cara yang dibenarkan aturan-aturan pemilu. Mereka bisa memakai berbagai macam saluran, seperti penggunaan alat peraga dan memanfaatkan forum terbuka dengan pengerahan massa sebagai peserta kampanye.
Melalui kegiatan kampanye, peserta pemilu sekaligus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat demi memaksimalkan partisipasi pemilih. Semakin besar jumlah pemilih yang mengikuti pemungutan suara, semakin besar pula andil rakyat dalam menentukan arah masa depan bangsa melalui pemilihan kepala negara dan wakil rakyat. Di situlah letak makna kedaulatan berada di tangan rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi, kuantitas saja tidak cukup. Pemilu juga harus berkualitas yang berarti bebas dari kecurangan, tidak direcoki inkompetensi penyelenggara pemilu, dan diikuti peserta pemilu yang menjunjung etika. Demi pemilu yang berkualitas, asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil mutlak ditegakkan.
Sia-sia saja 100% pemilih menunaikan hak mereka bila suara mereka merupakan hasil transaksi politik uang. Kedaulatan rakyat menjadi semu ketika mereka memilih bukan berdasarkan nurani, melainkan karena tekanan pihak-pihak tertentu.
Hasil pemilu pun akan jauh dari berkualitas apabila kompetisi berlangsung dengan wasit yang berat sebelah. Komisi Pemilihan Standar (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), beserta jajaran kedua lembaga di daerah ibarat wasit pemilu yang menjadi tumpuan. Lembaga-lembaga tersebut wajib menjunjung perlakuan yang adil dan setara, bukan tunduk pada sabda penguasa ataupun para calo kuasa.
Kampanye hari pertama mesti dimulai dari ikhtiar mewujudkan proses pemilu berkualitas yang melibatkan semua pihak. Di jajaran pemerintah yang menjadi pihak penyedia anggaran dan pengamanan pemilu ada Polri, TNI, para menteri dan pejabat, serta segenap aparat sipil negara (ASN). Mereka harus mampu memberi teladan netralitas, tidak condong pada peserta pemilu mana pun.
Di kelompok peserta pemilu ada partai-partai politik, para calon anggota legislatif, calon anggota DPD, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, sampai tim kampanye pemenangan. Mereka dituntut bertanding secara sehat dan menjauhi kecurangan.
Tentu ada pula peserta pemilu yang rawan memiliki konflik kepentingan di saat mereka juga tengah duduk di pemerintahan. Tetapi, aturan sudah jelas. Bagi caleg harus mundur dari jabatan di pemerintahan, sedangkan para menteri dan pejabat non-ASN wajib cuti untuk bisa berkampanye. Tujuannya agar tidak menggunakan fasilitas negara.
Jangan kemudian tanpa malu menggunakan fasilitas yang melekat pada diri mereka sebagai pejabat negara untuk kepentingan elektoral pribadi ataupun yang didukung.
Dalam isi kampanye juga ada aturan dan etika. Kita berharap para peserta pemilu dan tim kampanye masing-masing lebih mengedepankan gagasan untuk kemajuan bangsa ketimbang berupaya menjatuhkan lawan dengan jalan kampanye hitam.
Kampanye negatif sah-sah saja, bahkan bisa membangun tradisi daya kritis. Meski begitu, kritik pun perlu disampaikan secara elegan dengan memberedeli substansi gagasan tanpa menyerang personal hingga menjurus pada kampanye hitam.
Pada hari pertama kampanye ini, kita ingatkan kembali kepada semua pihak, termasuk masyarakat, untuk aktif bersama-sama mewujudkan pemilu yang berkualitas dan bermartabat. Jangan kotori kontestasi demokrasi dengan keculasan, kecurangan, apalagi narasi menjatuhkan lewat kampanye hitam. ***