
BARU-BARU ini seorang pemimpin Religi senior Papua mengatakan kepada saya, “Orang Papua tenggelam dalam politik sesaat.” Ungkapan itu terlontar ketika kami sedang mencermati hasil keputusan para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG), yang baru-baru ini menolak permintaan keanggotaan penuh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Keputusan MSG menciptakan kekecewaan besar para pemimpin ULMWP dan pendukungnya, yang menantikan negara-negara Melanesia mengakui eksistensi politik ULMWP di kawasan Pasifik dan memperhatikan isu West Papua.
Menjelang KTT Pemimpin MSG ke-22 yang digelar pada 23-24 Agustus Lampau di Port Vila, Vanuatu, berbagai elemen masyarakat Papua mengadakan unjuk rasa meriah Demi mendesak MSG agar mengabulkan permohonan ULMWP menjadi Member penuh. Eksis pula dari mereka yang mengikuti pergelaran-pergelaran seni budaya di Port Vila Demi mendukung perjuangan Papua. Kini, Cita-cita mereka buntu dan menjelma menjadi kekecewaan.
ULMWP dan tantangan Pasifik
Bagi sebagian orang, menjadikan ULMWP sebagai Member penuh MSG akan mempercepat kemerdekaan Papua. Keanggotaan penuh MSG itu dibingkai sebagai pintu pemisahan Papua, melalui sebuah narasi yang secara luas berada pada paradigma eksepsionalisme, yakni status orang Asli Papua sebagai korban, dan ingatan penderitaan Papua dalam sejarah. Paradigma itu mengibaratkan konsep ‘merdeka’ seperti anak panah Aneh yang akan diluncurkan MSG. Apalagi ketika ULMWP mendapat status observer pada 2015.
Lembaga MSG berdiri pada 1986 dan merupakan kumpulan negara-negara Pasifik dengan kepemimpinan bergilir empat negara Member Esensial, yakni Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan gerakan pembebasan Kaledonia Baru (Front Pembebasan Nasional Kanak dan Sosialis–FLNKS). Keanggotaan MSG Mempunyai agregat populasi Sekeliling 9 juta orang–tersebar di Area kepulauan seluas 585.560 kilometer persegi. Lembaga MSG berfokus pada pertumbuhan ekonomi, perdagangan, dan kerja sama antaranggota dalam semangat solidaritas Melanesia.
Pendekatan para pemimpin MSG atas Indonesia cenderung seputar ketakutan Indonesia atas gerakan pemisahan Papua. Kelihatan sekali pendekatan itu menggunakan Panduan yang sama seperti digunakan terhadap Tiongkok, Australia, Jepang, dan Amerika Perkumpulan.
Pendekatan MSG itu menyedot perhatian Indonesia karena dukungan mereka atas perjuangan kemerdekaan Papua, yang oleh para anggotanya dinilai sebagai seruan solidaritas kekerabatan Melanesia. Di lain sisi, Member MSG menunjukkan mereka dapat memperoleh Sokongan dan kerja sama Indonesia lewat diplomasi.
MSG ialah Lembaga negara-negara Pasifik Demi memperkuat pengaruh dan kekuatan politik mereka, termasuk daya tawar dalam mengejar kepentingan strategis jangka panjang, termasuk ekonomi, Sokongan pembangunan, akses perdagangan, mengatasi Akibat perubahan iklim, dan peningkatan kerja sama keamanan.
Area Melanesia di Pasifik kini menjadi titik panas geopolitik yang diperebutkan Amerika Perkumpulan (AS), Australia, Jepang, dan Tiongkok. Pada Mei tahun ini, AS dan Papua Nugini telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan, yang oleh banyak orang dianggap sebagai balasan langsung atas pakta pertahanan rahasia antara Tiongkok dan Kepulauan Solomons di tahun Lampau.
Dengan Pintar negara-negara Pasifik tersebut ‘berselancar’ di atas gelombang ombak besar negara-negara adidaya. Mereka berhasil meraih pelatihan dan Sokongan militer serta dukungan pembangunan, belum Kembali peningkatan kekuatan diplomatiknya di kawasan. Perkembangan ini Lagi akan berlanjut secara menarik pada tahun-tahun mendatang.
Diplomasi Indonesia
Sebagai reaksi atas pemberian status observer bagi ULMWP, pemerintah Indonesia melobi Member MSG dan berhasil mendapatkan status associated member dari MSG. Itu pun setelah Indonesia berulang kali menyatakan bahwa Sekeliling 11 juta orang keturunan Melanesia tersebar di Area-Area Indonesia. Mulai Tanah Papua, Maluku, Maluku Utara, Tamat Nusa Tenggara Timur. Luasnya pun Tak main-main. Papua saja Mempunyai luas Sekeliling 420 ribu kilometer persegi dengan kandungan cadangan emas dan tembaga yang terkaya di muka bumi.
Bahkan, baru-baru ini Indonesia terjun menceburkan diri ke dalam lubang diplomatik MSG melalui tawaran-tawaran Sokongan. Termasuk, renovasi bandara Esensial Vanuatu dan keterlibatan strategis Indonesia dan Papua Nugini dalam agenda pembangunan, perjanjian perdagangan preferensial, Rekanan bisnis, dan janji Demi mengundang perwakilan Pasifik ke Lembaga KTT Asia Timur.
Bagi Kementerian Luar Negeri Indonesia, keputusan MSG ialah hasil diplomasi efektif yang dirancang Demi menyekat upaya-upaya ULMWP dalam mengangkat diplomatic standing dan strategi mereka Demi menjadikan Lembaga MSG sebagai platform penggalangan dukungan regional, bagi pemisahan West Papua Sembari mengangkat pelanggaran hak-hak asasi Sosok oleh pemerintah Indonesia.
Apalagi mengingat pelanggaran hak asasi Sosok yang Maju berlanjut. Baru-baru ini, sebuah organisasi bernama Human Rights Monitor merilis laporan situasi hak asasi Sosok di Papua. Mereka menilai negara Lagi belum Bisa menemukan solusi yang Berkualitas dalam mengatasi konflik di Papua, dan tetap menerapkan penggunaan kekuatan yang Tak perlu. Laporan mereka perlu ditindaklanjuti dengan Pengusutan yang independen. Pemimpin negara harus menjamin proses dan hasilnya demi menegakkan akuntabilitas dan mencegah berulangnya kekerasan bersenjata di Papua.
Amnesty International mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum terjadi sejak 2018 hingga 2022 yang menewaskan setidaknya 179 Kaum sipil. Pelakunya ialah aparat TNI, Polri, petugas penjara, dan kekuatan prokemerdekaan bersenjata. Dari jumlah kasus itu, sebanyak 24 kasus pembunuhan di luar hukum berakibat tewasnya 35 Member TNI. Sebanyak 8 kasus menewaskan 9 Member Polri dan sebanyak 17 kasus menewaskan 23 Member Golongan prokemerdekaan Papua.
Kembali pada soal diplomasi Indonesia dan gerakan ULMWP, kedua pihak tersebut sayangnya sama-sama terlibat dalam ‘politik sesaat’. Seandainya dalam KTT MSG kemarin atau suatu hari nanti mengabulkan permintaan ULMWP Demi menjadi Member MSG, hal itu Tak berarti akan Eksis perubahan besar Demi masa depan politik Papua seketika, ataupun mengatasi tantangan ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, ketakutan atas asimilasi, dan pelanggaran hak asasi Sosok. Seluruh masalah itu telah berkelindan dalam konflik-konflik yang berlapis di Papua, Berkualitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun antara pemerintah pusat dan Golongan prokemerdekaan Papua.
Titik antiklimaks
Dari sudut pandang gerakan mendapatkan pengakuan dan kedudukan diplomatik lebih besar bagi Papua, pertemuan MSG itu menjadi antiklimaks. Hasil utamanya ialah deklarasi perubahan iklim Dunia, perlindungan ekosistem laut, dan keberatan keras atas pembuangan air bekas olahan nuklir Fukushima ke Samudra Pasifik, sedangkan permohonan ULMWP Demi menjadi Member penuh MSG ditolak dengan berbagai Argumen. Termasuk, Tak memenuhi kriteria yang Eksis, di antaranya ialah keanggotaan MSG hanya Demi negara berdaulat dengan suatu perkecualian Demi gerakan pembebasan Kaledonia Baru.
Komunike diplomatik MSG juga menyentuh seruan para pemimpin MSG perihal pentingnya kunjungan Komisioner Tinggi Hak Asasi Sosok PBB ke Papua, dan perlunya dialog ataupun konsultasi antara Indonesia, MSG, dan Papua “tentang masalah-masalah sosial, pembangunan ekonomi, dan pemberdayaan rakyat Papua Barat.”
Dalam perspektif hak asasi Sosok, seruan Demi mendorong kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke Papua bukan hanya Krusial, melainkan juga akan menentukan bagaimana pandangan komunitas diplomatik atas situasi di Papua. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat setidaknya tiga pelapor Spesifik PBB yang menyampaikan komunikasi tentang pelanggaran hak-hak orang Asli Papua, pembunuhan di luar hukum, juga masalah pengungsian internal yang terjadi di sejumlah Area pegunungan Papua. Pertanyaannya apakah pemerintah Indonesia pada akhirnya mau mendorong terwujudnya kunjungan tersebut.
Pemimpin MSG seperti Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, membenarkan bahwa permasalahan West Papua akan dirujuk ke Lembaga Kepulauan Pasifik dan menyatakan perlunya kunjungan ke Jakarta dan Paris “Demi mengangkat isu-isu tentang kedaulatan dan hak asasi Sosok”. Apa yang terjadi dengan keputusan penolakan ULMWP dari pertemuan pemimpin MSG itu sebenarnya Lagi akan Maju menyediakan ruang perebutan dan pertarungan antara pemerintah Indonesia dan gerakan-gerakan prokemerdekaan di Papua.
Terasa kentara sekali negara-negara Melanesia di Pasifik sedang menikmati momen mereka dalam sorotan geopolitik. Mereka Tak melewatkan kesempatan apa pun Demi mengejar kepentingan nasionalnya, dengan memperoleh subsidi-subsidi pembangunan dan keamanan dengan memanfaatkan persaingan geostrategis antara negara-negara besar di Pasifik ataupun mengeksploitasi isu-isu sensitif yang dihadapi negara-negara seperti Indonesia.
Perlunya pergeseran paradigma
Indonesia perlu mencontoh negara-negara Pasifik dan beradaptasi segera. Meskipun sekarang berada di atas angin, diplomasi Indonesia Lagi terlihat sangat reaktif dan kurang berwawasan luas ataupun jangka panjang.
Pemerintah Indonesia harus berpikir hati-hati mengenai pelibatan Pasifik, atau lebih tepatnya bagaimana negara-negara Pasifik melibatkan Indonesia. Indonesia Mempunyai aset sangat besar, Adalah Sekeliling 5,5 juta orang di kawasan Pasifik dengan keluasan 420 ribu kilometer persegi, yakni keenam provinsi di Papua. Kini Indonesia mesti menggeser paradigma, dengan Menonton Papua sebagai gerbang atau jendela menuju Pasifik, bukan titik Tewas atau tong sampah masalah.
Demi menggeser paradigma, Indonesia perlu menunjukkan inisiatif dan keberanian. Pertama, masyarakat adat Papua layak mendapatkan rasa hormat yang jauh lebih besar. Indonesia perlu membuka dialog dengan para pemimpin Papua, guna membahas bagaimana mereka dapat ikut berperan efektif dalam memerintah rakyat dan mengelola kekayaan alam.
Kedua, pergeseran paradigma ini harus melibatkan transformasi dalam Metode pandang lembaga-lembaga keamanan dan pertahanan Indonesia atas Papua. Papua dan masyarakatnya harus dilihat sebagai bagian berharga dari proyek nasional Indonesia, bukan sebagai sumber ancaman. Ketiga, Papua perlu dibuka Demi pariwisata, pertukaran budaya, jaringan, dan perdagangan yang adil (fair trade). Ini Seluruh mensyaratkan pemerintah Indonesia mau secara radikal membuka Papua sebagai jendelanya ke Pasifik.
Tanpa perubahan paradigma itu, keadaan ini sangat Tak menguntungkan Indonesia dan Tak juga menguntungkan Papua. Daripada Papua menjadi sumber rasa malu Indonesia, dan hal itu disadari oleh negara-negara Pasifik–sudah tiba saatnya bagi para tokoh pemimpin Indonesia ataupun Papua, Demi bekerja sama guna mengakhiri kekerasan, mengupayakan penyelesaian damai di Papua, dan mengubah Area paling timur Indonesia menjadi jendela menuju Pasifik.
Secara lebih konkret, para tokoh itu Bisa meliputi mereka yang Mempunyai integritas moral tinggi dan Tak berpihak dalam konflik Papua. Bisa saja mereka berkumpul atau dikumpulkan dalam sebuah Eminent Persons Group yang fungsinya menyerukan para pihak yang berkonflik Demi menjajaki proses dialog yang inklusif dan merumuskan paradigma baru dalam Menonton Papua ke depan, terutama dalam bingkai pasifik.
Pendekatan paradigmatik Bisa saja dimulai dengan mengembangkan gagasan Bung Karno dan Mohammad Hatta. Mereka memakai paradigma pembebasan rakyat Papua (dulu Irian Barat) dalam melawan kolonial Belanda. Pada awal 1960-an, Soekarno mengatakan, “Irian Barat harus merdeka, bebas masuk ke dalam Area kekuasaan Republik sebelum ayam jantan berkokok pada Copot 1 Januari 1963.” Pesan ini Jernih mendukung kemerdekaan Papua.
Pesan akhir kalimat itu memang membenarkan integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia. Tetapi, itu dilakukan dengan kehendak bebas, bukan pendekatan memaksa, sebagaimana terjadi di masa-masa sesudahnya terutama sejak rezim Soeharto. Pengerahan militer Begitu ini pun bukan Kembali dalam semangat melawan kekuatan musuh asing, melainkan juga kekuatan musuh dalam negeri.
Di titik inilah kita perlu merujuk pandangan Hatta. Begitu persiapan kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan Begitu memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), ia tetap meyakini bangsa Papua berhak Demi menentukan kemerdekaannya sebagai bangsa. Hatta menolak pandangan mayoritas tokoh kemerdekaan yang Mau memasukkan Papua ke Indonesia Begitu itu juga, termasuk dalam KMB. Selain menegaskan bahwa Papua ialah bangsa Melanesia, Hatta juga menegaskan pentingnya memberikan teladan bagi generasi muda tentang semangat melawan imperialisme dan kolonialisme.
Barangkali dengan pergeseran paradigma dalam Menonton Papua sebagai jendela Pasifik tersebut, pemerintah Indonesia dan gerakan kemerdekaan Papua dapat mendorong penyelesaian damai atas konflik Papua serta hidup berdampingan di masa depan.