Islam, Pemilu, dan Trilema Demokrasi

Islam, Pemilu,  dan Trilema Demokrasi
(Ilustrasi)

GENDERANG pesta demokrasi Pemilu 2024 mulai ditabuh. Tiga bakal calon presiden yang diusung partai politik menjadi pertaruhan kualitas demokrasi kita. Sejauh mana demokrasi diterapkan, seperti itulah gambaran Paras Indonesia ke depan.

Tetapi, sebagian kalangan Tetap meragukan sistem demokrasi. Salah satunya gagasan pendirian khilafah yang getol disuarakan para penganjurnya. Padahal, Islam Enggak menentukan tata Metode yang baku sistem pemilihan pemimpin, apakah istikhlaf, baiat, atau ahlul halli wal aqdi.

 

Demokrasi Pancasila

Dimensi ontologis dalam filsafat memotret demokrasi Pancasila sebagai sistem yang mengandung senyawa keislaman. Asas-asas Krusial dalam demokrasi menjadi kekuatan sentripetal bagi struktur organik negara karena di dalamnya lekat dengan prinsip-prinsip dasar Islam, antara lain musyawarah (as-syura), egalitarianisme (al-musawah), keadilan (al-‘adalah), kepercayaan (al-amanah), tanggung jawab (al-masuliyyah), dan kebebasan (al-hurriyyah). Sejarah kenabian mencatat Nabi Muhammad mengeksplanasikan prinsip demokrasi dalam mengambil keputusan dengan menjunjung tinggi asas permusyawaratan.

Menurut teori al-maqasid al-syariah yang dicetuskan Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya, Al-Muawafaqat fi Ushul al-Ahkam, demokrasi Pancasila sejalan dengan prinsip keislaman. Aturan-aturan yang ditetapkan semata-mata Buat kemaslahatan Orang.

Kemaslahatan menurut Asy-Syathibi dibagi tiga bagian Krusial, Yakni dharuriyyat (Esensial), hajiyyat (sekunder), dan tahsinat (tersier, lux). Maqashid atau maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti terpenuhi demi terwujudnnya kemaslahatan Keyakinan dan dunia. Apabila unsur tersebut nihil, akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan. Maslahat atau maqashid dharuriyyat oleh Asy-Syathibi dibagi menjadi lima, Yakni Keyakinan (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal), dan Pikiran (al-aql).

Cek Artikel:  Zakat bukan Transaksi Komersial Kritik Atas Komodifikasi Filantropi Islam Penguatan Baznas

 

Menjaga lima pokok

Demokrasi Pancasila hakikatnya Buat menjaga lima hal pokok. Pertama, menjaga Keyakinan (hifdz ad-din). Dalam demokrasi Pancasila, Keyakinan sangat dijaga dengan memberikan jaminan kebebasan dalam menganut dan menjalankan ibadah menurut Keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Hal ini terekam dalam sila pertama Pancasila Yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Segala rukun Islam juga diakomodasi oleh negara, mulai dari identitas keislaman, salat, puasa, zakat, dan haji.

Kedua, menjaga jiwa (hifdz an-nafs). Demokrasi Pancasila sangat menghargai jiwa melalui prinsip menjaga persatuan, persamaan/kesejajaran, keadilan, agar Enggak terjadi pertumpahan darah di antara sesama Penduduk bangsa karena adanya disintegrasi, ketidakadilan, dan diskriminasi.

Ketiga, menjaga Pikiran (hifdz al-aql). Demokrasi Pancasila sangat menghargai kelestarian Pikiran dengan membuka keran kebebasan berpendapat sepanjang hal itu dilakukan dengan Metode yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan hak mengenyam pendidikan Buat memperoleh pengetahuan, serta regulasi tentang pendidikan yang disusun berdasarkan visi pendidikan nasional yakni menciptakan insan yang beriman dan bertakwa.

Cek Artikel:  Cerminan Kebijakan Pendidikan Dasar Penghapusan Calistung dan Implementasi Jalur Domisili di PPDB

Keempat, menjaga keturunan (hifdz an-nasl). Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi sistem nasab melalui Undang-Undang Perkawinan dan bertanggung jawab melakukan pencatatan perkawinan, Kelahiran, dan Mortalitas sehingga Orang Indonesia Mempunyai nasab yang Terang.

Selain itu, memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh Penduduk secara setara sehingga keturunan Mempunyai tumbuh kembang yang berkualitas.

Kelima, menjaga harta (hifdz al-mal). Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Aset-aset negara dipelihara sebagai sebuah kedaulatan dan Enggak dijual kepada pihak asing sehingga bumi, air, dan kekayaan alam dipelihara Buat kemakmuran rakyat.

 

Trilema

Problemnya ialah pada tataran implementasi demokrasi Pancasila Tetap mengandung trilema. Hingga Begitu ini, prasyarat demokrasi belum sepenuhnya menjunjung prinsip equality, menghargai aturan main, bertoleransi terhadap perbedaan, kelas menengah yang kuat ekonominya, pembuat aturan yang kompeten.

Sebagai Teladan, syarat Buat menjadi Personil DPR dan termasuk menjadi pemimpin negara disyaratkan minimal lulusan SMA atau sederajat. Syarat minimal Tahap pendidikan tersebut problematik karena Swasta juga Dapat jadi Personil DPR dengan menggunakan ijazah Paket A, Paket B, dan Paket C. Padahal mereka kelak diberikan kepercayaan Membangun aturan main. Apabila aturan yang dibuat itu berkualitas rendah, bagaimana mungkin dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Selain itu, praktik voting selama ini mengandung masalah karena Enggak berangkat dari spirit Pancasila, yakni hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Apabila para pendiri negara melakukan voting didahului dengan salat istikarah Lampau menjatuhkan pilihan, sekarang voting didahului dengan makan di restoran, melakukan lobi politik, Lampau menjatuhkan pilihan sehingga keributan yang terjadi di Senayan hanyalah ancaman Buat lobi politik.

Cek Artikel:  Memilih Sekolah untuk Anak

Trilema demokrasi berikutnya ialah Enggak selamanya proses pemilu yang Bagus dan legitimate Dapat menghasilkan output yang Bagus pula. Inilah problem substansial demokrasi. Bukan semata karena sistem atau output-nya yang Jelek, tapi juga karena kualitas masyarakatnya yang Jelek. Apabila masyarakat Tetap bermental Jelek dengan menerima serangan fajar, menerima beras sehari tapi kelaparan selama lima tahun, maka kualitas pemimpin yang dihasilkan dalam proses demokrasi juga akan Jelek.

Dari sini terkenal ungkapan Kama takunu yuwalla ‘alaikum, yang artinya sebagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan pemimpin atas kalian. Jadi, pemimpin adalah miniatur kualitas kolektif masyarakat. Apabila Mau memperoleh pemimpin yang Bagus, perbaiki terlebih dahulu kualitas masyarakatnya sehingga kualitas pemimpin yang dihasilkan juga Bagus. Undang-undang atau keputusan yang diambil pun berkualitas Bagus.

Dengan kata lain, sebagaimana Lawrence Friedman ungkapkan dalam teori trigatranya, Buat menuju Penyelenggaraan demokrasi Pancasila yang matang maka struktur, substansi, dan budaya hukum harus diperbaiki.

Mungkin Anda Menyukai