Inkonstitusionalitas Perppu Cipta Kerja

Inkonstitusionalitas Perppu Cipta Kerja
Ilustrasi MI(MI/Duta)

MEMIKIRKAN konstitusionalitas, dalam bahasa KC Wheare, setidaknya bisa didedahkan menjadi tiga sebagaimana tiga konsep bentuk konstitusi. Pertama, konstitusi kebiasaan (constitutional convention). Kedua, konstitusi tertulis (formal constitution), dan ketiga, konstitusi ajudikasi (constitutional adjudication). Definisinya, bisa dalam konteks kebiasaan (tidak tertulis), kemudian dalam konsep konstitusi tertulis dan konstitusi peradilan yang ditegakkan oleh kekuasaan kehakiman dalam bentuk tafsiran.

Dalam konteks itu, maka kita dapat melihat pada Perppu Cipta Kerja yang secara kontroversial dikeluarkan oleh negara. Argumennya, termaktub dalam perppu itu sendiri khususnya pada bagian menimbang bagian (a) hingga (g) yang menurut Presiden menjadi alasan ‘hal ihwal kegentingan memaksa’. Yang intinya, ada kebutuhan untuk mendukung penciptaan lapangan kerja akibat adanya krisis global. Karenanya dibutuhkan penyesuaian aspek pengaturan dalam beberapa hal yang berkaitan dengan cipta kerja, melaksanakan Putusan MK 91/PUU-XVII/2020. Dan, sebagai upaya khusus dalam dinamika global yang memiliki alasan banyak, semisal kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim, terganggungnya supply chain, dan penurunan ekonomi secara global.

Setidaknya, dua yang akan dilakukan oleh tulisan ini untuk melihat inkonstitusionalitas itu. Tentu saja, secara formal pembentukan perppu dan beberapa alasan yang berkaitan dengan ‘hal ihwal kegentingan memaksa’. Hal yang harus diperiksa dalam menentukan konstitusionalitas perppu.

 

Perppu dan konstitusionalitasnya

Pada konsep konstitusi tertulis, Pasal 22 UUD 1945 setelah empat kali perubahan menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Perppu tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya dan tatkala tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah tersebut harus dicabut. Dari sini dapat dianalisis bahwa harus ada hal ihwal kegentingan memaksanya, baru kemudian presiden menetapkan perppu yang hanya akan menjadi UU jika mendapatkan persetujuan oleh DPR.

‘Hal ihwal’ yang genting ini memang merupakan hak presiden yang menentukannya secara subjektif, yang akan diobjektifkan oleh DPR dalam rangka membuatnya menjadi UU, yang akan berlaku tidak lagi selaku hukum ‘genting’ sementara sebagai peraturan pemerintah yang dianggap setara dengan UU tetapi sudah menjadi UU. Dari sini, ada perdebatan yang tidak sederhana soal ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ tersebut. Apakah benar-benar subjektif presiden saja, dalam artian seenaknya bisa dikeluarkan oleh presiden. Ataukah, memang harus ada kondisi objektif yang genting.

Cek Artikel:  Volatilitas Rupiah dan Berakhirnya Rezim Bangsa Kembang Rendah

Secara hukum, sebenarnya tetap harus ada kondisi objektif genting. Memang harus ada kondisi genting dalam penalaran presiden membutuhkan hukum cepat. Rasionalikasi oleh DPR sebenarnya lebih pada kondisi mengubah menjadi UU dan tidak lagi sebagai ‘hukum cepat’. Definisinya, meski ada subjektivitas presiden, tetapi memang harus ada alasan kondisi objektif yang membutuhkan ‘hukum cepat’.

Itulah sebabnya, dalam konteks konstitusi peradilan (constitutional adjudication), MK dalam Putusan 138/PUU-VII/2009 memberikan tiga batasan mendesak tersebut. Pertama, ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dengan UU. Kedua, tidak ada UU yang tersedia untuk itu atau ada kekosongan hukum, ataupun ada hukum tapi tak cukup memadai. Ketiga, kekosongan hukum itu sudah tidak mungkin diisi dengan proses legislasi biasa.

Dengan menggabungkan konstitusi tertulis dan konstitusi ajudikasi, maka mudah untuk melihat sulitnya percaya bahwa perppu ini punya konstitusionalitas yang cukup karena akan ada begitu banyak pertanyaan. Pertama, apakah memang semendesak itu? Jangan lupa ada banyak fakta yang sebenarnya bertentangan dan menunjukkan berbeda. Misalnya, soalan kenaikan harga energi dan harga pangan. Bisakah dianggap sebagai alasan? Bukankah sesaat setelah perppu ini keluar, pemerintah malah menyesuaikan harga BBM dengan menurunkan beberapa harga BBM dengan alasan terjadinya penurunan harga dunia?

Begitu pun berbagai pendapat yang melihat krisis dunia dikaitkan dengan Indonesia, apakah memang sangat berkaitan atau tidak? Eksis banyak analisis menarik. Akan tetapi, bukahkah itu semua sudah teridentifikasi sejak lama, yang artinya kerangka peraturannya sudah bisa disiapkan sejak lama dan tidak perlu secara tiba-tiba dan mendesak?

Misalnya lagi, apakah poin (f) yang menyatakan melaksanakan putusan MK? Menyatakan perppu ini untuk melaksanakan putusan MK sebenarnya adalah hal konyol karena berbeda dengan perintah putusan MK.

Cek Artikel:  Cocokkah Negarawan tidak Terdapat

Belum lagi, dalam putusan MK, waktu yang diberikan oleh MK sebenarnya adalah dua tahun perbaikan. Apakah berarti pemerintah mau menyatakan bahwa kami tidak melakukan apa-apa selama 13 bulan, lalu karena waktu tersisa tinggal 11 bulan maka ini kami keluarkan karena keadaan sudah mendesak? Bukankah ada waktu 13 bulan yang tersia-sia? Serta apakah berarti 11 bulan tersisa sudah tidak cukup?

Padahal, jika diperiksa, bunyi UU No 11 Pahamn 2020 tentang Cipta Kerja dan Perppu No 2 Pahamn 2022 nyaris tidak memiliki perbedaan berarti, kecuali dalam beberapa hal. Maka, pertanyaan mendasarnya, apakah kemendesakan itu hanya ada di beberapa pasal yang berubah? Lewat, mengapa semuanya tetiba menjadi mendesak? Bagian mana yang mendesak? Bukahkah dulu dibuat dengan legislasi biasa, dan mengapa sekarang menjadi harus legislasi cepat?

Belum lagi jika hanya diubah pada beberapa hal saja, mengapa tidak menggunakan legislasi biasa? Pada praktiknya, legislasi cepat bisa dilakukan tanpa perlu bikin perppu. Dalam banyak kesempatan, pemerintah dan DPR membentuk UU dengan cepat, termasuk mengubah beberapa pasal dalam UU lama dengan cepat.

 

Kegentingan yang dipaksakan

Definisinya, dapat dibaca bahwa ada kegentingan yang dipaksakan. Semacam akal-akalan, yang intinya sebenarnya, dengan melihat substansi perppu ini, memang mau memuluskan UU Cipta Kerja. Jangan-jangan memang benar bahwa kemendesakan yang dipaksakan ini berkaitan dengan penggunaannya yang akan menguntungkan kaum oligarki, dan menghindari pembicaraan dan aspirasi publik yang berpotensi menghambat dan menunda keseluruhan UU ini bekerja bagi kepentingan oligarki. Metodenya, dengan menciptakan kegentingan yang dipaksa-paksakan. Kegentingan dan kedaruratan yang dikarang-karang.

Dan, inilah ironi negara demokrasi kata Giorgio Agamben (1995). Pada satu sisi, demokrasi memang lahir dari suatu keadaan darurat. Sejarah memperlihatkan bahwa demokrasi semacam anak kandung dari suatu keadaan darurat, revolusi, reformasi, atau apa pun yang sejenis. Tetapi pada saat yang sama, kata Agamben, sangat mungkin negara melakukan infiltrasi keadaan darurat pada kondisi normal sehingga kedaruratan itu menjadi cara suatu rezim untuk menormalkan dilakukannya pembatasan dan pengingkaran hak-hak publik. Metodenya dengan membuat hukum yang memihak penguasa dan melemahkan publik yang seharusnya memegang kendali dalam kerangka demokrasi.

Cek Artikel:  Survei, Hitung Segera, dan Hal-hal yang belum Terselesaikan

Inilah yang berbahaya, yakni tatkala negara berupaya menegasikan kewajiban-kewajiban demokratisnya, yakni semisal aspirasi dalam legislasi, dengan menggunakan alasan kegentingan dan kedaruratan. Sesuatu yang dalam bahasa Agus Sudibyo (2022) bisa menjadi habitus baru dalam upaya mengakali demokrasi itu sendiri. Sesuatu yang normal, dibuat kondisi seakan tidak normal, sehingga ketidaknormalan ini malah menjadi kenormalan baru. Kebiasaan konstitusionalitas yang menguatkan standar demokrasi malah sedang digerus dengan kegentingan yang dipaksakan.

 

Lemahnya kontrol

Sebenarnya, perppu yang subjektif presiden dan akan diobjektifkan oleh DPR bukan hanya sekadar formalitas proses. Di dalamnya juga menyimpan tegaknya konstitusionalisme, yakni pembatasan kekuasaan dan checks and balances. Itu sebabnya, kehendak presiden akan dikontrol oleh DPR. Sayangnya, sulit berharap kepada DPR karena keinginan UU Cipta Kerja dulu mendapatkan dukungan DPR secara ‘nyaris’ penuh. Makanya, sangat mungkin ini pun akan mulus menjadi UU.

Berharap pada Mahkamah Konstitusi dalam bentuk judicial review pun sebenarnya sulit. Dalam tulisan terdahulu, KUHP dan Lemahnya Politik Hukum Negara (Kolom Ahli Media Indonesia, 12/12/2022), saya sudah tuliskan lemahnya MK dengan domestikasi yang terjadi atas MK. Kondisi MK yang juga tidak ideal dalam berhadapan dengan perppu macam ini, termasuk ujian atas hakim MK yang menikah dengan adik Presiden dan akan berhadapan dengan produk hukum sepihak Presiden dengan kegentingan yang dipaksakan macam ini.

Tanpa bermaksud mendahului, saya kira sulit untuk mengharap kepada kedua lembaga tersebut, walaupun secara konstitusionalitas kedua lembaga itulah yang akan menjadi penentu. Berharap dari sesuatu yang tidak bisa diharapkan memang berat, walaupun tetap semoga bisa menjadi saringan bagi perppu akal-akalan ini.

 

Mungkin Anda Menyukai