Ilusi Memerangi Korupsi

Ilusi Memerangi Korupsi
(Dok. Pribadi)

EDITORIAL Media Indonesia (14/6/2025) berjudul ‘Bertransaksi dengan Keadilan’ menyodorkan perspektif kritis di balik rencana penaikan gaji hakim oleh negara.

Ketika menghadiri acara pengukuhan hakim di Mahkamah Akbar (MA) di Gedung MA, Jakarta, Kamis (12/6/2025), Presiden Prabowo Subianto mengatakan akan Memajukan gaji para hakim demi mewujudkan kesejahteraan hakim termasuk Kepada menigas godaan korupsi. Penaikan tertinggi diperuntukkan bagi hakim golongan paling junior, mencapai 280%.

Sebelumnya, Rabu (4/6/2025), Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Cahya H Harefa di Gedung Merah Putih KPK menyarankan agar pemerintah pusat dapat Memajukan gaji para kepala daerah. Pasalnya, Terdapat kepala daerah yang hanya mendapat gaji Rp5,9 juta Tiba Rp6 juta per bulan. Menurut Harefa, Memajukan upah para pemimpin di daerah Dapat mencegah kasus korupsi yang kerap melibatkan para pejabat daerah.

Wacana tersebut pernah menjadi bagian dari janji Prabowo pada 2014 Lampau Ketika debat kandidat calon presiden dan wakil presiden (9/6/2014). Ketika itu ia berjanji akan Memajukan gaji pejabat negara Kepada meminimalisasi praktik korupsi.

Kekejian korupsi di negeri ini kian berurat berakar dan membudaya. Ia merusak komitmen negara dalam mendistribusikan kesejahteraan kepada rakyat. Nyaris tiap bulan kita mendengar pejabat terkemuka terjerat rasuah dengan kerugian negara yang fantastis.

Bahkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon sendiri dalam sebuah kesempatan, Jumat (13/6/2025), mengakui Presiden Prabowo kesulitan memberangus korupsi karena sudah merambah di Sekalian lini. Dekat Kagak Terdapat profesi yang luput dari korupsi.

Dalam survei Ipsos Mendunia Trustworthiness Index 2024 pada Oktober 2024 Lampau, beberapa profesi vital didera kepercayaan yang rendah dari masyarakat luas, seperti politisi (45%), pejabat kabinet/kementerian dan polisi (masing-masing 41%), influencer (25%), pegawai pemerintah dan pengacara (masing-masing 24%), serta hakim (23%). Ketidakpercayaan tersebut antara lain karena maraknya kasus korupsi yang melibatkan para pelaku profesi dimaksud.

Cek Artikel:  Baju Loreng di Ruang Belajar

 

BUKAN GAJI

Kagak sedikit yang mengatakan, korupsi yang terjadi seperti di lingkungan peradilan maupun politik dipicu oleh minimnya kesejahteraan. Mereka korupsi karena tak kuat iman dan mental, yang dipicu oleh pendapatan yang belum sepenuhnya Pandai menopang kebutuhan hidup. Maka, dengan kesejahteraan yang dinaikkan, diharapkan seluruh hidup mereka difokuskan Kepada menjalankan tugas dan kewajiban profesinya secara merdeka dan profesional.

Tetapi, dalam realitasnya, hal tersebut Tetap sebatas Dugaan. Tak sedikit dari mereka yang sudah diberikan gaji tinggi, fasilitas mewah, tetap saja korupsi. Bahkan korupsi dilakukan secara berkelompok. Sulit Kepada menepis bahwa korupsi yang gila-gilaan di kalangan pejabat Kagak semata karena Elemen upah, melainkan mentalitas serakah yang difasilitasi oleh kesempatan yang kian permisif terhadap rasuah (Moore, 2009).

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Profesor Jimly Asshiddiqie dalam Obrolan bertajuk Politics & Colleagues Breakfast (PCB) dengan tema Menimbang amendemen konstitusi, di Sekretariat PCB, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025), menilai bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto Memajukan gaji hakim hingga 280% bukanlah solusi Kepada memperbaiki sistem penegakan hukum serta kekuasaan hakim di Indonesia yang sarat masalah.

Publik tentu Tetap ingat, Terdapat mantan hakim dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendapat gaji ratusan juta per bulan, tetapi tetap tergoda menerima suap. Ataupun kasus yang menimpa mantan pejabat Mahkamah Akbar (MA) Zarof Ricar yang kedapatan menimbun Duit Dekat Rp1 triliun di rumahnya. Mereka tentu bukan pejabat yang berkekurangan. Hidup mereka terbilang mewah, apalagi Apabila dibandingkan dengan rakyat kebanyakan.

Cek Artikel:  R-Perpres Publisher Rights dan Konten Medsos

Demikian pula para kepala daerah yang terjerat rasuah, lebih karena biaya politik yang mahal yang disiasati dengan mencari sumber pendanaan gelap dari donatur yang mengharapkan imbalan Ketika setelah terpilih. Di situlah sesungguhnya ruang korupsi terjadi. Ditambah Kembali masyarakat sebagai yang empunya mandat, kerap mudah dibeli oleh kandidat kepala daerah lewat berbagai Donasi sosial maupun politik Duit.

Tetap menurut Jimly, yang perlu dilakukan ialah mengevaluasi besar-besaran perihal kekuasaan hakim sebagai puncak dari kemerosotan dan kejahatan mafia peradilan Ketika ini. Kekuasaan berlebihan yang Kagak disertai dengan pengawasan, tranparansi, dan internalisasi kesadaran moral dan integritas, Berkualitas secara individu dan melembaga, berpotensi besar melahirkan penyalahgunaan kekuasaan.

Institusi KPK, kepolisan, maupun kejaksaan sebagai garda depan memerangi korupsi sejauh ini tak luput dari kritik publik karena dianggap belum efektif menegakkan tameng antikorupsi. Selain karena memang komitmen yang Tetap rendah dalam mengungkap korupsi di kalangan elite, Elemen intervensi politik juga kerap Membangun institusi tersebut terlihat lemah di hadapan koruptor.

 

HARUS INTEGRAL

Kajian Weihua An & Yesola Kweon (2017) terkait penanganan korupsi dengan pendekatan principal-agent mengatakan bahwa meningkatkan gaji pemerintah seperti yang telah dilakukan oleh Singapura atau Qatar dapat menjadi alat kebijakan Kepada mengurangi korupsi, setidaknya di negara-negara berkembang. Akan tetapi, harus diingat, bahwa Pengaruh gaji pemerintah bergantung pada keberadaan institusi antikorupsi lainnya, termasuk kebebasan sipil, hukuman Tewas, kebebasan ekonomi, dan lain-lain.

Ketika Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur membubarkan Kementerian Sosial pada 1999 silam karena banyaknya kasus korupsi di kementerian tersebut, ia pernah ditanya oleh Andy F Noya dalam acara Kick Andy di Liputanindo pada 2008. “Kalau mau membunuh tikus (koruptor), kan Kagak perlu membakar lumbungnya (membubarkan lembaganya)?” kata Andy. Dengan santai Gus Dur menjawab, “Karena tikusnya sudah menguasai lumbung.”

Cek Artikel:  Pendidikan Bermutu Berawal dari Guru

Artinya, korupsi yang sudah berakar harus dibasmi dengan Langkah yang ‘destruktif’ atau extra-ordinary pula, bukan dengan pendekatan ‘kacamata kuda’, kompromi, apalagi transaksional semata. Korupsi di kalangan kepala daerah termasuk hakim lebih karena keserakahan, mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya Kepada memuaskan libido kenikmatan diri, keluarga, kroni, juga memamerkan harta demi mengerek status sosial.

Dalam kondisi seperti itu, alih-alih gaji yang tinggi akan mengerem perampokan Duit negara, Bahkan makin memicu berkembangbiaknya praktik korupsi dan memperpanjang lingkaran setan korupsi (di kalangan elite). Atau jangan-jangan, seperti kekhawatiran editorial Media Indonesia di atas, gaji hakim yang naik Bahkan dijadikan daya tawar kepada para pihak yang Mau membeli keadilan Kepada Memajukan tarif penanganan perkara.

Korupsi yang menggurita harus dilawan pula dengan Percepatan kebijakan antikorupsi secara penetratif dan komprehensif, melibatkan Sekalian aspek dan komponen bangsa, serta diawali dengan menemukenali akar rasuah secara Seksama.

Kita Paham, Terdapat kehendak serius dari Presiden Kepada melawan korupsi. Tetapi, mengeliminasi korupsi butuh solusi yang integral. Sistem pengawasan, meniadakan intervensi politik, transparansi, kebebasan pers, reformasi birokrasi, proses elektoral yang demokratis dan antikorupsi, integritas individu, hingga kesejahteraan, harus Lalu didorong secara serempak, Kagak parsial.

Hanya dengan pemenuhan aspek-aspek di atas, kita Dapat menghadirkan ekosistem antikorupsi di tubuh negara. Apabila Kagak, Memajukan gaji Dapat menjadi ilusi dalam memerangi korupsi.

Mungkin Anda Menyukai