Guru Kencing Berlari

DUNIA pendidikan di negeri ini sedang tidak baik-baik saja, yakni mengalami darurat kekerasan. Ibaratnya otak simpan di dengkul sehingga otot yang dipakai. Tindakan kekerasan terjadi di mana-mana, pelakunya dari pendidik sampai peserta didik.

Belum lama ini seorang guru SMP di Lamongan mencukur paksa rambut 19 siswi karena berjilbab tanpa memakai ciput atau bagian dalam kerudung. Ciput digunakan untuk menutupi rambut sebelum memakai kerudung. Begitu melihat kalangan siswi tidak memakai ciput, guru tersebut kesal lalu mencukur rambut mereka.

Pendidik mestinya menjadi suri teladan, pantas untuk ditiru. Hukuman cukur paksa memperlihatkan tabiat arogan. Sejatinya, sesuai Undang-Undang Nomor 20 Mengertin 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Prinsip penyelenggaraan pendidikan ialah dengan memberikan keteladanan. Kekerasan yang dilakukan peserta didik antara lain karena mereka tidak menemukan satu kata dan perbuatan di lingkungan sekolah ataupun dalam masyarakat.

Cek Artikel:  Pemimpin Jarkoni

Keteladanan sirna karena ruang publik disuguhi perilaku premanisme. Di ruang publik, meminjam istilah Driyakara, banyak orang olahraga lidah alias menggerakkan lidah, bicara semaunya, bertengkar semaunya, saling mencela semaunya, saling menuduh semaunya, saling menjelekkan semaunya.

Belakangan ini viral di media sosial video perundungan pelajar SMP di Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tampak seorang pelajar dipukul, ditendang, diseret, dan diinjak rekannya.

Lain lagi kasus di Gresik, Jawa Timur. Seorang anak sekolah dasar kehilangan penglihatan mata kanannya lantaran dicolok dengan tusuk bakso oleh kakak kelas. Usut punya usut, kakak kelas diduga tega menganiaya karena tak diberi uang olehnya. Kasus di Demak, Jawa Tengah, seorang murid membacok gurunya di dalam kelas yang disaksikan rekan-rekannya.

Teladan kekerasan yang dipaparkan di atas hanya mengonfirmasi hasil survei yang membuat publik mengurut dada. Berdasarkan data hasil survei Asesmen Nasional 2022, sebanyak 34,51% peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, lalu 26,9% peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31% (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan.

Cek Artikel:  Emas Olimpiade dan Kakistokrasi

Berdasarkan survei Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada Peta Jalan Pendidikan Indonesia Mengertin 2020-2035, siswa di Indonesia mengalami tingkat kekerasan dan perundungan dua kali lipat jika dibandingkan dengan negara lain. Nomornya mencapai 41%.

Dampak kekerasan tersebut menyebabkan siswa merasa sedih, takut, kehilangan motivasi untuk belajar atau membaca bahkan kecendrungan membolos sekolah. Lebih mengkhawatirkan lagi, para siswa merasa sekolah tidak memberikan perubahan positif dan pertumbuhan dalam hidup mereka.

Ironisnya, penyelesaian persoalan kekerasan di sekolah masih sebatas pembuatan regulasi. Belum menyentuh persoalan mendasar, yaitu perihal keteladanan.

Mendikbud-Ristek Nadiem Anwar Makarim pada 3 Agustus 2023 menerbitkan Peraturan Nomor 46 Mengertin 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Bentuk kekerasan yang ditabukan menurut Pasal 6 Permendikbud-Ristek 46/2023 ialah kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya. Segala bentuk kekerasan itu dapat dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi.

Cek Artikel:  Lebaran Menuju Bersih Sampah 2025

Mas Menteri tidak perlu repot-repot menyiapkan regulasi karena Pasal 9 Undang-Undang Nomor 35 Mengertin 2002 tentang Perlidungan Anak menyebutkan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.

Harus jujur diakui bahwa setelah kasus kekerasan di dunia pendidikan mencuat, yang dilakukan ialah membahas kasusnya dalam talkshow, diskusi, seminar, dan kegiatan formal lainnya. Upaya penyembuhan traumatik pada korban bersifat instan, tidak ada penyelesaian secara menyeluruh dan mendasar.

Sudah saatnya mengatasi kekerasan di sekolah dengan keteladanan para guru dan perlunya pendidikan karakter. Guru itu diguguh dan ditiru seperti kata pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari. Kini, guru dan murid sama-sama melakukan kekerasan, pepatah itu pun diplesetkan menjadi guru kencing berlari murid kencing maraton.

Mungkin Anda Menyukai