Durhaka Demokrasi

ADA rumus yang dipahami umum, membangun jauh lebih sulit daripada merusak. Itu berlaku di bidang apa pun. Berkualitas bangunan fisik maupun nonfisik. Usaha yang mesti dikeluarkan untuk merusak atau menghancurkan sebuah bangunan barangkali tidak sampai sepersepuluh dari kerja keras saat membangunnya.

Rumus itu juga berlaku ketika kita bicara tentang bangunan demokrasi. Demi membangunnya butuh waktu yang sangat panjang, berkelok, pun penuh pergulatan dan perjuangan. Demokrasi di negeri ini melewati banyak transformasi, mulai sistem demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, hingga demokrasi yang berkembang belakangan sebagai hasil reformasi.

Proses pergantian atau transisi di setiap perubahan sistem demokrasi itu selalu tidak mudah. Banyak hal dipertaruhkan. Enggak sebatas memunculkan gejolak politik, sosial, dan ekonomi; di setiap transisi itu juga kerap memakan korban jiwa.

Tamat saat ini pun sistem demokrasi di Indonesia belumlah final karena, harus diakui, implementasinya belum sepenuhnya memenuhi tatatan demokrasi yang dikehendaki reformasi. Artinya, pembangunan demokrasi di Indonesia sesungguhnya masih berproses dan terus berjalan. Publik menjadi pengawal sekaligus pengawas proses tersebut.

Cek Artikel:  Metode Norwegia

Kalau kita ibaratkan bangunan rumah, konstruksinya sudah berdiri, tetapi baru konstruksi utamanya. Lagi perlu diperkuat dengan konstruksi-konstruksi tambahan dan penyempurnaan di sana-sini. Mungkin belum seindah dan semegah yang diinginkan, tapi sudah cukup permanen untuk ditinggali.

Tetapi, di dalam proses itu, datanglah malapetaka. Bangunan yang dibangun dengan susah payah, dengan pengorbanan yang tak terhitung, itu tiba-tiba didatangi sekumpulan perusak yang ingin berlama-lama menguasai bangunan tersebut. Keserakahan kiranya telah menggelapkan mata dan hati mereka sehingga tega merusak rumah besar yang sejatinya merupakan tempat mereka lahir dan bertumbuh bersama.

Seperti itulah yang kini menimpa bangunan demokrasi Indonesia. Upaya-upaya merusak demokrasi sudah kian nyata dipampangkan di depan mata. Berderet-deret tindakan antidemokrasi kian sering dipertontonkan, tanpa rasa takut, sungkan, atau malu. Secara terstruktur, sistematis, dan masif, bangunan demokrasi terus-menerus digerus.

Salah satu puncaknya ialah ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap UU Pemilu terkait dengan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan tersebut membuka jalan lebar bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto.

Cek Artikel:  True Olympian

Mengapa itu disebut salah satu puncak upaya kerusakan? Karena tidak bisa dimungkiri di belakang putusan MK itu ada peran sentral Ketua MK Anwar Usman yang notabene ialah ipar Presiden Jokowi. Konflik kepentingan antara paman, ipar, dan keponakan terlalu kentara untuk ditampik. Pelanggaran etikanya terlampau blak-blakan dan sulit untuk dibantah.

Demi kepentingan mereka, modifikasi melalui cara-cara yang di luar nalar hukum dan etika demokrasi pun tidak sungkan mereka lakukan. Hukum ditanggalkan, etika dipinggirkan, nalar dikesampingkan. Alih-alih membangun demokrasi, rezim ini malah membangun dinasti politik dan menghidupkan lagi nepotisme yang sejatinya merupakan benalu demokrasi.

Dengan berpangkal pada itu, upaya perusakan demokrasi semakin menjadi-jadi. Ketidaknetralan penyelenggara negara menjadi isu besar, terlebih ketika Presiden Jokowi semakin terang-terangan menunjukkan ketidaknetralannya sebagai kepala negara. Mulutnya berkali-kali menjanjikan sikap netral, tapi faktanya dia tidak mampu menutupi keberpihakannya untuk mendukung sang putra mahkota.

Cek Artikel:  Ojo Kesusu

Belakangan Jokowi bahkan tak kuasa lagi menahan nafsunya untuk berucap bahwa pejabat publik termasuk presiden boleh memihak dan berkampanye. Ia juga tiba-tiba rajin melakukan kunjungan kerja ke daerah, membagi-bagikan bantuan sosial, mempromosikan program dan proyek pemerintah, seolah-olah sedang berkampanye demi kemenangan anaknya.

Pas belaka kata pakar kebinekaan Sukidi yang menyitir kalimat penutup pidato Bung Hatta bertajuk Indonesia Merdeka. Kalimat itu menyiratkan pesan kepada Jokowi bahwa keberpihakan presiden boleh digunakan semata-mata untuk kemenangan bangsa dan Tanah Air tercinta. Bukan untuk kemenangan dirinya atau putranya sekalipun.

Kiranya Jokowi lupa bahwa ia anak kandung demokrasi. Ia dilahirkan melalui proses kontestasi demokrasi yang sehat, bukan demokrasi yang dipenuhi ketidaknetralan kepala negara, bukan pula demokrasi yang mengunggulkan dinasti dan nepotisme.

Tetapi, tindakan-tindakannya justru melawan demokrasi. Ia bahkan memimpin gerbong yang ingin mengkhianati dan merusak demokrasi. Barangkali inilah yang dinamakan durhaka demokrasi.

Mungkin Anda Menyukai