Diserangnya Mahkamah Kita

Diserangnya Mahkamah Kita
Ilustrasi MI(MI/Seno)

NO legislative act contrary to the constitution, can be valid. To deny this would be to affirm that the deputy is greater than his principal, that servant is above his master, that the representatives of the people are superior to the people themselves” (Tiada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi adalah absah. Menolak prinsip ini sama artinya dengan menegaskan bahwa wakil lebih berkuasa dari bosnya, bahwa pelayan berada di atas majikannya, bahwa wakil rakyat lebih tinggi kedudukannya dari rakyat itu sendiri) – Alexander Hamilton dalam The Federalist Papers.

Rontok 5-7 Oktober 2022, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akan bertindak sebagai tuan rumah dari The 5th Congress of World Conference on Constitutional Justice (WCCJ) 5-7 Oktober 2022, di Bali. Eksis 119 negara yang akan mengirimkan delegasinya. Secara substansial, event ini dapat dimaknai sebagai “hari perayaan” bekerjanya prinsip supremasi konstitusi di negara-negara anggota WCCJ. Itu sekaligus berarti perayaan terhadap bekerjanya gagasan constitutional democratic state di negara-negara anggota WCCJ tersebut, tentu saja termasuk di Indonesia.

Tetapi, hanya berselang lima hari dari “hari perayaan” itu, Mahkamah Konstitusi mendapatkan “serangan mendadak” dari Senayan. Dewan Perwakilan Rakyat, dengan kewenangan yang entah dikonstruksikan datang dari mana, memutuskan “Bukan akan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang berasal dari usulan DPR atas nama Aswanto, dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang berasal dari DPR,” demikian pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, sebagaimana banyak dikutip media massa.

Apa pasalnya? Kali ini, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryantoro yang angkat bicara. Ia menjelaskan alasan yang intinya bahwa Aswanto tidak diperpanjang masa jabatannya karena tidak melaksanakan komitmen sebagai hakim konstitusi usulan DPR. Yang dimaksud “tidak melaksanakan komitmen” itu ialah bahwa Aswanto banyak menganulir undang-undang buatan DPR. “Tentu mengecewakan dong. Ya bagaimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh?”

Ketua Komisi III ini kemudian melanjutkan penjelasannya dengan memaralelkan hubungan DPR dan Aswanto sebagai hubungan antara owner perusahaan dan direksinya. “Kalau kamu usulkan seseorang untuk jadi direksi di perusahaanmu, kamu sebagai owner, itu mewakili owner kemudian kebijakanmu tidak sesuai enggak sesuai direksi, owner-nya gimana. Kan kita dibikin susah,” katanya (cnnindonesia.com, 30 September 2022).

 

MK bukan meminta, melainkan konfirmasi

Lantas, bagaimana kita mesti menilai tindakan DPR itu? Sebelum menjawab pertanyaan ini, guna membuat terang, penting kiranya untuk melakukan kilas balik singkat ke peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya keputusan DPR itu. Peristiwa itu berawal dari surat Mahkamah Konstitusi kepada DPR bertanggal 22 Juli 2022. Surat itu menjelaskan perihal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Pasal 87 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 7 Pahamn 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 24 Pahamn 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Cek Artikel:  Praperadilan dan Keadilan dalam Proses Penegakan Hukum

Dalam surat Mahkamah Konstitusi itu, dikutiplah alasan pertimbangan hukum perihal ditolaknya permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 87 huruf b UU MK, sebagaimana tertuang dalam paragraf (3.22) Putusan dimaksud yang menyatakan, antara lain, “Menimbang bahwa setelah jelas bagi Mahkamah akan niat sesungguhnya (original intent), dari pembentuk undang-undang dalam pembentukan UU 7/2020, maka Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 87 huruf b tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”

Pembacaan atas rumusan Pasal 87 huruf b UU 7/2020, menurut Mahkamah, harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan, yang menghubungkan agar aturan baru dapat berlaku selaras dengan aturan lama, bahwa untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut, tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi, maka Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut.

Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah Konstitusi kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan, ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada setiap lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Mulia).

Dilihat dari sudut pandang redaksi surat Mahkamah Konstitusi itu saja, sudah patut dipertanyakan dari mana datangnya penalaran yang memberikan dasar argumentasi, bahwa surat itu ialah surat yang meminta DPR untuk memberikan konfirmasi? Redaksi surat Mahkamah Konstitusi di atas, terang benderang menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi bukan meminta, melainkan menyampaikan konfirmasi kepada lembaga-lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi (DPR, Presiden, dan Mahkamah Mulia).

Konfirmasi oleh Mahkamah Konstitusi kepada lembaga-lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi dilakukan karena, menurut ketentuan Undang-Undang yang lama, beberapa hakim akan berakhir periode jabatannya sehingga jika mengikuti ketentuan yang lama, lembaga-lembaga pengusul harus segera melakukan persiapan pengisian jabatan hakim yang akan berakhir itu.

Tetapi, karena menurut ketentuan undang-undang yang baru tidak ada lagi periodisasi jabatan hakim, sedangkan pengujian terhadap Pasal 87 huruf b UU MK dinyatakan ditolak, yang berarti Pasal 87 huruf b UU MK itu tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi hendak menyampaikan kepada DPR, Presiden, dan Mahkamah Mulia, bahwa hakim-hakim yang diusulkan oleh lembaga-lembaga negara tersebut masih memenuhi syarat untuk menjabat sebagai hakim konstitusi sehingga tidak ada kebutuhan untuk melakukan penggantian.

Eksispun kalimat di akhir surat dari Mahkamah Konstitusi tersebut yang berbunyi, antara lain, “…hakim konstitusi yang berasal dari usulan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang saat ini sedang menjabat untuk dikonfirmasi adalah…” tidak dapat diartikan keluar dari konteks pemahaman di atas. Kalau kata-kata “untuk dikonfirmasi” itu diartikan sebagai permintaan konfirmasi kepada DPR, surat Mahkamah Konstitusi akan kehilangan koherensinya. Tengah pula, menurut Pasal 23 UU MK, alasan “karena tidak diperpanjang lagi oleh lembaga pengusul” tidak disebut sebagai bagian dari syarat pemberhentian hakim konstitusi, baik pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian tidak dengan hormat.

Cek Artikel:  Menjaga Ekspektasi, Memanfaatkan Momentum

Selain itu, katakanlah DPR mempunyai kewenangan memberhentikan hakim konstitusi, quod non (padahal tidak), ia tidak dapat mengajukan permintaan pemberhentian itu kepada Presiden sebab menurut Pasal 23 ayat (4) UU MK, permintaan pemberhentian itu, harus diajukan Ketua Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, akan menjadi aneh jika Ketua Mahkamah Konstitusi mengajukan permintaan pemberhentian hakim konstitusi kepada Presiden, karena tidak terdapat alasan untuk meminta pemberhentian itu, baik pemberhentian dengan hormat maupun tidak dengan hormat, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU MK.

 

Prinsip fundamental

Lewat, bagaimana jika tindakan DPR di atas dilihat dari perspektif konstitusi? Dalam konteks itulah, pernyataan Alexander Hamilton, perancang Konstitusi Amerika Perkumpulan, yang dikutip di awal tulisan ini menjadi relevan untuk diingat. Pernyataan dari salah seorang trio penulis The Federalist Papers itu ialah pernyataan yang menegaskan prinsip fundamental yang menjadi landasan utama negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democratic state), yaitu bahwa dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum, konstitusi menempati kedudukan sebagai hukum tertinggi, sebab ia dikonstruksikan sebagai produk kehendak seluruh rakyat.

Produk kehendak seluruh rakyat inilah yang harus selalu menjadi rujukan wakil rakyat dalam membuat undang-undang (legislative act), sebagai produk turunan dari hukum tertinggi itu. Karena itu, undang-undang (sebagai produk wakil rakyat) tidak boleh bertentangan dengan konstitusi (yang merupakan produk dan sekaligus cerminan dari kehendak “majikannya,” yaitu seluruh rakyat). Prinsip dasar ini, kemudian dituangkan ke dalam Pasal VI Konstitusi Amerika Perkumpulan – yang dikenal sebagai Klausula Supremasi (Supremacy Clause).

Klausula inilah, salah satunya, yang dirujuk dan dijadikan dasar argumentasi oleh John Marshall, Ketua Mahkamah Mulia Amerika Perkumpulan, dalam kasus Marbury v Madison (1803), untuk menegaskan bahwa pengadilan, c.q. Mahkamah Mulia Amerika Perkumpulan berwenang menguji undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Putusan John Marshall inilah yang menjadi inspirasi pembentukan Mahkamah Konstitusi, yang fungsinya ialah mengawal konstitusi dengan kewenangan utama (tetapi bukan satu-satunya) menguji konstitusionalitas undang-undang – yang populer dengan sebutan judicial review. Itulah sebab Mahkamah Konstitusi, di mana pun di dunia, disebut pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).

Secara konstitusional, Indonesia didesain sebagai constitutional democratic state. Pernyataan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun “dalam suatu undang-undang dasar, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat” dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, tidak mungkin diartikan lain selain sebagai cita-cita untuk mewujudkan Indonesia menjadi constitutional democratic state, alias negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis. Hal itu kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD. Oleh karena itu, memahami UUD 1945 harus bertitik tolak dari gagasan negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.

Cek Artikel:  Mengoreksi dan Melanjutkan Seleksi CPNS 2018

Syarat pertama, dari negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum ialah constitutionalism. Eksis dua model untuk mewujudkan constitutional democratic state, (yang juga berarti untuk mewujudkan constitutionalism tersebut), yaitu parliamentary model, dan constitutional model.

Istilah parliamentary model, hendaknya tidak dikacaukan dengan sistem pemerintahan parlementer dalam konteks mewujudkan constitutional democratic state sebab banyak negara yang sistem pemerintahannya parlementer, tetapi dalam mewujudkan gagasan constitutional democratic state-nya menganut constitutional model. Misalnyanya Jerman.

Bagi negara yang memilih constitutional model dalam mewujudkan gagasan constitutional democratic state, terlepas dari apakah negara itu menganut sistem pemerintahan presidensial ataupun parlementer, konstitusi ditempatkan sebagai hukum tertinggi (supreme law), yakni seluruh praktik penyelenggaraan negara tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dari sinilah, diturunkan prinsip supremasi konstitusi. Lembaga atau organ negara yang diberi tugas untuk menegakkan prinsip itu ialah Mahkamah Konstitusi, (atau yang disebut dengan nama lain tetapi memiliki fungsi sebagai Mahkamah Konstitusi).

Dengan kata lain, di negara yang menganut constitutional model dalam mewujudkan gagasan constitutional democratic state, prinsip supremasi konstitusi ditegakkan melalui pemberlakuan supremasi pengadilan. Dengan demikian, dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ialah penegasan bahwa dalam mewujudkan gagasan constitutional democratic state, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, Indonesia memberlakukan constitutional model.

 

Merdeka dari intervensi politik dan menegakkan keadilan

Karena itu, dalam konteks Indonesia, Mahkamah Konstitusi ialah pengawal UUD 1945. Seluruh kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi ialah pengejawantahan fungsinya sebagai pengawal konstitusi. Dalam mengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi, sebagaimana Mahkamah Konstitusi di mana pun di dunia ini, dengan sendirinya memiliki fungsi sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution). Penafsiran konstitusi, bukanlah sekadar pekerjaan mencocok-cocokkan sesuatu dengan teks konstitusi, melainkan seperti kata Sir Anthony Mason, upaya mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana kita memandang konstitusi, dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan olehnya.

Mengapa fungsi menafsirkan konstitusi itu diberikan kepada pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi? Keith Whittington, untuk menyebut satu contoh, memberikan jawaban yang sulit dibantah: jika fungsi menafsirkan konstitusi itu diberikan kepada lembaga-lembaga politik, tertib konstitusi akan selalu terancam menjadi objek pertengkaran politik yang tak berkesudahan. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang ialah salah satu bentuk pelaksanaan penafsiran konstitusi – bukan wujud pelaksanaan komitmen hakim-hakim terhadap lembaga yang mengusulkannya, sebagaimana dibayangkan oleh Ketua Komisi III DPR.

Syarat utama lain dari constitutional democratic state ialah kemerdekaan kekuasaan kehakiman (the independence of the judiciary). Kekuasaan kehakiman yang merdeka, berarti merdeka dari intervensi politik dan merdeka untuk menegakkan keadilan (freedom from political interference and freedom to do justice). Kemerdekaan kekuasaan kehakiman menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar karena tanpanya, roh constitutional democratic state, yaitu rule of law, not of man, hanya akan menjadi bualan yang menjemukan.

 

 

Mungkin Anda Menyukai