Demokrasi di Rendah Bayang Dinasti

DENGAN mendaftarnya Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Lumrah (KPU) pagi ini maka Pilpres 2024 dipastikan menyuguhkan tiga pasang kontestan. Rakyat pun punya lebih banyak pilihan.

Pilpres dengan tiga pasangan, bahkan lebih, memang bukan baru di Indonesia. Dalam pilpres langsung pertama pada 2004, kita memiliki lima pasang kandidat. Berikutnya pada 2009, ada tiga pasang calon bertarung, meski kemudian harus diselesaikan dalam satu putaran.

Pada Pilpres 2024, pertarungan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo-Gibran diperkirakan kembali harus dituntaskan dengan dua putaran. Tentu saja pilpres dua putaran berimplikasi pada biaya yang besar. Tetapi, itu tak menjadi soal demi terpilihnya pemimpin terbaik di antara yang baik-baik.

Di titik ini, kepastian Gibran menjadi cawapres pun sudah tidak perlu lagi diperdebatkan. Pencalonannya memang melalui proses kontroversial, bahkan ugal-ugalan, yang membahayakan demokrasi. Kendati lewat putusan Mahkamah Konstitusi yang aneh luar biasa terkait dengan syarat batas minimal usia capres-cawapres, putra sulung Presiden Joko Widodo itu suka tidak suka telah berhak menyandang baju cawapres.

Cek Artikel:  Janji Melulu Tangkap Masiku

Meski dunia juga ikut menyoroti putusan yang membingungkan itu, termasuk adanya kenyataan bahwa Ketua MK Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Jokowi alias paman Gibran, tahapan pilpres mesti berlanjut. Pilpres harus jalan terus dengan segala implikasi akibat dari dinasti politik yang bisa merusak demokrasi.

Harga mahal dari pesta demokrasi yang dibayangi dinasti politik sudah jamak di dunia. Teladan kronisnya ada di Filipina. Dinasti politik di negara tetangga itu bukan lagi disebut tipis-tipis, tetapi tambun karena tidak hanya dilakukan oleh satu klan. Dinasti politik tak cuma di lingkup senator, tetapi juga di tingkat gubernur hingga presiden.

Dinasti politik yang sudah ibarat tentakel gurita itu mendegradasi demokrasi secara pasti. Para ahli mengingatkan bahwa salah satu esensi demokrasi ialah ketika rakyat dapat ikut mengatur pemerintahnya dengan cara memilih kandidat yang baik.

Cek Artikel:  Kembalikan Debat Pilpres Pada Jalurnya

Ketika sebuah pemerintahan dirasa gagal maka rakyat memiliki harapan untuk perubahan dengan cara memilih pemimpin yang baru. Akan tetapi, dinasti politik menggagalkan itu karena tidak ada lagi kandidat yang benar-benar independen atau terlepas dari siklus yang lama. Akibatnya, rakyat seperti hanya diberi harapan palsu.

Rakyat bukannya naif, tetapi mereka tidak memiliki pilihan lain karena seluruh kandidat adalah produk dinasti politik. Pada saat inilah demokrasi sudah di titik akhir degradasi, alias sudah mencapai liang kubur. Konsekuensinya, pemilu bukan lagi pesta demokrasi, melainkan hanya formalitas. Para ahli mengingatkan, harga mahal akan terlihat pada kemunduran di segala sektor, baik penegakan hukum maupun pemerataan ekonomi.

Cek Artikel:  Uji Publik Kandidat Pilpres

Petaka seperti itu jelas tidak boleh terjadi di Indonesia. Politik dinasti level tertinggi yang saat ini sudah kita masuki tidak boleh membuat kemunduran demokrasi, sekecil dan seawal apa pun.

Langkah pertama harus dibuktikan dengan memastikan semua tahapan pilpres benar-benar bersih. Ini belum bicara kampanye, tetapi baru verifikasi dokumen dan pemeriksaan kesehatan para kandidat. Selanjutnya, kita tidak boleh menoleransi segala bentuk ketidaknetralan penyelenggara pemilu dan pemerintah.

Apabila tak ada sesuatu yang luar biasa seperti gagal tes kesehatan, tiga pasang calon sudah tersedia. Tinggal rakyat yang pintar-pintar membaca kekurangan dan kelebihan mereka, rekam jejak mereka, serta kualitas dan kapasitas mereka. Pilpres mulai menapaki tahapan yang penting. Ia layak untuk mulai kita rayakan. Tetapi, yang jauh lebih penting ialah memastikannya berjalan lurus di rel demokrasi.

Mungkin Anda Menyukai