
AJINING diri ono eng lati ajining rogo ono ing busono, sebuah peribahasa Jawa yang mengungkapkan bahwa harga diri seseorang tergantung pada lesannya, sedangkan penilaian tubuh seseorang tergantung dari Metode berpakaiannya.
Peribahasa itu oleh sebagian orang digunakan Demi Betul-Betul menilai, tepatnya melakukan penghakiman kepada seorang muslimah Layak masuk surga atau Tak. Penghakiman tersebut Tak hanya dihubungkan dengan kehidupan di akhirat, tetapi dalam banyak kasus juga dikaitkan dengan nilai-nilai Keyakinan di sebagian sekolah.

MI/Seno
Ciputisasi
Kita Tetap ingat peristiwa ciputisasi, pencukuran rambut 19 siswi gara-gara dianggap Tak mengenakan jilbab dengan Bagus, dengan Tak menggunakan ciput (dalaman jilbab) beberapa waktu yang Lampau di salah satu sekolah negeri yang berdampak traumatis bagi korban.
Komnas Perempuan mencatat kebijakan dan perilaku intoleransi Maju berulang dan banyak dialami siswi ataupun pegawai negeri sipil (PNS) di berbagai daerah sepanjang 2014 hingga 2022. Perilaku intoleransi ditandai dengan tindakan main hakim sendiri dengan upaya pemaksaan, pelarangan, dan atau perundungan terhadap penggunaan busana dari ajaran Keyakinan tertentu oleh pihak sekolah/instansi.
Sekurangnya, menurut catatan Komnas Perempuan, Tetap Terdapat 73 dari 114 kebijakan daerah sejak 1999 tentang pewajiban busana yang Tetap berlaku hingga kini. Human Rights Watch (2021) menemukan bahwa banyak sekolah negeri di 24 provinsi yang mayoritas muslim mewajibkan siswinya menggunakan hijab walaupun Tak Terdapat aturan tertulisnya.
Salah satu Akibat dari pemahaman berhijab ini terjadi pengurangan nilai Keyakinan karena siswi Tak mengenakan hijab, dipanggil Demi diberikan konseling, bahkan diminta Demi mengundurkan diri. Menggunakan jilbab saja Tak cukup bagi sebagian orang, tetapi caranya pun juga harus diatur, di antaranya harus menggunakan ciput (ciputisasi), Apabila Tak menggunakannya akan dihukum.
Kejadian kekerasan berupa ciputisasi menjadi perhatian banyak kalangan. Walaupun sudah Terdapat upaya pemerintah dari pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga berbagai pihak agar kejadian kekerasan Tak terulang, tetapi realitasnya Tetap saja terjadi. Kemendikbud-Ristek juga sudah mengesahkan Peraturan Menteri Nomor 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Sepertinya, peraturan menteri itu memang belum terpahami dengan Bagus oleh seluruh pihak di satuan pendidikan atau mungkin lebih tepatnya peraturan saja Tak cukup Apabila Tak dibarengi dengan perubahan Metode berpikir, berkeyakinan, atau perubahan mental model.
Konstitusi negara Indonesia selain mengatur hak kebebasan berkeyakinan juga menjamin setiap Anggota negara agar terbebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Permendikbud-Ristek Nomor 50/2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah mengatur berbagai Corak model Metode berpakaian.
Berdasarkan permen tersebut, Tak Terdapat ketentuan kewajiban siswi muslimah mengenakan jilbab. Tetapi demikian, juga Tak dilarang bagi orangtua atau wali peserta didik yang Mau peserta didik mengenakan jilbab, asalkan sesuai dengan ketentuan model Pakaian seragam nasional yang sudah diatur.
Dalam aturan itu, Tak Terdapat ketentuan siswi yang mengenakan jilbab diwajibkan menggunakan ciput. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat diharapkan selain menumbuhkan niai-nilai disiplin juga menjadi tempat Demi menghidupkan nilai-nilai yang menghargai keragaman dan antikekerasan.
Sekeliling 96% Anggota Indonesia sangat percaya pada nilai-nilai Keyakinan. Keragaman, termasuk keragaman penafsiran Keyakinan tentang selembar kain di atas kepala Perempuan ialah sunatullah. Karena itu, Apabila menentang keragaman berarti Tak ridla pada ketentuan Tuhan. Kesadaran yang hidup dan implementatif terkait dengan menghargai keragaman penafsiran itu sangat Krusial.
Karena itu, beragama itu semestinya merangkul keberagaman, bukan menghapus keberagamaan. Beragama itu menyenangkan, mempersatukan, dan memudahkan, bukan malah Membangun takut dan trauma. Tetapi, konsep ideal beragama ini dalam realitas belum dapat sepenuhnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, Terdapat Grup yang menganggap dirinya paling Betul, dan bahkan mengaveling surga sesuai dengan penafsirannya.
Masalahnya yang paling kena Akibat Jelek dari penafsiran itu ialah Perempuan. Hasil kajian Komnas Perempuan menunjukkan Terdapat banyak kebijakan diskriminatif yang memaksakan mayoritas penafsiran sebagai standar kebenaran. Terkadang Tak Acuh kalau Akibat standardisasi itu melanggar hak-hak asasi yang dapat membahayakan orang lain.
Penggunaan penafsiran mayoritas sebagai standar kebenaran yang berdampak pada eksklusivitas mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, terutama pegiat Hak Asasi Orang dan Muslim/Muslimah Progresif. Dalam kehidupan sehari-hari, wacana seputar tubuh sering diperdebatkan.
Tubuh Perempuan sering dihubungkan dengan simbol kesucian, kesuburan, pemuas, hingga disebut sebagai sumber malapetaka. Sebaliknya, jarang sekali wacana tubuh Lelaki menjadi subjek perebutan Demi ditafsirkan. Apabila penutup kepala menjadi simbol ketakwaan bagi muslimah, apakah simbol ketakwaan bagi Kembali-laki?
Dalam sejarah, penggunaan Pakaian tertutup termasuk tutup kepala berkelindan dengan kelas sosial. Semakin tinggi tingkat kebangsawanan seseorang, semakin tertutup busananya. Jilbab sudah menjadi Pakaian kehormatan bagi Perempuan bangsawan di kerajaan Persi. Dalam konteks sejarah Pakaian dalam kitab Bersih juga Terdapat pemahaman bahwa budak berpakaian tanpa penutup kepala, sedangkan yang kalangan bangsawan mengenakan penutup kepala (Umar 1996, 2016).
Tetapi, dalam perkembangannya, Pakaian bukan hanya simbol status seseorang, melainkan juga sudah bergeser sebagai simbol ketakwaan seseorang. Seorang antropolog Saba Mahmood (2011) dari Mesir menyatakan bahwa banyak muslimah yang memakai hijab karena Argumen identitas Keyakinan dan Ungkapan kesalehan seseorang.
Artinya, dengan menggunakan jilbab, seorang muslimah memercayai bahwa dirinya lebih saleh daripada mereka yang memutuskan Demi Tak menggunakannya. Fenomena tentang jilbab yang berkembang Ketika ini Tak hanya wacana kewajiban bagi Perempuan muslimah Demi berjilbab, tetapi juga Terdapat aturan Metode pemakaiannya.
Di beberapa perguruan tinggi Keyakinan Islam, seperti di UIN dan IAIN sudah mulai adanya Pelarangan menggunakan celana panjang bagi Perempuan. Hal itu disebabkan bahwa Pakaian jilbab Tak hanya dipahami sebagai simbol identitas sebagai seorang muslimah secara sosial, tetapi juga jilbab Terdapat hubungannya dengan seksualitas, male gaze, erotisme, sensualitas, kedewasaan, dan moralitas.
Pemakai jilbab akan diasumsikan Terjamin dan bermoral, dia Tak akan melakukan zina karena dia sudah menjaga erotisme yang menyebabkan perzinaan. Seorang ibu yang akan melahirkan, dia meminta agar tetap menggunakan jilbab karena meyakini bahwa itu sebuah keharusan. Itulah yang menurut Candraningrum (2013) dikatakan urusan-urusan pribadi menjadi konsumsi publik.
Ketika jilbab digunakan sebagai ukuran tingkat religiositas atau standar keagamaan (keislaman) seseorang, Tak mengherankan Apabila banyak dakwah dan kampanye yang menyosialisasikan penggunaan jilbab sebagai kewajiban Keyakinan. Misalnya, salah satu bisnis jilbab mengampanyekan wajibnya jilbab dengan kata-kata ‘Qurban tu ga wajib, yang wajib berhijab’. Ajakan Demi menggunakan jilbab Terdapat yang disampaikan dengan kata-kata lembut, Terdapat juga yang menggunakan kata-kata atau bahasa keras, seperti, ‘Tuhan Lawan setan’. Apabila mengikuti delapan langkah ke atas, akan disayang Tuhan, sebaliknya Apabila turun ke Dasar tangga akan disayang setan.
Berbagai Corak tekanan terkait dengan model berhijab terkadang juga datang dari masyarakat. Fenomena di SMPN tentang ciputisasi, menambahkan indikator kewajiban dan kesalehan muslimah dalam berpakaian, Yakni Mengenakan ciput. Kalangan konservatif mengeklaim bahwa hijab yang Luas, lebar, Tak berwarna, dan berciput ialah yang paling Bagus dan Betul, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Tetapi, kalangan ulama moderat, ilmuwan progresif, dan aktivis Perempuan berusaha melawan klaim itu karena khawatir klaim tersebut akan menghalangi kebebasan Perempuan Demi menentukan Pakaian apa yang Mau dikenakan mereka.
Mencegah keberulangan
Bagi penulis, segala jenis tekanan yang Terdapat, Bagus yang menyangkut dorongan Demi memakai atau Tak memakai hijab maupun bagaimana Metode memakainya serta model seperti apa yang digunakan, dimaksudkan Demi mengendalikan tubuh Perempuan. Belajar dari para pahlawan Perempuan muslim Indonesia pada masa Lampau terkait dengan keputusan mereka Demi memakai hijab atau Tak, kita akan sangat bijaksana Apabila mendorong para Perempuan sekarang Demi memilih memakai atau Tak memakai hijab bebas memilih berdasarkan preferensi pribadi. Artinya Apabila Terdapat yang meyakini bahwa selembar kain di atas kepala itu wajib Krusial dihargai, tetapi juga Krusial menghormati mereka yang memilih penafsiran Tak harus Terdapat selembar kain di atas kepala muslimah.
Karena itu, proses pemeriksan yang menyeluruh atas tindak kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di negeri ini Krusial dilakukan dengan memastikan adanya pertanggungjawaban pada individu pelaku ataupun institusi terkait. Hal itu Krusial Demi mencegah keberulangan. Guna pencegahan yang komprehensif, pemerintah daerah dan lembaga terkait disarankan segera mencabut kebijakan yang diskriminatif, khususnya yang berkaitan dengan pewajiban pengenaan jilbab. Langkah itu sangat Krusial, Demi memastikan lembaga/institusi yang ramah dalam menghargai keberagaman dan bebas kekerasan.
Jilbab telah menjadi bagian gaya hidup bagi banyak Perempuan muslimah di Indonesia, bukan hanya kelas bangsawan (ningrat), tetapi juga sudah menjadi pilihan berpakaian muslimah nonbangsawan, dan bahkan kalangan selebritas. Para selebritas tersebut kemudian menjadi acuan fesyen jilbab buat masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai takdir dan sunatullah. Ia Tak diminta, tetapi pemberian Tuhan Yang Mencipta, bukan Demi ditawar, melainkan Demi diterima (taken for granted). Keragaman dalam berbusana bagi Perempuan ialah sebuah kekayaan. Karagaman penafsiran Metode berbusana oleh umat Islam juga sebuah keniscayaan dan perlu disikapi sebagai rahmat. Kalau mengukur kesalehan Perempuan dengan selembar kain yang Terdapat di kepalanya, lantas bagaimana mengukur kesalehan seorang Lelaki?
Meyakini tafsir tunggal sebagai sebuah kebenaran dan dipaksakan pada orang lain berisiko mencederai keragaman pengalaman Perempuan dan dalam banyak kasus menyakitkan, merasa terteror, merasa terendahkan, dan merasa Tak sempurna. Upaya-upaya Perempuan melakukan negosiasi tentang jilbab, memahami tubuhnya, dan mendapatkan keadilan ialah sesuatu sangat relevan Demi dikuatkan. Terkadang tubuh Perempuan Tak dinilai, dikonstruksi, dan dihidupkan Kembali sebagai bagian dari ingatan Keyakinan, tetapi lebih pada sebuah komoditas yang datang dari stigma yang berat dari kehidupan beragama.
Berdasarkan pencermatan dari ragam, sejarah, perubahan, dan dinamika jilbab di Indonesia menunjukkan bahwa selembar kain di atas kepala Perempuan Tak selalu berhubungan dengan ketakwaan seseorang, tetapi juga berkelindan dengan politik, pencitraan kepemimpinan yang salehan, ekonomi dan bisnis, seksualitas dan sensualitas, dan kelas. Karena itu, sangat dibutuhkan kearifan dan kebijakan dalam menilai seseorang. Walaupun ajining rogo ono ing busono (harga diri tubuh seseorang tergantung dengan Metode berpakaian), Tak serta-merta selalu menilai atau menghakimi seseorang dari busana dan Metode mereka berbusana.

