Rokok dan Kemiskinan

Rokok dan Kemiskinan
Berlian I. Idris, Dokter, pengurus IDI Tangerang dan Policy Center Iluni FKUI(Dok Pribadi)

ROBERT Budi Hartono, orang terkaya di Republik ini yang merupakan pemilik produsen rokok Djarum, Enggak merokok. Demikian pula pemilik Tempat simpan Garam, Susilo Wonowidjojo, yang merupakan orang terkaya ke-14 di Indonesia. Argumen mereka sederhana: rokok berbahaya bagi kesehatan, sebagaimana tercantum pada kemasannya.

Sementara konsumen rokok terbanyak adalah rakyat miskin. Merokok adalah salah satu penyebab Primer kemiskinan. Pada rumah tangga miskin, rokok adalah pengeluaran terbesar kedua setelah makanan pokok seperti beras, mengalahkan belanja Kepada kebutuhan protein seperti telur, daging, ayam, hingga Mengerti dan tempe.

Kecukupan gizi anak dan keluarga sering kali dikalahkan oleh konsumsi rokok kepala keluarga. Seorang perokok jauh lebih mudah menderita serangan jantung, stroke, kanker dan penyakit paru, yang menyebabkan perokok Enggak produktif dan rentan Terperosok dalam kemiskinan.

Cek Artikel:  Good Bye Dunia Maritime Fulcrum

Baca juga: Bagaimana Kaum Muda Menormalisasi Menstruasi

Selain memperkaya pengusaha rokok, perokok ‘menyumbang’ cukai kepada negara Rp198,02 triliun selama tahun 2022, sementara sebagian besar mereka miskin atau rentan menjadi miskin. Ini sungguh ironis. Perlu langkah komprehensif Kepada mengurangi jumlah perokok yang Terang Enggak cukup dengan hanya Memajukan cukai rokok. Argumentasi mengenai Restriksi rokok yang dikatakan dapat merugikan rakyat kecil terasa hampa bila dihadapkan pada data bahwa korban terbesar dari rokok adalah rakyat kecil itu sendiri.

Lepas 31 Mei diperingati sebagai hari tanpa tembakau sedunia. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, dalam sepuluh tahun terakhir terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta di 2021. Pengendalian rokok di Indonesia jauh dari optimal. Ini terlihat misalnya dari iklan rokok yang jor-joran terutama di media luar ruang dan media daring. Selain itu penggunaan perisa pada rokok yang dilarang di sebagian besar negara marak sekali di Indonesia.

Cek Artikel:  Menggugat Independenitas Presiden

Baca juga: Bersiap Menghadapi Risiko Transisi Menuju Net Zero Emission

Kedua hal ini dapat menyebabkan orang terdorong Kepada mencoba merokok, sehingga menambah jumlah perokok baru. Mereka yang mencoba rentan Kepada menjadi perokok berkelanjutan karena adanya nikotin yang menyebabkan ketergantungan.

Sebenarnya Eksis Langkah komprehensif yang sudah terbukti efektif menurunkan jumlah perokok, yang dengan sendirinya mengurangi Pengaruh dari merokok. Ini tertuang dalam kerangka kerja konvensi pengendalian tembakau (FCTC) yang digagas oleh Organisasi Kesehatan Dunia WHO. Sungguh disayangkan, Indonesia adalah satu-satunya negara Asia yang belum menandatangani FCTC Serempak dengan hanya 8 negara lain, termasuk Somalia dan Sudan Selatan.

Selain harga dan cukai, konvensi ini mengatur tentang pengendalian permintaan dan pasokan rokok, iklan dan sponsorship rokok, kemasan dan pelabelan, kandungan produk tembakau, edukasi dan kesadaran publik, upaya berhenti merokok, perdagangan ilegal rokok hingga penjualan pada anak di Rendah umur.

Cek Artikel:  Pluralisme dalam Bermuhammadiyah

Menjadi tugas Negara Kepada melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan Lumrah. Bila kita memang Acuh akan Pengaruh rokok terutama terhadap rakyat miskin, kita Enggak perlu mencoba hal baru; kita Bisa mulai dengan menandatangani dan meratifikasi FCTC, kemudian konsisten melakukan kerangka kerja yang termaktub di dalamnya.

Mungkin Anda Menyukai