
SETIAP orang tentunya Mau terlihat keren. Tetapi, faktanya realitas kadang Bukan seindah impian. Terdapat saja kekurangan dalam diri kita. Entah hidung yang melesak ke dalam alias pesek, alis yang mencong sebelah, atau lemak di pipi dan perut yang menggelembung. Segala kekurangan itu kadang jadi bahan olok-olok. Bullying atau perundungan kalau istilah sekarang. Bukan hanya pada bentuk fisik, bahan Cemoohan itu kadang juga menyinggung status sosial, orientasi seksual, dan sebagainya.
Praktik bullying sudah Terdapat dari Era baheula dan terjadi di berbagai belahan dunia. Banyak Elemen yang memengaruhi, seperti nilai-nilai yang dianut dan ditanamkan dalam keluarga dan masyarakat, budaya, dan sebagainya. Bukankah dalam berbagai lakon pertunjukan kesenian, seperti lenong atau ludruk selalu saja Terdapat tokoh yang jadi bulan-bulanan jadi bahan Cemoohan Demi memancing tawa? Begitu juga dalam dunia lawak, kekurangan diri atau orang lain Bukan jarang dijadikan materi. Bahkan, yang lebih gila Kembali, dalam dunia sinetron adegan bullying Bukan jarang digambarkan dengan brutal, Berkualitas secara verbal maupun nonverbal.
Tayangan-tayangan semacam itu secara Bukan langsung tertanam dalam benak masyarakat dan turut memengaruhi perilaku sebagian dari kita. Satu hal yang mesti disadari, Kepribadian dan ketahanan mental tiap orang tidaklah sama, terlebih anak-anak dan remaja yang Tetap Bukan Konsisten jiwanya. Publik tentu belum lupa kasus seorang murid SD di Banyuwangi, Jawa Timur, yang bunuh diri karena sering di-bully lantaran Bukan punya Bapak. Kasus yang terjadi pada Maret 2023 ini tentu amat memprihatinkan dan Membangun kita miris.
Lingkungan sekolah yang Sebaiknya menjadi lembaga Demi mengasah Intelek dan budi pekerti siswa malah kerap kali jadi arena praktik-praktik mengerikan semacam itu. Federasi Perkumpulan Guru Indonesia (FSGI) mencatat sepanjang dua bulan pertama pada 2023 terdapat enam kasus perundungan atau kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Apa enggak bahaya tah?
Saya kira sudah saatnya Segala pihak Menurunkan perhatian serius terhadap permasalahan ini. Guru atau para pendidik tentu berperan mengawasi pergaulan siswa-siswi mereka. Terlebih Kembali ialah peran orangtua. Nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang harus ditanamkan sejak di rumah. Bagaimana anak Mempunyai rasa Asmara dan hormat pada orang lain Kalau saban hari yang ia terima hanya hardikan dan makian? Mungkin terdengar klise, tapi percayalah, pendidikan yang dilandasi rasa Asmara Bukan akan pernah sia-sia.
Selain guru dan orangtua, peran pekerja media juga Bukan kalah krusial, terutama produser televisi, kreator konten, ataupun rumah produksi. Buatlah tayangan yang mendidik, jangan semata mengejar cuan, rating, dan adsense. Bukankah Religi mengajarkan Demi menutupi kekurangan atau aib orang lain? Bukan malah dijadikan bahan olok-olok atau dipertontonkan supaya viral.
Perkembangan teknologi memang telah mengubah pola komunikasi dan perilaku Sosok. Tombol like, love, share, dan comment yang disematkan dalam berbagai aplikasi media sosial, seperti Facebook dan Instagram juga merupakan ujian sekaligus tantangan seberapa bijakkah kita dalam memanfaatkan fitur-fitur tersebut. Ia memang terlihat kecil dan sepele, tetapi besar dampaknya pada keselarasan Interaksi kita di ruang publik. Kalau Bukan hati-hati menggunakannya, ia Bukan hanya dapat memicu seseorang Demi bunuh diri, tetapi juga dapat memantik perang nuklir. Waspadalah.