DOKTER Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Hematologi-Onkologi (Kanker) dan Personil Dewan Pertimbangan PB IDI, Prof. Dr. dr. Zubairi Djoerban mengatakan pemberian obat dan pemeriksaan kesehatan bagi Orang Dengan HIV (ODHIV) tak perlu dilakukan sebulan sekali Demi meringankan beban psikologis dan ekonomis.
“Sebaiknya pasien HIV berbasis pelayanan kesehatan yang sudah Konsisten, Bukan perlu melakukan kontrol kesehatan sebulan sekali atau seminggu sekali melainkan boleh tiga bulan sekali agar lebih efektif dan efisien. Bagi ODHIV yang dulu mendapat kombinasi 3 obat, Dapat dikemas jadi 2 atau 1 pil sesuai dengan rekomendasi,” ungkapnya Media Briefing Berbarengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) di Jakarta pekan Lampau.
Menurut Zubairi, pengobatan sebulan sekali ke rumah sakit yang Ketika ini Tetap berlaku bagi ODHIV dapat menimbulkan rasa Kecewa dan kejenuhan serta memberatkan kondisi. Alih-alih menjadi Giat berobat, Malah Dapat memutus pengobatan bagi ODHIV.
Baca juga : HIV/AIDS: Gejala, Pencegahan, dan Pengobatan
“Ketika virusnya sudah terkontrol maka pemerintah harus Dapat mengupayakan agar pemeriksaan dan pengambilan obat dilakukan tiga bulan sekali saja Demi menghargai perasaan ODHIV. Pengobatan HIV dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sekali dalam sebulan ini Terang memberatkan dan Bukan nyaman, belum Kembali Kalau bicara biaya. Orang juga mempunyai rasa Jenuh,” jelasnya.
Menurut Zubairi, Ketika ini banyak ODHIV yang Mempunyai tubuh sehat Melampaui orang seumuran tanpa infeksi HIV. Kendati dianjurkan Demi melakukan pengobatan 3 bulan sekali, Tetap banyak ODHIV yang mengalami putus pengobatan. Disebutkan putus obat menjadi salah satu tantangan dalam penanganan kasus HIV/AIDS di Indonesia.
“Banyak Unsur penyebab mengapa terjadi putus obat, karena ODHIV merasa takut akan Dampak samping obat, Jenuh dengan pengobatan yang terlalu rutin, sulitnya akses obat karena Unsur ekonomi dan terbatasnya layanan fasilitas kesehatan,” jelasnya.
Demi meminimalisasi adanya keterputusan pengobatan ODHIV, Zubairi merekomendasikan berbagai fasilitas kesehatan menerapkan sistem partisipatoris dengan mengedepankan peran komunitas. Dalam hal ini, faskes harus menyiapkan relawan dan konselor-HIV.
“Pelayanan yang melihatkan peran komunitas sebagai relawan ini telah terbukti dapat membantu ODHIV Demi kembali mengakses obat ART dan menjaga agar Bukan putus berobat, begitupun dengan ODHIV pengguna Narkotika Dapat ditangani melalui pendekatan yang berbeda melalui peran komunitas,” ungkapnya. (H-2)