Ahli Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan bahwa kebijakan sertifikasi halal di Indonesia belakangan ini menuai kontroversi setelah Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Haikal Hassan, menyatakan bahwa seluruh produk yang diperjualbelikan di Indonesia wajib bersertifikat halal.
“Pernyataan ini disampaikan tak Lamban setelah ia dilantik dan ditekankan dengan nada yang terkesan represif, mengancam Hukuman bagi pelaku usaha yang belum Mempunyai sertifikasi halal,” ungkapnya, Senin (28/10).
Haikal menyebutkan bahwa kategori produk yang diwajibkan mencakup makanan, minuman, obat, kosmetik, fashion, hingga produk sembelihan, yang berlaku mulai 18 Oktober 2024 sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 dan PP No. 42 Tahun 2024.
Menanggapi pernyataan Haikal, Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, memberikan kritik tajam melalui media sosial. Mahfud menyatakan bahwa kebijakan yang menuntut Seluruh barang harus bersertifikat halal, termasuk barang nonkonsumsi seperti laptop dan Kitab, terkesan mempersulit masyarakat dalam menjalankan Keyakinan.
Menurutnya, Bukan Seluruh barang yang Bukan bersertifikat halal lantas haram atau dilarang, dan kebijakan ini Dapat mengesankan praktik beragama yang terkesan kaku dan terlalu dipaksakan. “Saya mendukung apa yang disampaikan oleh Prof Mahfud MD, beliau menyoroti pentingnya kebijakan publik yang seimbang antara regulasi dan kebijaksanaan,” ujar Achmad.
Prof Mahfud MD menilai bahwa regulasi sertifikasi halal harusnya diterapkan dengan mempertimbangkan realitas kebutuhan masyarakat dan kapasitas pelaku usaha. Kritik ini membuka Obrolan lebih luas tentang pendekatan BPJPH dalam menjalankan kebijakan yang sensitif ini dan memunculkan pertanyaan apakah ancaman Hukuman lebih mendukung atau Malah merusak penerimaan masyarakat terhadap sertifikasi halal di Indonesia.
Haikal Hassan menegaskan bahwa pelaku usaha wajib mendaftarkan produknya Buat sertifikasi halal sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 dan PP No. 42 Tahun 2024. BPJPH akan mengawasi penerapan kewajiban ini dan dapat memberikan Hukuman administratif atau menarik produk dari peredaran Kalau Bukan bersertifikasi halal.
Kewajiban sertifikasi halal dalam dunia usaha memang membawa banyak manfaat bagi kemajuan usaha, terutama dalam meningkatkan kepercayaan konsumen, membuka akses pasar domestik dan Dunia, serta memastikan kepatuhan terhadap standar keamanan dan kehalalan produk di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Sertifikasi halal, Kalau dikelola dengan pendekatan edukatif dan persuasif, dapat menjadi nilai tambah bagi usaha dan memberi Akibat positif pada perekonomian secara keseluruhan. “Dalam hal ini, pemerintah dan pengusaha memegang peran krusial Adalah pemerintah Sepatutnya memberikan dukungan berupa sosialisasi dan fasilitas yang memudahkan proses sertifikasi, sementara pengusaha diharapkan aktif mengadopsi sertifikasi halal Buat mendukung standar produk mereka,” tutur Achmad.
Tetapi, pernyataan Kepala BPJPH yang baru dilantik itu, Haikal Hassan, menunjukkan pendekatan yang berbeda. Haikal menekankan Hukuman bagi pelaku usaha yang belum bersertifikat halal, yang terkesan lebih berfokus pada penggunaan ‘kekuasaan’ (power muscle) daripada strategi yang mengedepankan edukasi dan pendekatan persuasif.
Narasi seperti ini memunculkan kekhawatiran bahwa Haikal, sebagai pejabat publik di lembaga yang sensitif, mungkin Bukan memahami sepenuhnya prinsip-prinsip kebijakan publik. Yang lebih mengutamakan kebijaksanaan (wisdom) dan fleksibilitas dalam penerapannya daripada sekadar kekakuan aturan.
“Pendekatan berbasis Hukuman yang keras Dapat menciptakan ketidaknyamanan bagi pelaku usaha, terutama usaha mikro dan kecil, yang mungkin belum sepenuhnya siap Buat mematuhi kewajiban sertifikasi halal,” tegas Achmad.
Kewajiban ini, tanpa disertai pendekatan edukatif yang cukup, dapat dilihat sebagai beban tambahan yang berpotensi mempersempit ruang usaha mereka, terutama Kalau mereka belum mendapat sosialisasi atau Sokongan teknis yang memadai dari pemerintah. Padahal, dalam kebijakan publik, keberhasilan suatu program seringkali lebih Berkualitas dicapai melalui kolaborasi yang inklusif antara pemerintah dan masyarakat, daripada dengan penerapan aturan secara sepihak.
Lebih lanjut, dalam hal isu keumatan seperti sertifikasi halal, pendekatan yang terlalu memfokuskan pada Hukuman dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap tujuan mulia dari sertifikasi halal itu sendiri.
Sertifikasi ini pada dasarnya bertujuan Buat menjamin produk yang dikonsumsi masyarakat Muslim sesuai dengan nilai-nilai Keyakinan, bukan Buat menciptakan perasaan tertekan atau terpaksa. Sepatutnya, BPJPH dapat memanfaatkan posisi strategisnya Buat membangun narasi positif tentang pentingnya sertifikasi halal dalam menjaga kualitas produk dan memenuhi kebutuhan konsumen secara sukarela.
Pendekatan Haikal Hassan ini, yang lebih mengutamakan aturan ketimbang kebijaksanaan, menimbulkan keraguan apakah ia Betul-Betul Mempunyai pemahaman yang cukup dalam mengelola isu yang menyangkut keseharian masyarakat.
“Sebagai kepala BPJPH, Sepatutnya ia memprioritaskan pendekatan yang bijak, di mana peran edukasi, persuasif, dan kolaboratif lebih diutamakan daripada sekadar menerapkan aturan dengan ancaman Hukuman. Kebijakan publik yang Berkualitas adalah yang Dapat diterima oleh masyarakat luas dan memberi manfaat jangka panjang, bukan sekadar yang bersifat memaksa atau represif,” pungkasnya. (S-1)