SEBENTAR lagi kita akan mengakhiri bulan suci Ramadan dan menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri. Setelah sebulan penuh kita berpuasa selama Ramadan dengan segala aktivitasnya, bagaimanakah bisa mengukur keberhasilan kita? Jawaban paling sederhana ialah dianggap berhasil jika tuntas melaksanakan puasa selama sebulan penuh, kecuali bagi yang sakit atau berhalangan. Kemudian, tetap menjalankan ibadah wajib lainnya seperti salat lima waktu, ibadah sunah seperti Tarawih, dan mengeluarkan zakat. Tentu saja, itu ialah jawaban dalam kerangka fiqih (fikih). Melaksanakan semua yang diwajibkan dan sedapat mungkin menjalankan yang disunahkan ialah prinsip dasar beragama, termasuk saat berpuasa pada Ramadan.
Akan tetapi, jawaban di atas belumlah paripurna jika kita menggunakan kerangka sosial atau muamalah. Berpuasa Ramadan bukanlah sebatas menahan makan minum sejak subuh hingga magrib. Kalau sebatas itu, berpuasanya memang sah, tidak batal, tetapi kualitasnya sangat minimal, ibaratnya hanya melewati passing grade.
Ayat 183 Surah Al-Baqarah menyebut, ‘…diwajibkan atas kamu sekalian untuk berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian menjadi orang yang bertakwa’. Penggalan terakhir, ‘agar menjadi orang yang bertakwa’ itulah yang tafsirnya bisa sangat konstekstual, melewati batas ruang dan waktu.
Definisi singkat bertakwa adalah menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah. Dalam tafsir sosial, menjalankan semua perintah agama itu tidak terbatas pada hal-hal yang sifatnya ritual ibadah seperti salat, berpuasa, dan zakat, yang termasuk dalam kategori hubungan manusia dengan Allah. Akan tetapi, itu juga termasuk pada perintah yang berhubungan dengan sesama manusia atau muamalah. Oleh karena itu, untuk berproses agar menjadi bertakwa, kaum muslimin haruslah lengkap menjalankan ibadah pokok dan sekaligus juga ibadah sosial atau muamalah. Di sinilah tafsir ibadah sosial bisa sangat luas, melewati batas ruang dan waktu.
Ramadan dan problem sosial
Ibadah sosial atau muamalah ialah bagaimana kita menerapkan prinsip agama pada berbagai aktivitas sosial sesama manusia. Misalnya, pada ranah hukum, agama memerintahkan untuk berbuat adil dan menegakkan keadilan. Hakim yang mengadili suatu perkara, misalnya, haruslah bisa menjatuhkan vonis yang benar menurut perundangan, sekaligus juga berkeadilan, dan bukan atas dasar pesanan pihak yang kuat dan menekan.
Para pejabat yang sedang merancang suatu undang-undang baru, misalnya, haruslah benar-benar mendengarkan aspirasi dari seluruh pemangku kepentingan dan pandai menerima masukan dan kritik dari berbagai elemen masyarakat. Personil legislatif, yang nantinya akan membahas dan menyetujui RUU tersebut, haruslah benar-benar mendasarkan persetujuannya pada aspirasi dan kepentingan rakyat, dan tidak tergiur oleh iming-iming dari pihak yang hendak memanfaatkan celah untuk kepentingan bisnis kelompoknya semata.
Eksis lagi munculnya gejala memudarnya rasa malu sehingga setiap hari kita disuguhi banyak berita yang paradoksal atau berlawanan. Misalnya, setiap hari kita disuguhi berita tentang tren flexing atau pamer kekayaan dan kemewahan oleh para seleb dan pejabat lewat media sosial, skandal keuangan misterius Rp349 triliun di sebuah kementerian yang dibongkar Menko Polhukam Mahfud MD, dan tertangkapnya para pejabat oleh operasi tangkap tangan KPK. Seluruhnya itu berkaitan dengan ketamakan, menumpuk kekayaan dengan cara melanggar hukum, dan dengan bangga memamerkannya ke publik tanpa merasa risih. Seluruh contoh kejadian itu sangat jauh dari nilai-nilai keagamaan.
Sementara itu, pada saat bersamaan kita juga disuguhi berbagai berita yang isinya tentang penderitaan, seperti besarnya jumlah anak penderita stunting atau tengkes, belum menurunnya prevalensi penyakit menular seperti Tb, malaria, dan HIV/AIDS, dan semakin besarnya kecenderungan penyakit katastropik menghabiskan dana jaminan kesehatan. Demikian juga halnya, terdapat berita mengenai masalah/gelombang PHK buruh pabrik, naiknya angka pengangguran, dan minimnya jumlah puskesmas dan dokter di wilayah tertentu sementara di wilayah lain jumlah dokternya berlebih. Itulah deretan penderitaan kaum fakir miskin yang terus saja terjadi hingga hari ini.
Pamer kekayaan ke publik atau skandal keuangan pejabat ialah soal ketamakan dan kemewahan, sementara skandal anak stunting ialah soal penderitaan dan kelaparan yang menerpa kaum duafa dan fakir miskin. Keluarga yang memiliki anak stunting hampir bisa dipastikan merupakan keluarga miskin yang tidak mampu untuk mengonsumsi makanan dengan nutrisi yang layak. Kalau untuk kebutuhan mendasar saja sudah tidak mampu memenuhi dengan layak, untuk kebutuhan sekunder seperti pendidikan untuk anak-anak mereka dan keperluan berobat jika sedang sakit pastilah juga mengalami kesulitan. Itulah problem nyata yang masih banyak dihadapi saudara kita.
Dua hal yang paradoksal itu terjadi setiap hari, bahkan selama Ramadan yang katanya penuh berkah ini. Akan tetapi, begitulah sifat naluriah manusia. Sekali celah batas etika dan kepatutan dilanggar dan tidak ada sanksi dari komunitas maka celah pelanggaran itu semakin lama semakin besar dan semakin terbiasa sehingga menjadi peristiwa biasa sehari-hari. Padahal jika dipahami, itu ialah mata rantai kekejaman moral.
Problem semacam itu tentu saja tidak hanya ada di negeri kita. Akan tetapi, itu juga merupakan problem global yang menerpa umat manusia di belahan bumi yang lain. Kemiskinan parah melanda banyak negara di Afrika dan Asia, yang selama puluhan tahun dilanda perang saudara dan pemberontakan, memunculkan gelombang pengungsian yang tiada henti, dengan risiko banyak sekali kapal imigran yang tenggelam.
Penderitaan seabadi bangsa Palestina di bawah penjajahan sistem apartheid pemerintah Israel, tingginya penderita penyakit Tb dan HIV/AIDS, tersendatnya peta jalan pengurangan emisi dunia karena perang Eropa-AS melawan Rusia di palagan Ukraina, dan kelaparan yang melanda berbagai kamp pengungsi yang banyak dikelola PBB. Juga, membengkaknya utang negara-negara miskin karena kebijakan fiskal negara-negara kaya dan maju, meroketnya harga pangan dan energi, dan di sisi lain para industrialis produsen senjata semakin makmur memanen keuntungan akibat peperangan. Tentu saja, masih banyak problem umat manusia lainnya. Bagaimana kita merenungkan kemelut umat manusia ini pada saat menjelang akhir Ramadan?
Ramadan dan perubahan sosial
Seluruh itu menjadikan kita bertanya: ibadah berpuasa dan ibadah lainnya selama Ramadan, ketika kita lebih banyak menahan diri, mengendalikan nafsu, dan tafakur dalam sepi bermunajat pada Tuhan, apakah punya dampak untuk memperbaiki berbagai problem manusia seperti disebutkan di atas?
Setelah sebulan berjihad mengendalikan hawa nafsu pada Ramadan, apakah kita bisa berubah menjadi manusia yang lebih baik? Di sinilah kemudian inti sari Ramadan dipertanyakan: sejauh manakah ibadah Ramadan ini bisa memengaruhi perubahan sosial? Apakah ibadah Ramadan kita berhasil menahan godaan untuk melanggar etika dan hukum?
Inilah problem klasik kita, yakni ibadah lebih banyak dijalankan sebagai aktivitas ritual semata, belum sampai menyentuh ke substansi misi atau hakikat. Menjalankan ibadah berpuasa Ramadan sebagai pemenuhan kewajiban dan menjalankan amalan pendukungnya tentu saja merupakan hal yang positif.
Akan tetapi, akan jauh lebih sempurna atau kaffah jika ibadah puasa Ramadan ini juga membawa perubahan pada perilaku, dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dan dari yang baik menjadi lebih unggul, dan seterusnya, sesuai dengan kalimat bijak ‘Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini, hingga bisa mendekati kesempurnaan’. Dari yang sebelumnya berlaku tidak adil menjadi lebih adil, dari yang sebelumnya egoistis mementingkan diri sediri menjadi lebih perhatian pada masyarakat sekitar yang kekurangan, dari yang sebelumnya berencana untuk korup menjadi membatalkan rencananya, dan seterusnya.
Kalau berpuasanya seluruh umat Islam Indonesia berhasil dengan baik dan sempurna, tentulah akan berdampak pada perbaikan kondisi sosial negeri ini. Korupsi akan semakin menurun, perekonomian semakin membaik, aparat penegak hukum akan semakin adil, dan pada akhirnya rakyat akan semakin aman dan sejahtera. Dengan demikian, puasa Ramadan akan membawa efek perubahan sosial yang lebih baik, memberi manfaat dan kebaikan pada seluruh umat.
Kalau bisa demikian, kita akan menutup Ramadan dengan penuh rasa syukur ke hadirat Allah dan kita akan merindukan kedatangan Ramadan berikutnya. Kita menyambut Idul Fitri dengan penuh kegembiraan karena yakin dan optimistis bisa membawa perubahan ke arah yang lebih positif, baik perubahan pada level individu maupun perubahan sosial.
Kita bisa istigfar, meminta maaf atas kesalahan yang pernah kita perbuat, sekaligus bisa memaafkan kesalahan orang lain, dengan hati yang ikhlas. Demikianlah yang kita harapkan, semoga Allah menerima ibadah Ramadan kita, melimpahkan rahmatnya, dan kita sambut Idul Fitri dengan penuh syukur Alhamdulillah. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.