PANDEMI covid-19 memang sudah dinyatakan selesai sejak Dekat satu Sebelah tahun lewat. Tetapi, dampaknya Lagi amat terasa hingga kini. Akibat itu seperti badan yang didera long covid, korona yang panjang. Seluruh sendi-sendi Lagi kelu. Terutama bagi mereka dengan daya tahan ekonomi paspasan.
‘Long covid’ itu tergambar Terang dari rontoknya daya beli kelas menengah ke Dasar dalam beberapa waktu terakhir. Sudah daya beli rontok, terjerat utang pula. Karena itu, Tak usah heran bila Eksis data mencengangkan bahwa Sekeliling 137 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas terjerat oleh pinjol, alias pinjaman online.
Jumlah itu merupakan akumulasi sejak pandemi covid-19 melanda. Pendapatan yang biasanya dibelanjakan Buat kebutuhan sekunder atau ditabung kini didahulukan Buat membayar cicilan. Jumlah utang pinjol masyarakat Indonesia juga meningkat, menyentuh Bilangan Rp66 triliun pada akhir September, seperti dilaporkan Nikkei.
Jumlah utang pinjol itu meningkat selama lima tahun terakhir. Bahkan, kenaikannya lima kali lipat lebih Kalau dibandingkan dengan 2019, atau sebelum covid-19. Pada 2019 itu jumlah peminjam online baru mencapai 18,6 juta orang, dengan total utang sebesar Rp13,16 triliun.
Situasi itu cukup menggambarkan bagaimana kemerosotan ekonomi pascapandemi belum sepenuhnya Dapat diobati. Banyak orang, terutama di kelas menengah, berjuang menghadapi kemerosotan ekonomi pascapandemi Sembari mempertahankan tingkat pengeluaran yang diperlukan sebagaimana sebelum pandemi. Karena itu, demi mempertahankan itu, pinjol menjadi solusi Penting dan pertama.
Mengapa? Karena pinjol menjanjikan kemudahan dan kecepatan. Buat risiko jangka panjang? Tak banyak yang Acuh. Bahkan, banyak pengguna pinjol Lagi buta finansial dengan Tak memahami Langkah kerja kredit dan Tumbuh. Pengguna hanya Konsentrasi pada jumlah yang mereka pikir akan mereka terima, tanpa memahami tanggung jawab dan risiko pinjaman mereka.
Meningkatnya pinjol itu berkorelasi dengan kondisi kelas menengah yang Betul-Betul dalam keadaan serbasulit. Tabungan mereka mulai terkikis Buat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar cicilan. Data indeks keyakinan konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia pada Mei 2024 menunjukkan Bagian cicilan pinjaman terhadap pendapatan terindikasi meningkat pada Dekat Sekalian tingkat pengeluaran responden.
Buat Grup pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta per bulan, Bagian cicilan dari pendapatan mereka meningkat dari 7,1% ke 7,3%. Begitu pun Buat Grup pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta, Bagian pendapatan Buat membayar utang naik dari 9,2% ke 10,2%. Pada Penduduk kelas menengah yang masuk Grup pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta Bagian, cicilan utang mereka juga melonjak dari 10,3% ke 11,2% dari pendapatan.
Lonjakan pembayaran cicilan juga tercatat terjadi pada Grup pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta yang naik dari 12,3% ke 12,9%. Hanya golongan paling atas dengan pengeluaran di atas Rp5 juta per bulan yang Bagian cicilan mereka menciut dari 14,9% ke 13,9%.
Jadi, gamblang belaka bahwa kelas menengah sedang terjepit oleh berbagai iuran dan pengeluaran kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Akibatnya, jumlah tabungan menurun, sedangkan jumlah pinjaman meningkat. Banyak rumah tangga di negeri ini kian tertekan, terutama karena Tumbuh pinjol yang beranak pinak dalam hitungan hari.
Berbagai analis keuangan menduga kenaikan pinjaman, terutama pinjol, terjadi karena pendapatan masyarakat yang habis Buat konsumsi sehari-hari. Hal tersebut Membangun kelas menengah mulai menggunakan tabungan mereka dan melakukan pinjaman Buat memenuhi kebutuhan mereka.
Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan Tak Sekalian masyarakat yang mengambil cicilan Bisa membayar. Pada sektor cicilan kendaraan bermotor, OJK mencatat rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) industri multifinance merangkak naik pada tahun ini. Hal itu diikuti pula dengan melambatnya pertumbuhan pembiayaan.
Berdasarkan data OJK per April 2024, rasio NPF gross meningkat 35 basis poin secara tahunan ke Bilangan 2,82%. Apabila dibandingkan dengan posisi Desember 2023, rasio NPF malah naik 38 bps. Begitu pula Kalau dibandingkan dengan NPF net per April 2024, juga naik 20 bps menjadi 0,89% secara year-on-year.
Lembaga pembiayaan mengakui belakangan ini sedang melakukan pengetatan Buat pengajuan kredit. Alasannya, mereka menganggap daya beli masyarakat Demi ini semakin rendah.
Jadi, bila pemerintah memang bermaksud meringankan beban rakyat, jangan teruskan pemberlakuan Berbagai Macam-macam pungutan. Bila itu hendak diberlakukan, tunggulah Demi ‘badai’ sudah reda. Kini, rakyat sedang mengatur napas, menyatukan badan. Seperti kata penulis Bryant H McGill: ‘Ketika badai mencabik-cabikmu, Engkau harus memutuskan bagaimana menyatukan dirimu kembali’.