DISKUSI mengenai generasi milenial belakangan makin sering dilakukan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Hal itu berkaitan dengan kemunculan sebuah generasi yang terutama diasosiasikan sebagai generasi yang dikenal sebagai digital native alias mereka yang saat lahir dan tumbuh menjelang dewasa sudah bersama dengan perkembangan dunia digital. Internet, telpon seluler, dan medium digital lainnya mendahului kelahiran mereka. Itu berbeda dengan generasi sebelumnya yang disebut sebagai digital immigrant, yaitu mereka yang menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia digital sebagai orang dewasa.
Generasi milenial ini, dalam definisi yang digunakan beberapa lembaga seperti Harvard University dan juga Pew Research, adalah mereka yang hari ini kurang lebih berusia antara 17 dan 29 tahun. Kategorisasi berdasarkan umur itu tentu bukan kategori paling ideal, tetapi cukup berimpitan dengan periode perkembangan teknologi yang sangat pesatnya sejak dua hingga tiga dekade terakhir. Karena mereka tumbuh besar dalam setting teknologi yang telah berkembang sedemikian rupa, cukup aman untuk mengasumsikan bahwa ada pola perilaku dan cara pandang yang berbeda antara generasi milenial ini dan generasi nonmilenial dalam memahami dan menyelesaikan persoalan.
Banyak asumsi, yang sebetulnya berkembang di negara-negara yang lebih maju secara ekonomi dan teknologi, bahwa generasi itu ialah generasi yang menjadi lebih cekatan, efisien, dan tentu saja sangat berorientasi teknologi. Juga terdapat asumsi bahwa karena ekspose pada informasi yang sangat beragam, generasi itu mungkin akan lebih terbuka pada yang berbeda karena mereka tumbuh besar dengan beragam-ragam informasi yang tersedia secara instan.
Karena kepesatan perkembangannya, kita juga telah menyaksikan perluasan disruptive technology yang menjungkirkan cara-cara lama bisnis dan ekonomi dijalankan, yang dampaknya merambah pada nyaris semua aspek hubungan sosial, politik, dan kemasyarakatan yang skala dan besarannya di Indonesia belum bisa sepenuhnya dipahami, apalagi diantisipasi.
Dugaan lain ialah bahwa mereka mungkin akan menjadi generasi yang akan memuja kebebasan individual karena sejatinya internet menciptakan lingkungan dengan low-barrier to entry. Siapa saja, baik mereka yang berpendidikan tinggi atau rendah, ahli atau tidak ahli dalam suatu bidang tertentu, akan bisa memanfaatkan internet untuk berdagang, menyampaikan pendapat, mengorganisasi dan memobilisasi sebuah gerakan dan lainnya sepanjang akses kepada internet tersedia. Karena itu, platform internet memungkinkan munculnya wisdom of the crowd. Ide-ide yang baik bisa muncul dari penjuru yang tidak terduga karena internet memungkinkan ide muncul dan tersebar dari siapa pun. Akan tetapi, toh, setiap koin memiliki dua sisi, tentu generasi milenial juga lebih mudah terekspos pada sisi buruk dari internet.
Generasi milenial di Indonesia
Persoalannya, apakah asumsi-asumsi itu berlaku terhadap generasi milenial di Indonesia, setidaknya hari ini? Seberapa jauh mereka berbeda dari generasi nonmilenial?
CSIS baru saja merilis hasil survei nasional di 34 provinsi pada 23-30 Agustus 2017 yang dikhususkan untuk menyasar generasi milenial di Indonesia yang masuk ke kelompok usia 17-29 tahun tersebut. Beberapa temuan menarik bisa disampaikan. Pertama, pada banyak hal, generasi milenial di Indonesia tidak terlalu berbeda dari generasi nonmilenial. Dari survei itu diketahui bahwa tingkat optimisme terhadap masa depan dari kedua generasi itu sama tingginya.
Kurang lebih 95% dari generasi milenial menyatakan bahwa mereka optimistis pada masa depan Indonesia. Persentase yang sama juga ditemukan pada generasi nonmilenial. Pandangan terhadap pemerintahan hari ini agak berbeda. Kurang lebih 75% dari generasi milenial itu menyatakan optimistis bahwa pemerintahan Jokowi-JK bisa meningkatkan kesejahteraan, lebih sedikit dari kurang lebih 78% generasi nonmilenial yang menyatakan hal sama. Dengan kata lain, kelompok umur milenial itu lebih skeptis jika dibandingkan dengan kelompok umur nonmilenial.
Intervensi menarik kedua ialah bahwa generasi milenial kita paling meminati kegiatan olahraga (30,8%) dan musik (19%). Itu berbeda jauh dari generasi nonmilenial berusia 30 tahun ke atas yang hanya 18,3% dari mereka menyatakan menyukai olahraga dan 9,4% menyatakan suka musik.
Sementara itu, generasi nonmilenial berusia 30 tahun ke atas ini paling meminati kegiatan keagamaan, dengan 23,8% dari mereka menyatakan itu. Sementara itu, hanya 6,5% dari generasi milenial kita yang menyatakan kegiatan keagamaan sebagai hal yang paling mereka minati. Tentu diperlukan penelitian lebih jauh mengenai hal ini. Akan tetapi, hal itu mungkin merupakan representasi dari fenomena lain di Indonesia yang memperlihatkan peningkatan religiositas dan, pada derajat tertentu, konservatisme di sebagian kalangan.
Generasi milenial tidak berbeda dengan generasi nonmilenial dalam hal pandangan terhadap pemimpin yang berbeda agama. Sama seperti generasi nonmilenial, hanya ada kurang lebih 30% dari mereka yang menyatakan bisa menerima pemimpin yang berbeda agama dari mereka. Sisanya menyatakan tidak bisa menerima hal itu. Info menggembirakan dari generasi milenial ini ialah lebih dari 90% menolak apabila Pancasila digantikan ideologi lain.
Intervensi penting ketiga berkaitan dengan adanya asumsi bahwa teknologi itu akan mendekatkan jarak dan sebagai akibatnya generasi milenial ialah generasi yang merasa siap berkompetisi dan menjadi ‘warga negara’ global (global citizens), bisa menerima konsekuensi globalisasi semisal beroperasinya perusahaan-perusahaan asing di Indonesia (yang mungkin mereka bisa ikut bekerja di dalamnya) dan juga dengan masuknya pekerja asing dalam berbagai level tentunya dengan pandangan sebaliknya bahwa mereka juga siap berkompetisi menjadi ekspatriat di luar Indonesia.
Tetapi, survei itu memperlihatkan gambaran yang campur aduk dan inkonsisten. Misalnya, 76% responden generasi milenial itu menyatakan Indonesia siap bersaing secara global. Di sisi lain, pandangan mereka mengenai produk dan perusahaan asing di Indonesia terbelah, kurang lebih 50:50 bahwa dua hal itu menguntungkan/merugikan Indonesia. Bahkan 77,7% dari mereka menyatakan pekerja asing akan merugikan perekonomian Indonesia.
Nomor itu mungkin mencerminkan ketiadaan pemahaman bahwa ada sejuta lebih orang Indonesia yang bekerja di berbagai tempat juga di dunia. Generasi milenial juga tidak bisa melepaskan diri dari irasionalitas kolektif di Indonesia mengenai ekonomi. Kurang lebih 30% dari mereka menyatakan kerja sama dengan Amerika Perkumpulan merugikan Indonesia dan hanya 14,3% yang menyatakan kerja sama dengan ‘Negeri Om Sam’ itu menguntungkan Indonesia.
Pandangan yang kurang lebih sama diperlihatkan terhadap Tiongkok. Sebanyak 32,8% dari generasi milenial itu menyatakan bahwa kerja sama dengan Tiongkok merugikan Indonesia dan hanya 11,7% yang menyatakan hal itu menguntungkan Indonesia. Sementara itu, pada kenyataannya dua negara ini ialah pusat pertumbuhan ekonomi dunia, target ekspor, dan juga sumber investasi utama tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi banyak negara di dunia. Negara yang oleh generasi milenial dianggap paling menguntungkan bagi Indonesia untuk bekerja sama ialah Arab Saudi. Dengan demikian, memperbesar rasionalitas ekonomi dan menempatkan pandangan primordial pada proporsi yang lebih pas ialah dua hal yang masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama dalam memajukan perekonomian.
Survei yang dilakukan CSIS ini ialah yang pertama kali diadakan dalam konteks Indonesia karena generasi milenial dengan keunikan karakter dan perilakunya ialah hal baru yang belum dipahami sepenuhnya. Jadi, survei itu lebih banyak melahirkan banyak pertanyaan baru jika dibandingkan dengan memberi jawaban. Menjadi tugas dari lembaga riset dan pengambil kebijakan untuk bersama-sama melanjutkan usaha memahami mereka agar bisa dilahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat memfasilitasi, dan bukan membatasi, potensi dan daya kreativitas mereka yang berbeda dari generasi sebelumnya.