‘MAAF’ sejatinya menjadi satu kata yang begitu ditunggu-tunggu publik dari pemerintah seusai insiden peretasan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 yang terjadi sejak 20 Juni lalu. Tetapi, hingga bulan berganti, kata sakti itu tak jua terucap lantang.
Terdapat permintaan maaf, tapi bukan secara resmi disampaikan pemerintah, terutama dari mereka yang semestinya bertanggung jawab langsung atas kegagalan menjaga aset data digital negara tersebut. Yang muncul justru perlombaan ngeles, saling menyalahkan, lempar tanggung jawab, dan ujungnya janji basi untuk melakukan evaluasi.
Di awal-awal insiden peretasan, Kementerian Komunikasi dan Informatika sempat meminta maaf terkait dengan layanan imigrasi yang sempat terganggu akibat serangan ke PDNS. Lampau, lima hari setelah peretasan, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian juga mengucap maaf karena PDNS diretas dan mengakibatkan sejumlah layanan publik terganggu. Tetapi, keduanya bukan ungkapan maaf untuk kegagalan mereka dalam melaksanakan tugas menjaga dan melindungi pusat data.
Padahal, dampak dari serangan tersebut teramat dahsyat. Jebolnya PDNS oleh serangan ransomware itu sedikitnya berdampak terhadap 282 layanan institusi pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, dapat berisiko merugikan warga negara dalam beberapa aspek seperti pelanggaran kerahasiaan atau pengungkapan data pribadi secara tidak sah ataupun tidak disengaja. Sejauh ini, penguncian data itu belum bisa dipulihkan.
Yang menjadi ironi, ungkapan maaf malah muncul dari si peretas alias hacker yang mengaku menyerang server PDNS. “Masyarakat Indonesia, kami meminta maaf atas fakta bahwa (serangan) ini berdampak ke semua orang,” begitu kata ransomware geng Brain Chiper dalam bahasa Inggris yang diunggah akun @StealthMole pada platform X, Selasa (2/7). Mereka juga berjanji akan memberikan kunci akses data-data pemerintah yang dienkripsi secara cuma-cuma.
Bolehlah kita bilang kelompok itu sebagai hacker santun jika memang permintaan maaf yang mereka rilis didasari ketulusan. Tetapi, boleh jadi itu hanya sebuah manuver baru, berpura-pura meminta maaf demi tujuan lebih besar yang sedang mereka incar. Ibarat guyonan lama soal bajaj, hanya sopir dan Tuhan yang tahu manuver itu bakal mengarah ke mana.
Tetapi, terlepas dari apa pun motif mereka, tetap saja ungkapan maaf dari pihak penyerang itu menjadi sindiran telak buat pemerintah. Kebatuan pemerintah yang keukeuh tidak mau minta maaf atas insiden besar itu nyatanya malah dimanfaatkan oleh si penjahat untuk menarik simpati publik. Sebaliknya, simpati dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin anjlok.
Dalam konteks itu, saya sepakat dengan cibiran politikus PDIP Adian Napitupulu. Intinya ia menyebut hanya terjadi di Indonesia peretas minta maaf, tetapi menteri yang seharusnya bertanggung jawab malah enggan. ‘Hanya di Indonesia hacker minta maaf, menteri kagak. Inikah yang disebut Indonesia maju?’, tulis Adian yang diunggah di akun Instagram pribadinya, @adian__napitupulu, Selasa (2/7).
Oke, kalau ucapan maaf belum ada, lantas bagaimana dengan kabar desakan publik dan parlemen agar Menkominfo Budi Arie Loyaldi mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegagalan pemerintah menjaga ‘pusaka’ negara berupa data digital itu? Tampaknya, sih, makin mustahil dilakukan. Minta maaf saja berat, apalagi disuruh mundur. Sorry, ye.
Kembali pula, kata orang, mengundurkan diri bukan budaya pejabat Indonesia. Pejabat mundur menjadi barang langka di negeri ini. Saking langkanya, keengganan mundur bagi pejabat bermasalah seolah menjadi sebuah standar moralitas baru. Seakan-akan mereka boleh saja mempertahankan kursi empuk jabatan sekalipun gagal mengemban tanggung jawab atau ada setumpuk kesalahan, pelanggaran, kelalaian yang mereka lakukan saat berada di kursi jabatan itu.
Rakyat harus mafhum meskipun sehari-sehari berkutat dengan urusan berbau digital yang serbamodern, Menteri Budi tidak ada bedanya dengan rata-rata pejabat kita yang kolot dan selalu kukuh memegang prinsip: kalau masih bisa lanjut, kenapa harus mundur? Mundur hanya buat orang-orang lemah, kata mereka.
Meski jelas-jelas gagal, walau nyata-nyata membuat kesilapan, kendati dibilang anggota DPR telah melakukan kebodohan nasional, sangat mungkin dia tak punya kehendak untuk mundur. Apalagi dia berasal dari organisasi yang dikenal sebagai pendukung die hard Presiden Joko Widodo. Tentu ‘keamanan’ posisi dia boleh dikatakan sangat terjamin. Kiranya Presiden sama enggannya untuk menyuruh dia mengundurkan diri.
Kalaupun terus dipaksa melakukan dua hal berat itu, minta maaf dan mundur, saya khawatir pada akhirnya dia malah akan menjawab dengan memodifikasi kalimatnya menggunakan dua kata itu. “Ampun, saya tidak mau mundur.” Nah, lo, makin runyam jadinya, kan?