TANGGAL 14 Februari 2024 adalah momen sakral bagi rakyat Indonesia. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Mengertin 2017, pada tanggal itu warga Indonesia akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota. Pesta demokrasi lima tahunan kali ini akan diikuti lebih dari 204 juta pemilih yang tersebar di 38 provinsi, 514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan, 83.771 desa, serta melibatkan 18 partai politik nasional dan 6 partai lokal Aceh.
Pemilu Indonesia memang terkenal dengan kerumitan dan kompleksitasnya. Itulah sebabnya pemilu di negeri ini selalu menjadi sorotan dunia luar, yang selalu ingin memonitor dan mengkaji sejauh mana sirkulasi elite terjaga secara esensial untuk memotret perkembangan dan tingkat kematangan proses berdemokrasi di Indonesia.
Bagi rakyat, pemilu merupakan ‘perlawanan’ demokrasi ala rakyat untuk mempertahankan ruang sirkulasi elite demi lahirnya kepemimpinan politik baru yang lebih adaptif, responsif, dan menjanjikan dalam konteks kesejahteraan rakyat.
Baca juga : Mencoblos dengan Nurani
Kita tahu di dalam masyarakat demokrasi selalu dibutuhkan sirkulasi elite karena di dalam diri masyarakat selalu melekat hukum alam terjadinya berbagai ‘gejolak’ sebagai–apa yang disebut Pareto–residu yang tak bisa ditahan baik dari individu maupun elite (kelas atas-bawah), yang di satu sisi akan melorotkan kelas kekuasaan. Dan, di sisi lain, akan meningkatkan kualitas superior pada kelompok yang lain (Vilfredo Pareto, 1939).
Residu itu yakni sikap dan perilaku, kelicikan, kebohongan, kekerasan atau ‘rentenir’ kekuasaan, yang menghalalkan segala cara seperti ‘rubah’ dan ‘singa’ sebagaimana juga ditegaskan Machiavelli. Maka itu, perlu ada pergantian antar-elite, baik itu, (1) di antara elite yang memerintah itu sendiri maupun (2) di antara elite dengan penduduk lainnya, termasuk individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru.
Baca juga : Serempak Niscayakan Perubahan
Mengembalikan daulat rakyat
Selain itu, pemilu merupakan arena membangun posisi tawar politik etik bagi rakyat terhadap berbagai fenomena para elite dalam menjalankan dan mempertahankan kekuasaan. Di ruang ini kerap terjadi paradoks, di mana para elite memperjuangkan demokrasi dengan mereduksi prinsip demokrasi itu sendiri, mempermainkan kedaulatan rakyat.
Politik dijadikan ‘ruang bermain’ untuk berjudi dengan asumsi dan perhitungan pragmatis demi pemenuhan syahwat sempit kekuasaan, sembari menafikan perangkat moral dan etik berkuasa. Itulah sebabnya politik seperti ‘teori permainan’ (SP Varma, 2001), yang mengandung dua makna. (1) Politik seperti bermain catur. Seorang pemain catur yang terbaik selalu menggunakan asumsi sebagai strategi dan perhitungan. Maka, ia bisa mendapat informasi atau membuat keputusan yang keliru sebagai informasi dan keputusan yang benar, atau sebaliknya. (2) Karena ia berdasarkan asumsi dan pengalaman, permainan politik tidak tertarik pada etika, tetapi hanya pada apa yang disebutnya sebagai ‘etika situasi’. Pemain menaruh perhatian pada hasil dan bukan pada proses lanjutan yang berujung pada penggenapan etika kebaikan bersama. Aturan, kepatutan, norma, dan standar nilai kepublikan bukanlah hal yang fundamental dalam politik. Yang lebih utama ialah berhasilnya akumulasi dan pelanggengan kekuasaan dengan menyalahgunakan kedaulatan rakyat.
Baca juga : Potret Suram Perwasitan Asia
Karenanya, Pemilu 2024 merupakan upaya rakyat untuk mengembalikan hak daulat rakyat. Sebagai direct voters rakyat Indonesia tentu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas demokrasi tersebut. Setelah lima tahun menjadi spektator (penonton) dan penilai (jurish) dalam arena kekuasaan dan pemerintahan, saatnya rakyat kembali menentukan sikap politik dan mengadili para elite/pejabat dimaksud.
Dalam negara demokrasi modern, pemilu adalah sebuah keniscayaan politik untuk mengoreksi performa kekuasaan. Dan, dalam proses mentransformasikan kekuasaan itu, pemilu yang demokratis selalu mengandung kebutuhan sekaligus harapan ‘profetik’ untuk: memperoleh opsi kebijakan yang terbaik dari yang lain. Terdapat inisiatif untuk mempertanggungjawabkan segala kebijakan yang sudah dibuat dan dihasilkan kepada rakyat dan memperkuat basis kedaulatan rakyat sesuai prinsip demokrasi (Alemika, Etannibi, 2006).
Tiga prinsip tersebut tak hanya menjadi tuntunan demokrasi rakyat ke bilik suara, tetapi juga merupakan tuntutan bagi para elite untuk menjaga dan menghargai suara publik atau rakyat. Bagi para elite, harus disadari bahwa menghargai (suara/kepentingan) rakyat tidak hanya dalam bentuk mengusung kepentingan rakyat dalam berbagai kemasan program, janji-janji politik kampanye yang populis, dan menghanyutkan emosi dan kesadaran di tengah lautan massa rakyat. Tetapi yang lebih fundamental dari semua itu ialah bagaimana menjadikan posisi rakyat sebagai sentrum dari seluruh prosesi demokrasi elektoral.
Baca juga : Orkestrasi Moral
Jantung politik
Perwujudan dari kesadaran tersebut dapat diuji dari misalnya bagaimana memosisikan suara rakyat sebagai ‘jantung’ kerja politik dan demokrasi. Bunyi rakyat tak hanya sebagai gambaran kuantitatif, yang dimasukkan dalam proses perhitungan elektabilitas atau suara pemilu. Bukanlah semata bilangan yang dikomoditifikasi dalam ikhtiar mendapatkan kemenangan elektoral pemilu an-sich sehingga suara rakyat kadang harus dibarter dengan uang, bantuan, barang demi elektabilitas.
Baca juga : Greenflation dan Kompleksitas Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Tetapi, suara rakyat merupakan jiwa, roh politik dan demokrasi itu sendiri yang mengandung pemihakan prinsipal pada nilai ketulusan, kejujuran, empati, kemanusiaan, egaliter, keadilan, dan tanggung jawab pada perwujudan kesejahteraan untuk semua. Ia tentu melampaui batas imajiner kemenangan angka suara yang kerap dikamuflase dalam bahasa-bahasa politik populis di sejumlah forum atau kampanye, yang sesungguhnya hanya ditujukan untuk kepentingan politik atau kekuasaan sempit.
Di dalam dirinya, politik dan demokrasi memang mengandung nilai promotif, yakni sederet janji untuk menyelesaikan dan menjawab persoalan praksis publik (misalnya memberikan makan, sekolah gratis, menyediakan pekerjaan, hunian, tunjangan kesehatan, dll). Tetapi, berupaya mewujudkan prinsip tersebut tanpa disertai upaya kontemplatif-reflektif sama seperti bergeraknya raga yang liar ke mana-mana, tanpa tuntunan jiwa (Lele, 2023).
Maka, nilai-nilai emansipasi, kebebasan, hak bersuara adalah bagian penting jiwa dan roh yang inheren di dalam proses mewujudkan demokratisasi. Bunyi rakyat bukanlah komoditas politik. Ia adalah nilai rasa terdalam yang menuntun, memberi napas etik dan moral pada politik untuk bergerak dan bekerja dalam panggilan kemanusiaan-populis.
Baca juga : Menunggu Persembahan Terakhir Juergen Klopp
Semoga rakyat Indonesia bisa memilih pemimpinnya dengan rasa, berdasarkan nurani, dengan riang-gembira, demi menjemput impian perubahan menuju Indonesia yang makmur dan sejahtera. Amin.