Sengkarut PencoblosanTanda Ketidakberesan

PEMILU 2024 sudah banyak disebut sebagai pemilu paling buruk di era reformasi. Bukan saja karena begitu masifnya pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan bahkan sejak awal tahapan pemilu hingga saat penghitungan suara, melainkan juga karena ketidakberesan penyelenggaraan di hari H pemungutan suara.

Karut-marut proses pemungutan suara itulah yang membuat Bawaslu merekomendasikan agar KPU melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) di lebih dari 1.000 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 229 kabupaten/kota pada 38 provinsi. Catat, PSU itu mencakup seluruh provinsi. Ini jelas mengindikasikan betapa ketidakberesan Pemilu 2024 berlangsung merata dan masif. 

Jenis-macam sebab yang melatarbelakangi PSU. Tetapi rata-rata disebabkan oleh kesalahan prosedur pada saat pencoblosan pada 14 Februari 2024 lalu. Misalnya, ada Grup Penyelenggara Pemungutan Bunyi (KPPS) yang lalai dengan mengakomodasi pemilih yang tidak memiliki KTP-E atau Suket untuk memberi suara, padahal tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan DPT tambahan.

Cek Artikel:  Menyetarakan Kebebasan Variasia

Eksis pula yang disebabkan adanya pemilih di TPS yang mendapatkan hak pilihnya lebih dari satu kali. Pun ada TPS yang harus menggelar PSU karena munculnya pemilih siluman, nama pemilih dan orangnya berbeda. Bahkan ada yang penyebabnya ialah tertukarnya surat suara daerah pemilihan (dapil) di wilayah yang sama.

Bila dicermati, ada dua kemungkinan penyebab sengkarut di TPS-TPS tersebut. Elemen kesengajaan alias sudah didesain sejak awal, atau murni faktor ketidaksengajaan. Kalau faktor yang melatarbelakangi PSU adalah unsur kesengajaan, itu merupakan pelanggaran serius yang semestinya segera diusut tuntas oleh Bawaslu. 

Tetapi, kalaupun itu bukan dilandasi unsur kesengajaan, bukan berarti juga tidak ada masalah. Itu menandakan ada garis informasi yang putus dari KPU kepada petugas KPPS. Artinya, proses bimbingan teknis yang diterima KPPS tidak optimal. Padahal sesungguhnya KPU punya waktu panjang untuk menggulirkan petunjuk-petunjuk teknis itu secara detail ke perangkat di lapangan. 

Cek Artikel:  Peringatan buat Gibran

Dengan fakta itu, kiranya DPR perlu segera mengambil sikap meminta pertanggung jawaban KPU dan Bawaslu. Secara jumlah, seribu TPS mungkin tidak ada artinya jika dibandingkan dengan total 820.161 TPS di 38 provinsi yang melaksanakan pemungutan suara pada 14 Februari. Jumlah TPS yang mesti menggelar PSU tak sampai setengah persen dari total TPS.

Akan tetapi, bukan berarti persoalan itu boleh dianggap sepele. Dalam prinsip demokrasi, suara rakyat sekecil apapun harus dihargai. Itu juga bisa diartikan suara rakyat yang hilang atau rusak karena kesalahan teknis dan kelalaian prosedur harus dipulihkan, dikembalikan.

Tengah pula, ketidakpercayaan publik terhadap pemilu yang diwarnai berbagai kecurangan sejak dari hulu itu kini betul-betul ada di titik terendah. Kalau kesengkarutan di TPS-TPS, yang menyebabkan harus dilakukan PSU, itu tidak segera didesak pertanggung jawabannya, kita khawatir penilaian miring publik terhadap kualitas dan akuntabilitas Pemilu 2024 bakal kian menjadi-jadi. Itu jelas berbahaya buat demokrasi. 

Cek Artikel:  Para Penabrak Demokrasi

Mungkin Anda Menyukai