MASIF dan sistematisnya dugaan kecurangan dalam Pemilihan Biasa 2024 membutuhkan evaluasi dan koreksi yang menyeluruh serta mendalam. Kagak hanya lewat jalur sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, koreksi atas proses pemilu juga dibutuhkan melalui jalur politik.
Jalur politik melalui penggunaan Hak Angket yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat akan lebih menyeluruh untuk mengungkap kecurangan yang sistematis dari hulu ke hilir dalam pelaksanaan pemilu. Pasalnya, proses sengketa di MK hanya berpatokan pada hasil-hasil rekapitulasi suara secara nasional yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Biasa. Sementara itu, sengketa terkait dengan proses pemilu bukan menjadi kewenangan MK.
Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Biasa (PHPU) di MK jelas tidak bisa untuk membongkar penyalahgunaan APBN untuk kepentingan elektoral seperti yang diduga digunakan untuk menaikkan gaji ASN, kebijakan mengguyur dana bansos yang ditengarai untuk pemenangan kandidat di pilpres, hingga dugaan cawe-cawe Presiden di MK untuk memuluskan pancalonan anaknya Gibran Rakabuming Raka.
Kebijakan bansos yang menerabas undang-undang APBN seperti yang disampaikan calon wakil presiden Mahfud MD bisa menjadi pintu masuk kuat menjadi hak angket. Bekas Menko Polhukam tersebut menjelaskan, UU APBN Mengertin Anggaran 2024 sudah disahkan pada 16 Oktober 2023. Tetapi, pada Desember 2023, ada perintah tambahan anggaran bansos tanpa mengubah UU APBN 2024.
Dengan bergulirnya Hak Angket, akan menjadi momentum untuk menyelamatkan demokrasi. Upaya untuk mengevaluasi praktik berdemokrasi, apakah demokrasi akan kembali ke jalur yang tepat atau justru di ujung kematian, ialah ikhtiar yang butuh dukungan luas. Situasi ini mestinya menjadi perhatian partai politik.
Parpol di poros Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera solid untuk menunggu gerakan dari poros koalisi pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang dimotori Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan guna menginisiasi Hak Angket.
Pasalnya, tanpa gabungan dua poros koalisi ini, wacana pembentukan Hak Angket akan sulit berjalan mulus hingga tahap paripurna. Sikap Koalisi Perubahan tersebut dapat dimaklumi, karena Fraksi PDIP menempati posisi yang sangat strategis di parlemen. Ketua DPR RI pun dijabat Puan Maharani, politikus PDIP. Posisi strategis ini sangat menentukan apakah Hak Angket dapat disetujui di tahapan Rapat Paripurna DPR atau tidak.
Menurut UU Nomor 17 Mengertin 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), usulan hak angket diterima apabila mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.
Tahapan politik kedua ini seharusnya dapat berjalan mulus apabila partai pendukung Koalisi Ganjar-Mahfud dan Koalisi Perubahan solid. Secara komposisi politik di parlemen, gabungan partai politik dari dua koalisi ini sudah memenuhi syarat untuk mewujudkan hak angket atas dugaan kecurangan Pilpres 2024, yakni berjumlah 314 kursi atau sekitar 54,6% dari total anggota DPR periode 2019-2024 yang berjumlah 575 kursi.
Publik tentu berharap, hak konstitusional DPR ini bakal mulus bergulir. Sehingga dugaan kecurangan terstuktur, masif dan sistematis (TSM) dalam semua tahapan Pemilu 2024 bisa dibuka dengan jelas, terutama pemanfaatan kebijakan pemerintah dan pengerahan aparat negara.
Meskipun tidak sampai pada upaya pemakzulan, namun angket bisa menjadi momentum evaluasi dan koreksi menyeluruh terhadap sistem tata kelola pemilu. Sehingga ke depan, proses pemilu dilaksanakan sesuai dengan konstitusi serta prinsip-prinsip demokrasi yang jujur, adil, bersih, dan transparan.