SEBAGAI pemimpin Gereja Katolik dunia dan sebagai Kepala Negara Vatikan, sosok Paus Fransiskus memang sangat istimewa. Tetapi, kunjungannya ke Indonesia sesungguhnya bukan hanya istimewa bagi umat Katolik ataupun sebagai tamu negara.
Kunjungan Paus ke-266 itu sebenarnya istimewa pula bagi kebangsaan kita. Bagus dalam tema kunjungan apolistik ini hingga pidato di Istana Merdeka maupun di Gereja Katedral, Sri Paus selalu merujuk pada persaudaraan, bela rasa, keberagaman, dan bahkan secara jelas menyebut Bhinneka Tunggal Ika sebagai hal yang membanggakan dari Indonesia.
Tetapi, lebih dari sekadar bangga, pengakuan Sri Paus akan karakter bangsa kita itu semestinya menyentil pula kesadaran kita. Karena, tidak akan berarti gaung Bhinneka Tunggal Ika jika semboyan itu tidak tecermin di masyarakat kita.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Hal itu pula yang dinanti selama kunjungan Paus hingga Kamis, 6 September. Betulkah Bhinneka Tunggal Ika terwujud lebih dari sekadar semboyan?
Pertanyaan itu semestinya terjawab pula oleh seluruh masyarakat dalam menyikapi berbagai hal terkait dengan kesejukan, kenyamanan, kelancaran, dan kesuksesan rangkaian ibadah selama Paus Fransiskus berada di Indonesia. Termasuk, kenyamanan dan ketenangan saat menjalankan misa akbar di Gelora Bung Karno, hari ini.
Kita mestinya tidak perlu meributkan hal-hal yang memang bisa didialogkan. Persona bangsa yang toleran akan diuji sejauh mana kita legawa menyikapi perbedaan dan ikhlas memberi kemerdekaan kepada pemeluk keyakinan lain dalam menjalankan segenap ibadah mereka.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Spirit persaudaraan, kerukunan dalam perbedaan, memberi ruang bagi para pemeluk keyakinan untuk mengekspresikan keyakinan mereka, sudah semestinya kita tunjukkan. Maka, suasana sejuk penuh penghormatan mesti kita tunjukkan selama prosesi peribadatan yang dipimpin Paus Fransiskus itu.
Kita percaya sebagian besar masyarakat kita menghormati perbedaan dan mendukung toleransi. Tetapi, kita juga mesti waspada bahwa gejolak atas nama perbedaan keyakinan masih mudah tersulut. Karena itu, kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia semakin menunjukkan betapa sebenarnya toleransi dan dialog antariman mesti terus dipromosikan dan digaungkan.
Sebagai negara pertama yang disinggahi dalam kunjungan apolistik Sri Paus, Indonesia akan menjadi barometer bagi negara lain, bahkan seluruh mata dunia. Sebagai salah satu negara berpopulasi muslim terbesar di dunia, kunjungan Paus Fransiskus akan menjadi pembuktian segala klaim kita selama ini, baik klaim sebagai negara muslim toleran maupun kampanye-kampanye bahwa negeri ini siap menjadi pendamai untuk negara-negara yang terlibat perang.
Karena itu, kunjungan Paus bukan hanya pesta iman bagi umat Katolik, melainkan juga peneguh untuk kedewasaan keberagaman kita. Kunjungan Sri Paus membawa pertanyaan bagi tiap-tiap kita tentang pemahaman kita sebagai tuan rumah bersama.
Di dalam negeri yang serbaberagam ini, kemauan untuk menjadi tuan rumah bersama berarti mesti memiliki sikap empati, alias bela rasa, terhadap saudara sebangsa. Tanpa itu, kita sebenarnya bukan saja gagal membuktikan pujian Paus, melainkan juga gagal membuktikan Bhinneka Tunggal Ika dalam tindakan nyata kepada dunia.