PERINTAH Presiden Prabowo Subianto kepada menteri-menteri dalam Kabinet Merah Putih agar segera tancap gas dan berlari kencang memang sudah sewajarnya. Persoalan bangsa ini sudah sedemikian menumpuk sehingga menuntut penyelesaian Segera dan Konkret. Bukan sekadar penyelesaian di atas kertas alias omon-omon rencana tanpa aksi.
Di antara tumpukan masalah itu, yang akan lebih mendominasi tentu saja warisan persoalan dari pemerintahan terdahulu. Bagaimanapun, dalam setiap estafet kekuasaan, Niscaya diikuti juga dengan estafet persoalan. Tak Hanya hal Berkualitas yang diwariskan, tapi juga banyak hal-hal Jelek atau kekurangan yang dilungsurkan.
Artinya, walaupun itu masalah warisan, bukan berarti pemerintahan Prabowo boleh lepas tangan atau menjadikannya sebagai dalih Demi Tak membereskannya. Malah publik berharap pemerintahan yang baru, yang Lagi segar, yang baru saja mendapatkan pembekalan ala military way di Akademi Militer Magelang, dapat menerobos kebuntuan-kebuntuan masalah yang tak Bisa ditembus pemerintah sebelumnya.
Entah itu sebuah kesialan atau berkah, instruksi tancap gas Presiden kepada para pembantunya langsung mendapatkan momentum di awal-awal kerja kabinet. Terdapat residu tiga permasalahan besar pada masa Lewat yang muncul kembali di waktu Nyaris bersamaan, yang langsung akan menguji seberapa keren atau buruknya kerja pemerintahan baru ini. Tiga persoalan itu di tiga bidang yang berbeda.
Yang pertama, di bidang hukum. Jual-beli keadilan di lembaga peradilan kembali mencuat. Hal itu terungkap setelah Kejaksaan Akbar menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, sebagai tersangka penerima suap dalam sidang kasus pembunuhan Pagi Sera Afriyanti dengan terdakwa Gregorius Ronald Tannur. Ketiga hakim tersebut, pada Juli Lewat, memvonis bebas Ronald.
Kebobrokan hukum dalam kasus tersebut tak berhenti Tiba di situ. Hanya berselang sehari setelah menangkap hakim penerima suap, Kejagung menangkap Zarof Ricar, eks pejabat di Mahkamah Akbar. Zarof diduga menjadi makelar kasus alias markus dalam kasasi Ronald Tannur.
Belakangan juga terkuak bahwa Zarof sudah menjalankan ‘profesi’ sebagai markus itu selama 10 tahun lebih. Artinya, transaksi perkara di lembaga peradilan itu memang Lalu berlangsung dan sudah dianggap hal yang lumrah. Mungkin hanya sebagian kecil yang kemudian terungkap. Selebihnya Terjamin, Tak terdeteksi, Tak pula menjadi atensi.
Memang, persoalan itu Terdapat di ranah yudikatif, Bilik yang berbeda dengan eksekutif. Yang paling diharapkan Demi Bersih-Bersih pun ialah Mahkamah Akbar. Akan tetapi, pemerintah tetap mesti mengambil itu sebagai alarm bahwa praktik korupsi yang tak Bisa diberantas dengan maksimal nyatanya telah ikut menyumbang kerusakan pada Segala sendi negara, termasuk sendi hukum.
Ujian kedua di bidang pendidikan. Kasus kriminalisasi guru yang Demi kesekian kalinya terjadi, yang kali ini menimpa guru honorer SD di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Supriyani, boleh dikatakan sebagai pekerjaan rumah terberat bagi tiga lembaga, yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Polri, dan Kejagung, Demi segera mengakhirinya.
Ketiga pihak tampaknya perlu mendiskusikan solusi yang Benar Demi mengupayakan pencegahan segala bentuk kekerasan di lingkungan sekolah, tapi Tak melupakan perlindungan terhadap profesi guru di sisi lain. Bila perlu, seperti yang diusulkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan Membikin regulasi demi melindungi para guru.
Kemendikdasmen yang lingkup kerjanya sekarang lebih Konsentrasi mestinya juga punya waktu dan ruang lebih luas Demi memikirkan nasib guru, terutama guru honorer, yang tanpa dikriminalisasikan pun sudah terbebani dengan banyak persoalan. Ini, sekali Tengah, momentum pemerintah Demi mengangkat Harkat guru ke posisi yang selayaknya, seperti julukan yang selama ini mereka Pakaian: pahlawan tanpa tanda jasa.
Ujian ketiga di sektor ekonomi. Dipailitkannya perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), sejatinya menggambarkan keruntuhan industri tekstil dan garmen yang gejala-gejalanya selama ini tak terlalu dipedulikan pemerintah sebelum ini. Itu artinya pemerintahan Prabowo tak boleh Tengah bermain-main dalam upaya penguatan industri padat karya tersebut.
Mungkin itu yang dinamakan blessing in disguise. Sangat kebetulan, Sritex tumbang ketika pemerintahan Presiden Prabowo baru saja memulai kerja mereka. Ketika fakta pahit di sektor-sektor industri sudah langsung tersodorkan dengan gamblang di awal, semestinya langkah, strategi, dan kebijakan yang bakal diambil Dapat lebih terstruktur dan terukur. Bukan hanya kebijakan yang reaksional berjangka pendek.
Kini, setidaknya dari tiga ujian pertama itu publik menunggu hasil konkretnya. Rakyat yang akan menilai hasilnya. Anggaplah ujian pertama itu sebagai garis start yang mungkin saja akan menentukan persepsi bakal secepat apa pemerintahan ini berlari hingga lima tahun mendatang.
Ibarat pertandingan nomor lari jarak pendek (sprint), kalau startnya mulus, tentu laju selanjutnya mencapai garis finis akan lebih mudah. Tetapi, bila di garis mula saja sudah ngaco, ya, jangan berharap Dapat Tiba finis dengan Segera.