Pendidikan di Indonesia Belum Bisa Kerek Indeks Pembangunan Orang

Pendidikan di Indonesia Belum Mampu Kerek Indeks Pembangunan Manusia
Siswa menyantap makanan saat pelaksanaan uji coba makan bergizi gratis di SDN 07 Cideng, Jakarta, Senin (19/8/2024).(ANTARA/MUHAMMAD RAMDAN)

KETUA Komisi X DPR RI, Syaiful Huda mengatakan bahwa Indonesia saat ini masih dihantui terkait dengan indeks sumber daya manusia yang masih jauh dari harapan atau masih ranking ke-96 dari 141 negara. Termasuk di dalamnya indeks pembangunan manusia yang tidak mengalami pergerakan sama sekali.

“Jadi indeks pembangunan manusia kita kedodoran dan indeks sumber daya manusia kita masih jauh dari harapan. Definisinya ada persoalan pendidikan kita di sana karena kalau kita ngomongin soal itu variabel yang paling serius terkait dengan pendidikan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama dan karena itu kita ingin slogan dan komitmen pembangunan SDM itu harus diturunkan pada level komitmen pembiayaan dan terkait dengan politik anggaran yang berpihak dengan ini,” ungkapnya dalam Percakapan Golongan Terpumpun bertajuk Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan, Sabtu (7/9).

“Saya membayangkan kalau human capital index kita masih sejauh itu, human development juga masih sejauh itu, kita tidak bisa berbicara mengenai daya saing ke depan. Karena itu pekerjaan yang cukup serius yang harus ditangani bersama,” lanjut Syaiful Huda.

Baca juga : 20% Anggaran Pendidikan Harusnya Murni Diberikan pada Kemendikbud-Ristek

Lebih lanjut, menurutnya di dunia pendidikan harus diakui bahwa Indonesia belum jauh beranjak dari isu pokok, seperti pada konteks akses pendidikan, di mana angka partisipasi kasar di dunia pendidikan baru sampai 35,36%. Tetap jauh dari harapan bersama.

Hal itu mengartikan belum semua anak peserta didik Indonesia yang semestinya bisa bersekolah, SD, SMP, dan SMA belum mendapatkan layanan untuk masuk sekolah. Pengaruh dari ini semua adalah rata-rata lulusan sekolah nasional di Indonesia masih SMP. Belum beranjak atau sudah hampir 15-20 tahun lulusan rata-rata nasional.

Cek Artikel:  Banjir Dan Tanah Longsor Menghantam Padang Pariaman, Sumatera Barat

Selanjutnya, kebutuhan renovasi sekolah Indonesia yang diajukan pemerintah daerah per tahun rata-rata kebutuhannya mencapai Rp577 triliun, sementara anggaran yang dialokasikan oleh Kementerian Keuangan hanya 2,5% atau setara Rp15 triliun.

Baca juga : Anggaran Pendidikan Awallai tidak Pengaruhtif, Tersebar ke Banyak K/L dan Melanggar Konstitusi

“Apa yang terjadi, sekolah yang tadinya butuh renovasi sedikit karena nunggu lama akhirnya sekolahnya ambruk dan seterusnya,” tuturnya.

Syaiful Huda menegaskan postur anggaran pendidikan di APBN mencapai 20% dan 52% di antaranya adalah TKDD yang setara Rp346 triliun. Lampau Rp147 triliun tersebar di seluruh kementerian yang tidak punya mandatory terkait pendidikan.

“Kementerian yang terkait mandatory pendidikan hanya ada dua tapi anggarannya kalah dibandingkan kementerian yang tidak punya mandatory pendidikan. Kemendikbud-Ristek hanya mendapatkan alokasi Rp83 triliun rata-rata per tahun. Kemenag rata-rata antara kisaran Rp55 triliun sampai Rp60 triliun per tahun. Kalau dua-duanya digabungin, masih kalah jika dibandingkan kementerian yang tidak punya mandatory khusus terkait isu pendidikan,” ucap Syaiful Huda.

Baca juga : Pansus Haji Gandeng Polri dan KPK Proses Intervensi Dugaan Kecurangan

Hal yang paling membuat prihatin adalah setiap tahun kenaikan anggaran dari kementerian yang tidak punya mandatory pendidikan makin naik dan kementerian yang memiliki mandatory pendidikan trennya makin turun.

Maka dari itu, pihaknya mendorong atas mandat PP 16/2022 yang mendorong Kemendikbud-Ristek untuk menjadi semacam COO (Chief Operating Officer) atau Direktur Operasional di mana semua urusan pendidikan semestinya menjadi kewenangan Kemendikbud-Ristek.

Cek Artikel:  Bedah Naskah Perjuangan Inche Abdoel Moeis dari Kaltim dalam Membentuk NKRI

“Baru nanti kalau memang harus menempel dengan kementerian lain enggak jadi persoalan. Tapi Kemendikbud-Ristek menjadi leader berbagai isu mandatory pendidikan yang 20% dari APBN. Jangan sampai seperti saat ini yang sama sekali tidak melibatkan Kemendikbud-Ristek padahal proporsi distribusi mandatory 20%,” tegasnya.

Baca juga : Pansus Tegaskan Siap Libatkan Penegak Hukum Usut Dugaan Penyimpangan Kuota Haji Tambahan

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Harimau Effendi menambahkan bahwa Panja Pembiayaan Pendidikan dibuat oleh Komisi X DPR RI untuk melihat apakah pembiayaan untuk pendidikan Indonesia sudah tepat dan sesuai dengan Undang-Undang.

“Terdapat dua UU yaitu UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Kami juga ingin mengevaluasi pelaksanaan program bantuan pendidikan seperi BOS, PIP, KIP, BOPTN, BOPTS, dan lainnya untuk kita kalkulasikan, sebetulnya berapa sih yang harus negara biayai agar setiap anak Indonesia mendapatkan pendidikan,” ujar Dede.

“Kita akan mencoba juga untuk merumuskan kebijakan untuk kembali menata program bantuan pendidikan melalui formulasi penetapan standar satuan biaya pada jenjang pendidikan. Kita kemarin sudah mengeluarkan isu yaitu reformulasi anggaran 20%. Tetapi keduluan sama Menteri Keuangan yang mengatakan bahwa reformulasi anggaran 20% diambil dari pendapatan negara. Kalau kita hitung ternyata akan berkurang sampai Rp100-130 triliun. Ini akan membuat berkurangnya beasiswa atau biaya operasional sekolah. Makanya saya bilang reformulasi anggaran jangan kita pakai. Kita akan menggunakan kebijakan perumusan anggaran 20%,” sambungnya.

Cek Artikel:  Media Visit ke Media Group, Sandiaga Paparkan Pencapaian Kemenparekraf Sepanjang 2024

Intervensi sementara dari rapat yang diadakan selama ini oleh Panja Pembiayaan Pendidikan adalah implementasi anggaran pendidikan berpotensi melanggar UU dan terjadi penyimpangan substantif, definisi anggaran pendidikan dalam UU APBN tiap tahun akan berdampak terhadap penambahan pos distribusi dalam postur anggaran pendidikan, sehingga definisinya perlu dikaji ulang, dan tren alokasi anggaran pendidikan pada K/L pengampu utama penyelenggara pendidikan cenderung stagnan.

“Seperti kita tahu K/L lain itu menyelenggaran sekolah kedinasan yang seharusnya tidak boleh menggunakan anggaran dana pendidikan. Tapi outputnya apakah lebih baik dari perguruan tinggi yang menjalani prodi yang sama. Kami melihat ini penting dipahami output sekolah kedinasan itu apa untuk menyelenggarakan kampus atau mengambil siswanya. Kalau memang mau mengambil siswa, cukup diberikan beasiswa pada mahasiswa untuk ditempatkan di kampus lain yang penting dibiayai beasiswanya,” kata Dede Yusuf.

Laku pihaknya juga merasa ada ketidaktepatan dan ketimpangan penggunaan anggaran fungsi pendidikan pada belanja pemerintah pusat, maupun TKDD, dan dalam UUD mengatakan bahwa pemerintah wajib menyiapkan 20% dari APBN dan APBD. Tetapi realitanya, 20% dari APBN sudah, tapi APBD masih sangat rendah atau hanya 6 dari 34 provinsi yang mengagarkan APBD 20% di luar transfer daerah.

“Ini baru provinsi belum kabupaten atau kota. Mereka masih menggap transfer daerah itu bagian dari 20%. Ini menunjukan bahwa banyak penyimpangan terhadap UU,” pungkasnya. (H-2)

 

Mungkin Anda Menyukai